Chereads / Pernikahan Pahit / Chapter 8 - Noona

Chapter 8 - Noona

"Maaf, aku belum bisa melakukannya," ucap Christian lalu berbaring dan membelakangi Laura.

"Apa ada masalah denganmu?" tanya Laura penasaran.

"Gak ada. Lebih baik sekarang kita tidur saja," jawab Christian lalu mematikan lampu dan berusaha untuk tidur.

Meskipun sebenarnya dia tidak yakin bisa tidur malam ini.

Ingatan akan kenangan pahit itu masih menghantuinya.

Laura hanya bisa menatap punggung suaminya itu dengan penuh tanda tanya.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan lelaki itu?

***

"Woy!!! Ngelamun aja sih. Ada wanita cantik datang kok dicuekin," ucap Chintia yang saat itu datang ke kafe Laura.

Laura dan Chintia sudah sepakat untuk mengundurkan diri bersama dari tempat kerja lama mereka dan membangun kafe baru Laura bersama-sama.

Chintia melirik ke arah dapur yang sepertinya sudah ada kehidupan di sana.

"Iya sudah ada koki untuk menu spesial desert kita. Christian yang sudah mencarikannya. Dan sekarang dia sedang mencoba membuat menu-menu baru," kata Laura.

Hal itu menjawab pertanyaan yang belum sempat diucapkan Chintia.

"Wah, aku sangat iri denganmu. Kamu punya suami yang sempurna. Tampan, mapan dan perhatian," goda Chintia.

Lagi-lagi Laura hanya tersenyum pahit mendengar perkataan Chintia yang tidak sesuai dengan kenyataan yang di alaminya.

Bukan karena yang dikatakan Chintia itu tidak benar.

Tentu saja Christian seperti apa yang sudah Chintia katakan.

Namun Laura belum merasakan kasih sayang lelaki itu untuknya.

Padahal Laura sudah berusaha untuk terbuka.

Mencoba untuk mencintainya.

Namun ia merasa hanya dirinya yang berusaha.

Tidak bagi Christian.

Bagaimana mungkin Laura akan masuk ke dalam kehidupan Christian, jika lelaki itu tidak mau membuka hati padanya?

"Apa dia menikah denganku, hanya untuk mempermainkanku?" pikir Laura.

Ah Laura tidak mau memikirkannya dulu hari ini.

Sekarang dia ingin fokus untuk persiapan pembukaan kafe barunya.

"Kemarin aku sudah membuat beberapa iklan lowongan di internet. Kita tinggal tunggu saja," ucap Laura sambil fokus pada layar laptopnya.

Dia berharap bisa segera membuka kafenya itu.

Karena hal ini merupakan impian Laura sejak dulu, yaitu memiliki kafe sendiri.

Sementara itu di kantor, Christian masih tampak kacau.

Dia belum bisa melupakan ingatannya tentang kematian Luna yang tiba-tiba menyerangnya semalam.

"Kamu kenapa? Apa ada masalah yang terjadi?" tanya Astrid saat ia melihat gelagat Christian yang tidak seperti biasanya.

"Tidak kenapa-kenapa," jawab Christian berbohong.

"Jangan berbohong, aku bisa melihatnya dengan mudah. Ceritakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu," ungkap Astrid yang lalu duduk di depan Christian.

Sesaat Christian terdiam.

Berpikir apakah dia bisa menceritakan hal ini pada Astrid?

"Aku tiba-tiba teringat dengan kejadian meninggalnya Luna beberapa tahun yang lalu. Dan hal itu sangat menyiksaku," ungkap Christian pada akhirnya mau menceritakan keluh kesahnya.

Astrid menghela napas panjangnya.

Seperti dia tahu akar dari masalah ini.

"Mungkin ini terjadi karena kamu menikah dengan wanita yang mirip dengan Luna. Jadi saat kamu melihatnya, kamu terus melihat bayangan Luna di belakangnya,"

"Mungkin saja begitu," gumam Christian.

"Apa aku salah menikah dengan Laura? Tapi aku memang menyukainya meskipun aku belum bisa mencintainya seperti aku mencintai Luna dulu," batin Christian.

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa terus mengabaikan Laura yang sudah menjadi istriku,"

Miris, walaupun Astrid tidak menyukai pernikahan Christian dengan Laura.

Namun dia juga tidak bisa melihat Christian menderita seperti sekarang ini.

Ia akhirnya mencari sesuatu dari dalam tasnya.

Setelah menemukan benda yang dicarinya, ia lalu memberikan benda itu pada lelaki itu.

