Keesokan harinya Sera merasa kasurnya basah, ia berjalan dengan hati-hati ke kamar mandi. Kemudian mengganti baju setelah mandi, namun perutnya semakin melilit.
"Ser, bajumu basah?" tanya Marwah.
"Aku baru saja mandi Kak," Sera menyentuh bagian belakangnya.
"Astaga kak, kok basah lagi! Tadi juga seprainya basah banyak sekali, perutku hanya sakit melilit. Namun semakin sakit sekarang."
"Ser, itu seperti nya air ketuban." Marwah kini panik dan bangkit dari duduknya.
Di rumah hanya ada mereka berdua karena pak Jenay sedang pergi.
"Ah, lalu bagaimana Kak."
Marwah kini panik bukan main. Suara ketukan di pintu membuatnya langsung berlari membuka. "Keenan, cepat tolong Sera. Ketiban nya pecah!" Marwah sangat panik.
Keenan yang kaget langsung berlari ke arah Sera yang kini menengadah kan kepalanya. "Gendong cepat ke rumah sakit." ucap Marwah.
Keenan langsung melakukan yang di perintahkan Marwah. Diperjalanan Sera yang tadi masih berbicara, kini ia hanya terkulai lemas.
Marwah tak berhenti menangis melihat adiknya itu. Sampai akhirnya mereka tiba di Rumah sakit. Pikiran Keenan yang tampak tenang membuat Marwah tak bertanya padanya.
Marwah melihat setidak khawatir itu Keenan pada Sera. Pria itu hanya panik saja tadi.
Selang setengah jam Dokter yang menangani Sera keluar dari ruangan gawat darurat. "Wali pasien?" ucapnya.
Namun Keenan lebih dulu berdiri di banding Marwah. "Saya," ucapnya.
"Pasien sudah kehabisan ketuban, jadi saya rasa satu-satunya jalan adalah mengoperasi nya sekarang juga."
"Lakukan sekarang Dok, selamatkan gadis itu." Jawab Keenan.
Marwah melihat kesungguhan di wajah Keenan saat meminta Dokter menyelamatkan adiknya itu.
"Marwah tolong panggil Ayah mu kesini, biarkan dia berada disini."
Marwah yang juga masih panik ia hanya mengangguk dan memberikan kabar pada Ayahnya.
"Pak, saya izin pulang dulu untuk mengambil keperluan Sera dan bayinya."
Keenan mengangguk, dan mengatakan akan tonggal di Rumah sakit sampai operasinya selesai.
Setengah jam sudah Dokter mulai masuk ke ruangan operasi. Keenan sempat melihat wajah gadis itu yang sangat pucat dan menggenggam seprai ranjang yang di tempatinya.
"Pak Jenay datang ke rumah sakit, ia hanya berdiam tanpa menegur Keenan. Pria paruh baya itu cukup kecewa pada Keenan atas apa yang dilakukannya kemarin.
"Pak operasi nya masih?" tanya Marwah.
Keenan mengangguk.
Dua jam sudah operasi pun selesai. Dokter keluar dari ruangan yang mempertaruhkan nyawa itu.
Kini pak Jenay yang sedari tadi panik langsung menghampiri Dokter itu. "Dok bagaimana putri saya?"
"Putri bapak selamat, namun ia belum siuman! Kemungkinan membutuhkan waktu."
"Bagaimana bayinya Dok?" kini Marwah yang bertanya.
"Bayi nya selamat,,,,"
"Ah syukurlah!" Keenan menyela.
"Namun hanya satu bayi, mohon maaf karena bayi satunya meminum banyak air ketuban di dalam perut sehingga ia kekurangan oksigen, kami sudah berusaha." lanjut Dokter.
Kaki Keenan yang tadi berdiri kokoh, kini mulai terkulai lemas! Tubuhnya menghantam lantai begitu saja, pak Jenay dan Marwah saling menatap. Tiba-tiba suasana berubah menjadi sepi, mereka saling berdiam diri.
"Dok bisa saya masuk?" lirih Keenan.
"Tentu saja, silahkan!"
Keenan mengganti pakaian nya, agar steril di ruangan operasi. Matanya tertuju pada serat yang menutup mata dengan selang yang memenuhi tubuhnya.
Balutan baju hijau nya itu, membuat Keenan melihat jelas semua yang ada di ruangan itu.
