Keenan pulang kembali ke Rumah Sakit. Sepanjang perjalanan pun ia tak berbicara sama sekali selain menengadahkan kepalanya.
Pak Jenay mengerti perasaan anak laki-laki itu.
Begitu tiba Keenan menuju ruangan bayi dan menatap putranya dari balik kaca yang lebar. Ada beberapa bayi di sana, namun ia hanya menatap putranya saja dan langsung tahu itu dia.
Selang masih menempel ditubuh bayi kecil itu.
Pak Jenay segera memasuki ruangan dimana putrinya berada. Marwah tampak sedang menyuapi adiknya itu begitu sang Ayah tiba.
David juga masuk ke ruangan Sera, mengikuti pak Jenay.
"Vid, kamu disini?" tanya Sera.
"Iya, nganter Keenan juga dia lagi di ruangan bayi." jawab David.
"Hem!" Sera hanya berdehem mendengar penuturan David.
"Aku ingin melihat anak-anak ku Kak!" Sera mengatakan itu pada Marwah.
Membuat pak Jenay dan David juga saling menatap. "Em, anakmu sedang di dalam tabung inkubator See, karena lahirnya sebelum waktu yang diperkirakan."
"Apakah anakku baik-baik saja?" Sera mulai panik.
"Iya dia nanti di bawa kesini setelah lebih baik, kamu istirahat kan baru siuman abis operasi."
Sera menuruti kata Ayahnya itu.
Semua orang bergantian menjaga Sera. David pergi bersama pak Jenay ke mesjid untuk menunaikan ibadah nya. Sedangkan Marwah pamit sebentar karena suster memanggil untuk mengambil resep obat di apotek untuk Sera.
Keenan memasuki kamar Sera dengan langkah gontai.
"Hei," ucap Keenan.
"Hei!" Sera menjawab dengan lirih, ia juga tidak ingin berdebat dengan Keenan sama sekali.
Keenan duduk di ujung ranjang Sera menatap gadis itu dengan seksama. "Maafkan aku,"
"Tidak apa-apa Keen."
"Gara-gara aku salah satu anak kita tidak bisa selamat."
"Yang pen...." ucapan Sera tertahan. Ia menatap wajah Keenan yang menyiratkan kejujuran.
"Apa maksudmu tidak selamat?"
Suara Sera kian meninggi. Keenan merasa salah tingkah karena sepertinya keluarga Sera belum memberi tahu gadis itu.
"Apa Keen cepat katakan."
"Ser!" Keenan memegang kedua lengan Sera.
"Anak pertama kita meninggal karena menelan banyak air ketuban, aku baru saja selesai memakam kannya."
"Ah, ini tidak benarkan, kamu bercanda kan?" Sera mulai marah karena ucapan Keenan semakin tidak lucu.
"Maafkan aku Ser, ini gara-gara aku membuatmu marah kemarin!"
Sera kini menangis dengan histeris gak terima dengan ucapan yang di dengarnya.
Keenan memeluk gadis itu, tangan Sera hanya terkulai lemas begitu saja di samping tubuhnya ketika Keenan memeluknya.
Marwah masuk ke ruangan adiknya itu. Ia kaget karena Sera menangis di pelukan Keenan. Ia sampai gemetar karena sepertinya Sera tahu tentang anaknya.
Sera menangis sampai terkulai pingsan. Keenan panik dan memanggil Dokter untuk mengecek keadaan Sera.
"Marwah, saya di luar saja ya. Jika ada apa-apa panggil saya." ucap Keenan.
Marwah mengangguk dan menjaga adiknya. Tidak lama pak Jenay datang bersama David. Hanya menyapa saja yang dilakukan pak Jenay, kemudian masuk.
Melihat Marwah menggenggam tangan adiknya, pak Jenay langsung paham bahwa Sera mengetahui tentang anaknya.
"Anak Mama," lirih Sera, sepertinya pikirannya belum tenang ia sampai mengigau seperti itu, membuat Marwah menangis melihat keadaan adiknya.
"Keen, mau pulang saja dulu ke hotel? Kamu perlu istirahat juga."
Keenan menggeleng. "Gue disini aja, anak gue kayanya butuh gue banget sekarang. Dia kehilangan saudaranya juga, gue gak mau ada kejadian lain saat gue gak ada di samping dia."
