Aku menggeleng, menolak suapan ketiga. Riki tadi menerobos masuk hingga membuatku dan bibi terpaksa melepaskan pelukan.
Berkat dia semuanya jadi berkumpul lagi. Ya walaupun Bang Dimas juga bunda dan ayah mau pamitan katanya.
"Sayang? Nurut ya sama Riki, kalau kamu nggak mau makan banyak nanti tinggal tulang doang loh. Kamu sudah nggak makan seminggu masak nggak lapar?"
Omelan bunda membuatku enggan membantah. Dengan terpaksa aku membuka mulut lagi guna menerima suapan kak Riki.
Mati-matian aku menelannya. Hingga setelah mengabiskan setengahnya lagi-lagi aku menggeleng, kali ini aku hampir saja menangis jika dipaksa lagi.
Sakit, mual, namun aku menahannya karena tak mau membuat orang-orang yang mengkhawatirkan diriku kecewa.
"Udah, Kak. Seenggaknya kak Ta udah makan setengahnya, jangan dipaksa dari pada keluar semua nanti," bela Refi.
Aku tersenyum lebar mendengarnya. Syukurlah, setidaknya ada satu orang yang membuatku merasa benar-benar beruntung.
"Iya-iya, minum dulu, Yang," sahut kak Riki yang terdengar malas.
Entah dia malas merawatku atau justru malas mendengarkan ocehan adiknya. Yang jelas aku tak tahu mana kebenarannya.
"Udah," kataku yang lagi-lagi hanya meminum sedikit saja.
"Lebay banget Bun si Riki. Dia manggil yang depan bunda loh!" seru bang Dimas.
Dia terkesan iri, dan aku memang malas membenarkan. Biarkan saja kak Riki berbuat sesuka hatinya, karena kata bibik aku yang seharusnya saat ini ada di dalam bumi bisa berbaring nyaman di atas ranjang.
Semuanya berkat campur tangan kak Riki. Orang yang bahkan menangis saat aku dinyatakan tiada, mana bisa aku mengoceh padanya?
Melihat dia yang tak meninggalkanku saja rasanya sudah bahagia bukan main.
"Udah ah, Bang, jangan gitu sama adeknya. Oh ya, Ta. Bunda sama ayah pamit ya? Makasih sudah sembuh anak baik, besok-besok kamu main lagi ke rumah," pamit bunda kak Riki sambil berjalan mendekat dan mengecup keningku singkat.
Aku terbatuk-batuk lantas mengangguk. "Makasih sudah jenguk aku, Bunda, Ayah."
Ayah kak Riki tertawa. "Jangan sakit lagi, ayah nggak mau anak ganteng ini ilang sagu kewarasannya. Semoga lekas membaik ya, Nak."
Aku ingin menangis, namun memilih untuk manggut-manggut paham. Karena jika aku benar-benar menangis yang ada mereka tak akan pulang nantinya.
"Bang Dimas?" panggilku usai melihat orang tua mereka pergi.
"Kenapa adik ipar?"
Pipiku bersemu mendengarnya. Padahal sebelumnya terasa biasa-biasa saja dipanggil seperti ini.
"Er, nggak pulang, Bang?" tanyaku.
Laki-laki itu mengangkat alisnya sedang Refi dan kak Riki terbahak-bahak.
"Mampus, Abang kena usir haha. Pulang sana, Bang. Disini cukup ada aku sama kakak aja," imbuh Refi dengan pedenya.
Tentu saja hal itu membuat Dimas geram.
"Nggak bisa, kata bibik di rumah ini ada banyak kamar. So gue nginep ya adik ipar," kekehnya.
Melihat kak Riki dan Refi yang hendak mengatakan sesuatu aku memotong ucapan mereka.
"Iya, di lantai satu ada dua kamar tamu kok. Kalau mau Abang bisa tidur disana nanti," ujarku tulus.
Refi merengut tak terima dan kak Riki hanya menghela nafas panjang mendengar ucapanku barusan. Lain lagi dengan bang Dimas, laki-laki itu melangkah pergi dengan raut wajah semangat.
"Ya udah kalau gitu aku tidur di kamar satunya, kalian kayaknya ada yang mau diomongin. Aku pergi dulu ya kakak-kakak," pamit Refi dan gadis itu benar-benar pergi setelahnya.
Bibik bilang dia masih sedikit trauma melihat selang infusku ini karena itulah dia memilih untuk menunggu di bawah. Jika ada apa-apa katanya Riki saja yang berteriak nantinya.
"Mau nginep sini jug- uhuk-uhuk!"