Kini matanya tertuju pada satu bayi yang berada di tabung inkubator. Kemudian ia melihat satu bayi yang sedang di gendong suster. "Sus, bayi saya?" lirih Keenan.
"Maaf pak, kami tidak bisa menyelamatkan nya."
Keenan mengangguk dengan air mata yang meleleh di pipinya. "Saya ingin meng adzani mereka." ucap Keenan.
Keenan menggendong bayi yang sudah tak bernyawa itu, membawanya ke dekat bayi yang ada di dalam inkubator. Kemudian ia mengumandangkan adzan di dekat telinga kedua bayi itu.
Yang satu sedang berjuang bernafas, yang satu sudah tidak bernafas.
Selesai adzan dikumandangkan. Keenan mengelus rambut halus di kepala putranya itu.
"Maafkan Papa sayang, ini salah Papa karena membuat Mama stres kemarin! Seharusnya kita tidak bertemu secepatnya ini hanya untuk berpisah. Papa tidak menginginkan ini." Tangisan Keenan berkecamuk sembari memeluk putranya yang sudah membiru itu.
Suster membujuknya untuk memandikan, sekaligus di kafanı. Pak Jenay dan Marwah masuk juga kesana. Mereka melihat Keenan yang benar-benar hancur. Mereka tak mengira lelaki itu sangat rapuh.
"Nak, yang sabar. Tuhan mengambilnya karena sangat menyayangi anak itu. Biarkan menjadi ladang surga untuk kalian."
"Maafkan aku, seharusnya aku tidak membuat Sera shock."
"Biarkan ini sudah takdir." lanjut pak Jenay.
Mereka selesai mengurus bayi malang itu. Keenan berdiri lagi untuk menggendongnya. "Pak, saya ingin memakam kan dia sendiri, jangan memakai ambulance saya ingin pakai mobil saya. Marwah tolong panggilkan David dan bawa mobil Alphard."
Marwah mengangguk. Mereka keluar dari ruangan itu. Sementara Sera dan bayinya di pindahkan ke ruangan perawatan mereka masing-masing. "Nak, Papa akan memberi mu nama. Kamu sama seperti adikmu! Kamu adalah anak Papa yang hebat. Papa kasih kamu nama Serdar Jean, artinya petarung yang gagah, anak Papa yang hebat Papa ikhlas." lirihan Keenan itu membuat Marwah dan pak Jenay ikut menangis.
David datang dan segera menghampiri mereka semua. Pak Jenay ikut pergi bersama Keenan, sementara Marwah menjaga Sera.
David juga terus melirik kearah Keenan yang sedari tadi menggendong jenazah putranya tanpa mau bertukar dengan pak Jenay Keenan sangat terlihat rapih sekali.
Mereka tiba di pemakaman yang sudah di pesan. Walau itu dadakan dan untuk seorang bayi. Keenan menyiapkan pemakaman cukup ramai, dengan bunga dan pasilitas pemakaman yang bagus untuk keluarga elit. Dia bahkan turun sendiri dan mengadzani lagi almarhum putranya. Dia juga membisikan sesuatu. "Nak ini adzan terakhir dari Papa, pala ikhlas sayang." Kemudian ia menutup makam putranya dengan papan yang sudah di siapkan panitia pemakaman.
Tanah mulai menimbun tubuh bayi kecil itu. Keenan lagi-lagi menjatuhkan tubuhnya hingga lututnya membentur tanah, tangisnya tak bisa ia bendung. Kini laki-laki itu menangis dengan suara yang keluar dari sela tangisannya. Pak Jenay juga menangis namun tak se parah Keenan.
David berusaha menenangkan Keenan. "Sabar, ini yang terbaik dari Tuhan. Agar bayi itu tidak kesakitan."
"Gue yang sebabin anak gue lahir lebih awal, gue yang sebab in dia pergi lebih dulu juga, gue Gue bukan Papa yang baik kan Vid."
Keenan semakin menyalahkan dirinya.
Di rumah sakit, Sera siuman di sore hari. Marwah segera menghampiri ranjang adiknya itu.
Sera langsung menyentuh perutnya yang sudah mengempes. "Kak, perutku?"
"Kamu sudah lahiran Ser."
"Bayiku dimana?" tanya nya.
Marwah tak kuasa mengatakan itu pada adiknya. "Bayi mu ada di ruangan lain, sedang berada di tabung inkubator."
Marwah meremas ujung bajunya, ia berusaha mengontrol air matanya yang seakan tumpah begitu saja.