David mengerti keadaan bos sekaligus temannya itu. "Kalau begitu gue bawa in baju Lo ya buat ganti."
Keenan mengangguk. Kemudian David segera berlalu.
Keenan terus bolak balik duduk di depan ruangan Sera kemudian ia kembali ke ruangan bayi, terus seperti itu bahkan dia tidak makan.
Sera bangun, matanya terus mengeluarkan air mata tapi tidak dengan teriakan sekarang. "Nak, kamu harus kuat!" ucap pak Jenay menggenggam tangan anaknya.
"Ayah, hatiku sakit sekali," Sera memukul dadanya dengan tangan yang terdapat selang infus.
"Nak, Ayah harap kamu akan kuat, dan saling menguatkan dengan Keenan. Ayah bisa melihat anak itu juga merasa bersalah padamu, dia menangis begitu mengadzani kedua anakmu, sampai pemakaman bahkan sampai sekarang."
Sera menatap wajah Ayahnya, yang di katakan pria paruh baya itu sukses menembus relung hati Sera.
"Kak, qku ingin bicara dengan Keenan. Aku ingin bicara berdua dengannya."
Marwah mengangguk mengerti juga Ayahnya. Mereka berdua keluar bersamaan dan melihat Keenan yang tampak lesu duduk di kursi tunggu.
"Nak, temui Sera. Dia ingin bicara denganmu." ucap pak Jenay.
Keenan langsung berdiri, walau dengan raut wajah ABG tidak bisa ia sembunyikan. Ia tetap mengangguk sopan.
Kemudian Keenan masuk ke kamar Sera.
Dia mendekati ranjang Sera lagi. Kini tanpa suara.
"Keen, apa kamu merasa kehilangan?" tanya Sera.
Keenan mengangkat wajahnya. Ia menatap Sera begitu saja. Keenan mengangguk dengan memegang bagian dada kirinya, kemudian menangis di depan Sera, membuat gadis itu juga menangis.
"Hatiku sakit sekali ketika melihatnya tidak bergerak, dada ku sangat nyeri begitu memasukannya ke liang lahat. Entah aku langsung berpikir tak pantas menjadi Ayah." Um ucap Keenan.
Sera menggeleng cepat. Ia menyentuh tangan Keenan. "Tidak seperti itu, kamu juga membelikan banyak sekali keinginan ku saat aku hamil kemarin, kamu menyayangi mereka."
Keenan semakin merasa bersalah pada Sera, ia mengetahui gadis itu pasti lebih hancur juga darinya.
"Aku juga seharusnya bisa menjaga mereka, namun akhirnya aku membuat mereka lahir lebih awal dan akhirnya seperti ini." Lanjut Sera.
Keduanya sudah bertukar pikiran dengan baik, Sera mengerti bahwa kali ini Keenan benar-benar kehilangan juga sama seperti dirinya.
Keesokan harinya bayi bungsu mereka di bawa oleh suster ke ruangan Sera. Keenan berada disana sepanjang hari. Karena Marwah bekerja dan pak Jenay juga pulang karena terlalu dingin di Rumah Sakit, untuk lelaki paruh baya itu.
Suster menyuruh Sera menyusui bayinya itu untuk pertama kali. Sembari memeluk putranya itu, Sera menatap setiap inchi wajah bayi itu. Keenan berada tepat di sampingnya.
"Keen, apa dia juga mirip seperti ini?" lirih Sera, air mata antara hari dan duka nya bercampur aduk.
"Ya, dia juga sangat mirip. Aku harap kamu tidak terlalu merasa kehilangan Ser, aku ingin kamu tetap melihat dia di anak bungsu kita, aku sudah memberi anak kita nama sebelum aku mengubur nya kemarin."
"Nama?" tanya Sera.
"Ya, namanya Serdar Jean, artinya panglima yang gagah! Dia tetap berjuang sampai akhir, biarkan dia tenang di surga." lirih Keenan sembari mengelus pipi bayi yang di gendong Sera.
"Lalu siapa nama putra kita yang ini?" tanya Sera.
"Bolehkah aku yang memberi nama?"
"Tentu saja kamu berhak."
Keenan memikirkan nama untuk putra bungsunya dengan seksama.