Ujung-ujungnya dia memintaku untuk mengajarinya lagi. Cih dasar Refi, jika tak ingat kalau dia gadis yang cukup manis sudah ku lempar buku-buku ini sejak tadi.
Melirik bang Dimas membuatku bergidik ngeri. Padahal jelas-jelas Refi bilang bahwa abangnya adalah buaya, namun mengapa yang ku lihat sekarang malas dia bucin banget sama pacarnya?
"Kaget ya kak lihat kelakuan Abang aku? Kata bunda sih kalau buaya sudah ketemu sama pawangnya ya kayak gitu," cetus Refi sambil menyenggol lenganku mengalihkan perhatian yang tadi terpusat pada bang Dimas.
"Pawangnya?" ulangku sambil menahan tawa.
"Hn, pawang buaya!" balas gadis itu bersemangat.
Wah, mereka bahkan menganggap kalau bang Dimas itu bukanlah manusia loh haha. Dasar deh, tapi ucapannya tak salah juga.
Aku melirik Riki yang sibuk berdebat dengan bundanya. Menghela nafas berat kemudian menatap Refi lagi.
"Ayo, selesaikan segera kakak mau pulang," ujarku padanya.
Refi menekuk wajahnya. "Padahal aku lebih suka kalau kakak nginep sih. Uh coba saja besok akhir pekan, sudah pasti aku akan menginap atau kakak yang menetap."
Ini kali pertama ada yang mengatakan kalau mereka mau menginap di rumahku atau sebaliknya. Ah, memang sejak membuka hati banyak sekali kata 'ini kali pertama' dalam hidupku, 'kan?
Aku senang bukan main, terlebih rasanya hangat juga di hati. Intinya ini jauh lebih menyenangkan ketimbang perkiraan.
"Er nggak mungkin, aku kalau tidur banyak tingkah," alibiku membuat Refi yang sedang menulis jawaban segera mengangkat kepalanya.
"Dih, kak Riki malah jauh lebih parah waktu kecil. Kalau kalian terlalu banyak persamaan biasanya nggak jodoh sih," canda gadis itu.
Semuanya tertawa kecuali satu orang yang melemparkan tatapan tajam pada sang adik.
"Sekali lagi ngada-ngada jangan minta bantuan cewek gue!" katanya dengan nada sungguh-sungguh.
Kali ini Refi bergantian menatapku dan Riki.
"Kak Rista ini ceweknya kak Riki, kah?" tanyanya dengan nada mengejek.
Er kebetulan aku bukan ceweknya jadi aku pun menggeleng yakin. "Jelas nggak," jawabku.
Refi tersenyum penuh kemenangan. Bang Dimas yang sejak tadi bucin pada pacarnya lewat dunia maya pun kini terbahak-bahak mendengarnya.
"Ta, cih dasar nggak mau belain sesekali. Udah nanti pulang sama Refi aja!" rajuknya.
Ketika dia merajuk seperti itu, wajahnya tertekuk dan kelihatan manis sekali.
"Santai, Ta, kan lo punya gue. Nganterin doang mah kecil, ya nggak, Rep?" timpal bang Dimas seakan menyiram bensin di api yang tengah berkobar.
"Oh tentu, bunda nanti kakak ipar aku ini pulangnya sama bang Dimas aja ya?" sahut Refi dengan nada yang dibuat-buat.
Detik selanjutnya Riki memutar bola matanya malas. "Serah!" ketusnya membuatku menahan tawa.
Dia imut kalau marah, gumamku dalam hati.
Pukul setengah enam, mati-matian aku membujuk Refi agar gadis itu melepaskan tanganku. Bahkan bunda saja memaksaku untuk tetap di rumah setidaknya sampai ikut makan malam bersama.
Beruntung kak Riki peka, meskipun dia sedikit ogah-ogahan namun tetap membantuku melepaskan diri.
"Langsung pulang ya?" tanyanya saat motor telah melaju menembus jalanan lenggang kompleks perumahan mewah ini.
Sesekali kak Riki mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya. Entah terjemahan dari mana namun ku pikir dia mau mengatakan sesuatu tapi masih ragu-ragu.
"Iya, kan sudah malam. Walaupun tadi sempat telpon bibik juga tapi nggak enak kalau pulang kemalaman," jawabku seadanya.
Dari kaca spion aku bisa melihat kalau lagi-lagi bibir kak Riki terbuka hendak berucap sepatah kata namun bungkam kembali.
"Nanti malam mau main, maksudku jalan-jalan?"
Aku terkekeh geli. Duh, jadi sejak tadi dia mau mengatakan kalimat ini. Lantas mengapa tak langsung mengatakannya?