Christian menerima sebuah kertas nama yang di serahkan Astrid padanya.

Di sana tertulis nama Dokter Hendri sebagai spesialis psikologi.

Lengkap dengan alamat dan nomer teleponnya.

"Mungkin Dokter Hendri bisa menolongmu, aku sudah sering konsultasi dengannya. Dan hasilnya aku bisa mengatasi hal berat yang menimpaku selama ini," kata Astrid.

"Apa kamu punya masalah pribadi yang berat?" tanya Christian penasaran.

"Iya, tapi aku sudah bisa mengatasinya kok. Dan itu semua berkat Dokter Hendri juga," jawab Astrid yakin.

Sebenarnya masalah yang Astrid hadapi adalah mengenai perasaannya pada Christian selama ini yang bertepuk sebelah tangan.

Ia berhasil mengontrolnya dengan baik.

Karena jika tidak, mungkin saja dia sudah berbuat hal yang menyakiti dirinya atau orang lain.

Dari konsultasinya bersama Dokter Hendri berhasil membuat dirinya menahan emosi dan ambisinya terhadap Christian.

Dia belajar untuk mengikhlaskan sesuatu yang bukan menjadi miliknya.

"Aku akan mencobanya, terima kasih Astrid," ucap Christian.

Astrid mengangguk dan berkata,

"Aku harap traumamu bisa sembuh. Dan kamu bisa memulai hidup baru dengan bahagia," kata Astrid.

"Meskipun bukan denganku. Karena kebahagiaanmu adalah segalanya bagiku," ucap Astrid dalam hati.

***

Sore hari itu Laura dan Chintia sedang bercengkrama sambil mencicipi beberapa menu baru yang diciptakan koki mereka.

Namanya Chef Adi.

Chef Adi, sudah memiliki pengalaman bekerja di beberapa kafe sebelumnya.

Dia memutuskan menerima tawaran pekerjaan ini karena dia mengenal Christian dan ia ingin membantunya untuk memajukan kafe milik istrinya.

Tiba-tiba pintu kafe terbuka.

Seorang lelaki masuk ke dalam dan menghampiri meja Laura dan Chintia.

Lelaki itu berhenti tepat di depan meja Laura.

"Selamat sore, saya ingin bertemu dengan pemilik kafe ini," ucap lelaki itu dengan sopan.

Chintia memuntahkan air putih yang baru saja ia minum.

Sedangkan Laura tidak berkedip setelah melihat lelaki yang ada di depannya itu.

Lelaki berambut hitam dengan gaya belah tengah itu tersenyum manis kepada dua wanita yang ada di depannya.

"Apa kamu seorang artis?" pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Laura.

Lelaki itu tertawa mendengar pertanyaan Laura.

"Bukan, tapi aku mahasiswa pertukaran pelajar dari Korea Selatan. Namaku Hyunsik. Dan aku ingin melamar pekerjaan di sini," jawabnya.

"Kamu di terima," ucap Chintia dengan lantang.

"Apa-apaan kamu. Aku kan pemilik kafe ini, aku yang berhak memutuskan," sergah Laura.

Chintia lalu menarik lengan Laura dan membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Kamu pikir baik-baik, jika dia bekerja di sini pasti kafemu akan selalu ramai. Ayo terima saja dia," rayu Chintia.

Laura kembali pada Hyunsik tanpa memedulikan perkataan Chintia.

"Apa pekerjaan yang kamu bisa di sini?" tanya Laura.

"Aku bisa menjadi bartender, karena saat di Korea aku sudah beberapa kali bekerja paruh waktu di kafe sana"

Laura manggut-manggut tanda mengerti.

"Sudah berapa lama, kamu tinggal di sini? Sepertinya kamu sudah fasih berbahasa Indonesia?"

"Sudah dua tahun," jawab Hyunsik.

"Hmm baiklah, karena kamu memiliki kriteria yang kami inginkan. Kamu bisa mulai bekerja.." Laura tidak melanjutkan kalimatnya.

Dia belum berpikir kapan ia akan membuka kafe.

"BESOK," bisik Chintia yang berada di sebelah Laura.

Laura memutar bola matanya.

"Baiklah, kamu mulai bekerja besok. Dan kita akan mulai membuka kafe ini besok juga. Jadi tolong kerja samanya ya. Kita bangun kafe ini dari nol," kata Laura.

"Baik noona, aku akan bekerja dengan giat. Semangat!" ucap Hyunsik sambil mengepalkan tangan kanannya di udara seperti adegan yang pernah Laura lihat di drama Korea yang kadang ia tonton.

"Apa itu noona?"