Rasa sakit di dada bagian kiri makin menjadi-jadi saja. Lebih lagi saat batuk perutku rasanya seperti diaduk-aduk. Mual, mulas dan intinya melelahkan berada dalam posisi ini.
Dengan dibantu kak Riki aku minum air lagi. Padahal minum air sekalipun rasanya justru tidak enak.
"Iya, aku nginap. Kamu nggak perlu berusaha buat bicara kalau susah, diam aja udah hampir jam sembilan malam. Mau tidur lagi? Tapi jangan lama-lama ya," tuturnya.
Perlahan aku menggerakkan mataku, menatap lamat-lamat air muka kak Riki. Kentara sekali kalau dia khawatir padaku. Padahal kami bukan siapa-siapa untuk satu sama lainnya.
Tak hanya laki-laki itu saja namun seluruh keluarganya juga bersikap baik padaku. Mencoba mengulas senyum di bibirku meski berakhir dengan terbatuk-batuk.
"Mau tidur?" tawarnya namun aku menggeleng.
Aku baru membuka mata kurang lebih satu jam setelah tidur selama seminggu. Jadi, lucu rasanya aku tidur segera.
"Kakak nggak sekolah?"
Padahal hanya bertanya begitu saja, namun aku bersusah payah mengumpulkan energi. Kepalaku kembali berdenyut keras lagi. Hanya di sebelah kiri, mungkin saja selama seminggu ini aku secara tak sengaja berbaring ke kiri terus.
Bisa saja darah yang ada dalam otakku belum begitu stabil. Karenanya jangan sampai aku tidur lagi!
"Sekolah, aku kesini selesai dapat pelajaran tambahan. Jadi nggak usah khawatir, oh ya, Desi bawa semua buku-buku kamu. Kayaknya dia nyalin pelajaran di kelas yang kamu lewatkan," jelas kak Riki.
Mataku berbinar-binar mendengarnya. "Benarkah?"
Kak Riki dengan semangat mengangguk. "Iya, karena itu lain kali jangan bersikap buruk pada mereka apalagi Cahya dan Desi."
Tanpa dia minta sudah pasti aku akan melakukannya.
Padahal aku pikir setelah terbaring lama otakku akan kalang kabut. Seminggu tak sekolah, begitu banyak materi dalam setiap mata pelajarannya.
Namun, berkat kak Riki aku punya teman yang bisa diandalkan. Hubungan timbal balik ini terasa menyenangkan.
"Seneng banget ya?" goda kak Riki sambil terkekeh geli.
Jika saja tak sedang sakit sudah pasti lengannya akan aku cubit. Namun ya memang aku bahagia kan? Karena itu aku mengangguk setuju.
"Seneng banget, apalagi ada kakak di depanku saat ini," jawabku balas menggoda.
Siapa sangka kalau daun telinga kak Riki berubah menjadi merah jambu, haha. Dia lucu, perlahan-lahan aku mencoba menyentuhnya namun ...
Prang!
"Benar-benar menjijikkan!"
Suara teriakan dari arah luar, membuatku dan kak Riki terkejut bukan main. Aku menatap kak Riki, hendak bertanya ada apa namun dia lebih dulu menyela.
"Jangan kemana-mana, kamu tetap disini saja okey?"
Tapi aku menggeleng. "Mau ikut," rengekku.
Kak Riki kekeh menggeleng. "Stay here, Clarista. Jangan bikin aku marah sama kamu," tegasnya.
Pada akhirnya aku diam tak berkutik ketika kak Riki berjalan mendekati pintu.
Dan ....
Brak!
Belum sempat kak Riki keluar pintu itu sudah dibuka secara paksa.
Dua wanita masuk, satu dengan tampang setengah menangis dan satunya lagi menatapku bengis.
"Loh?" Dia menyilangkan tangannya di depan dada sambil tertawa mengejek.
"Katanya mati, kok kamu hidup lagi sih? Sudah menjijikkan, hidup pula."
Mati-matian aku menahan air mata karena sadar kalau ucapan menusuk itu di tujukan untukku. Wanita itu menurunkan tangannya, mendekat ke arahku.
Sedikit saja aku berharap dia akan memelukku, tapi ....
Plak!
Dengung suara tamparan menggema, semua orang yang ada di dalam ruangan seakan tersihir hingga tak ada yang mau membantuku.
"Mati kamu anak bodoh!"
"Ah, aku jauh-jauh datang kemari karena berharap kalau kamu mati. Tahu kalau gadis pembunuh ini masih hidup mana mau aku menginjakkan kaki di rumah ini."
"Dan satu lagi, jangan pernah memanggilku mama lagi. Karena jujur saja, melahirkanmu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku!"
To be continued ....