"Maaf, Kak. Besok ulangan harian Matematika Wajib jadi aku mau belajar. Otakku agak lupa materinya," sahutku. Ini bukan alibi, meskipun bisa mengajari Refi dengan baik belum tentu kalau besok nilaiku akan baik juga, 'kan?
"Pembual dasar," sindirnya yang ku abaikan.
Toh aku benar-benar tak berbohong. Kan ada Feronika, dia bisa bertanya pada kak Bagas kan supaya tahu kebenarannya.
Sebetulnya sudah gemas aku ingin mengatakannya. Namun ... jangan lah itu ribet sekali kelihatannya dan menyusahkan orang juga.
Begitu tiba di rumah, seakan terburu-buru atau mungkin merajuk padaku laki-laki itu gegas memutar kemudi meninggalkanku yang sibuk tertawa kecil.
"Kenapa, Non?" Bibik muncul bertepatan dengan tawaku yang meredup.
"Itu kak Riki, aku besok mau ulangan harian tapi dia ngajak jalan. Karena nggak mau dapat nilai jelek ya sudah, aku tolak ajakannya," jujur ku pada bibik.
Wanita berumur setengah lebih itu ikutan tertawa. "Kasian ya den Riki ditolak," timpalnya.
Tak urung aku mengangguk setuju. "Hem kasian sih, tapi aku kan beneran sibuk nggak bohong sama dia."
Andai saja kak Riki mendengar percakapan kami, namun kenyataannya ... tidak.
***
Malamnya seperti yang telah ku katakan saat bersama kak Riki tadi. Ah belajar akhir-akhir ini terasa sedikit membosankan untukku, rasanya benar-benar malas namun jika mengingat bahwa nilaiku sumber kehidupan ku buang jauh-jauh rasa malas ini.
Membuka buku pelajaran. Mataku mendadak terasa panas, uh, sejak kapan pelajaran matematika agak membagongkan ya?
Uh aku tahu, ini pasti karena akunya saja yang malas. Melirik jam di dinding lantas mengalihkan pandangan ke segala sudut kamarku.
"Bibik nggak kasih susu ke aku ya?" tanyaku pada diriku sendiri.
Padahal jelas-jelas sudah ku katakan padanya kalau aku akan belajar untuk ulangan harian esok pagi. Nggak mungkin bibik melupakan diriku ini!
Saat hendak bangkit dari kursi belajar tiba-tiba saja bibik muncul dengan membawa nampan. Di atasnya ada segelas susu dan sepiring camilan.
"Mau nyari saya ya, Non? Duh nggak sabaran banget sih. Kan baru jam delapan mana mungkin jam segini non merasa ngantuk?" ujar bibik yang seratus persen benar.
Aku memang tak mengantuk. Lebih lagi kepalaku terasa sedikit pusing saat ini, uh benar-benar menyebalkan!
"Hehe bibik memang yang paling tahu. Ngomong-ngomong bisa minta tolong pijitin kepalaku nggak, Bik? Pusing banget," keluhku sambil mendesah berat.
Bibik gegas menaruh nampan itu di meja rias. Wanita yang telah merawatku itu mendekat, dia menempelkan telapak tangan di keningku.
"Astaga!" seru bibik lebay.
"Kenapa sih, Bik? Kan aku cuman minta pijitin aja nggak usah kaget gitu," tuturku.
Kalau dipikir-pikir sepertinya suaraku agak berat ya. Ah, bukan-bukan, ini justru seperti tak berdaya. Uh benar-benar pusing rasanya.
Tanpa sadar aku menangis. "Hiks ... pusing, Bik," keluhku kemudian memeluknya.
Bibik memapah ku menuju ke ranjang.
"Duh non kalau sakit nggak tahu tempat deh. Panas banget lagi, tidur aja ya? Besok nggak usah sekolah saya ambilkan obat dulu!" celoteh bibik tak dapat ku hentikan.
Ingin aku menahannya namun tanganku bahkan tak kuasa. Huft, sekujur badanku mendadak terasa sakit yang luar biasa.
"Hai, Sayang...."
Samar-samar aku mendengar suaranya lagi, Saka.
"Ka...?" lirihku mencoba mengingat-ingat dna menyadarkan diri.
"Hem, ini aku. Sakitnya yang lama ya? Nanti biar kamu di rumah aja. Soalnya aku nggak suka kamu ketemu sama laki-laki lain, nggak adil dong kalau aku mati tapi kamu bahagia. Hehe ...."
Aku menangis kian deras. Sakit, kepalaku benar-benar sakit, Bik!
Perlahan pandanganku benar-benar memburam dan kegelapan mendatangiku.
Ah, jadi pada akhirnya Saka memutuskan untuk mengajakku ke alam baka ya?
To be continued ....