Chereads / Penjaga Sang Dewi / Chapter 38 - Beyond The Lies

Chapter 38 - Beyond The Lies

"Sekarang katakan siapa nama gadis itu?" tanya Rei dengan pandangan tajan dam tak memandang ampun pada Charlotte. Charlotte jadi gelisah dan meremas tangannya. Ia masih terus berpikir apa yang hendak dilakukan oleh Rei pada Honey. Kenapa ia malah mencari Honey sampai mengumpulkan beberapa fotonya?

Mata Rei makin membesar dan kedua alisnya naik saat Charlotte tak kunjung menjawabnya. Ia memberi kode dengan delikan lebih tajam dan itu hampir membuat Charlotte nyaris menangis. Ia akhirnya menyebutkan sebuah nama.

"Namanya Honey!" jawab Charlotte singkat masih memandang ketakutan pada Rei layaknya seekor kelinci pada serigala. Rei mengangkat sedikit dagunya ke atas dengan pandangan angkuh yang tak terlepas darinya. Ia akan membuka mulutnya tapi Charlotte malah balik memotong.

"Tapi aku tidak tahu nama belakangnya!" tambah Charlotte lagi. Kening Rei sedikit mengernyit. Mungkinkah ia tak tahu?

"Bagaimana kamu bisa tidak tahu?" tanya Rei lagi dengan ekspresi datarnya yang tak berubah. Charlotte terbiasa berbohong. Jadi ketika terdesak otaknya berpikir cepat caranya menutupi diri.

Ia masih berpikiran jika Rei ingin mengontrak Honey menjadi salah satu penyanyi di Skylar. Jika itu terjadi maka sia-sia lah usahanya sejauh ini menyingkirkan Honey untuk bisa lolos audisi. Gadis itu bahkan tak perlu audisi untuk mendapatkan kontrak. Itu tidak adil!

"Uhm ... kami memang satu kota. Tapi aku tidak mengenalnya. Ada 10 orang yang ikut dalam rombongan itu dan aku sendirian, aku tidak memiliki teman. Jadi begitu ada peserta lain yang satu kota denganku, aku jadi berkenalan dengan mereka," jawab Charlotte memberikan alasannya. Rei masih belum melepaskan pandangannya cari Charlotte. Otaknya tengah menganalisis apakah yang dikatakan oleh gadis itu masuk akal.

"Lalu ... kamu hanya berkenalan dengannya begitu saja?" Charlotte mengangguk dengan yakin. Ia memberanikan diri menatap Rei berharap pria itu akan percaya dengan kata-katanya.

"Aku hanya tahu nama depannya atau itu mungkin nama belakangnya. Yang jelas dia menyebut nama itu ketika berkenalan denganku. Tapi sesungguhnya aku tidak mengenalnya. Jadi jika Tuan bertanya padaku dimana dia tinggal, aku tidak akan tahu," sambung Charlotte panjang lebar menjelaskan.

Pandangan mata Rei turun sejenak dan ia sedikit memalingkan pandangan ke arah lain. Rei tengah berpikir kemungkinan lain yang terjadi. Bisa saja gadis itu berbohong tapi ia bisa saja sedang jujur mengatakannya. Jika Rei memaksa, maka gadis itu bisa melaporkan Rei dan ia akan mendapat sanksi hukum yang akan membuat runyam semuanya.

Rei menghela napas kesal dan mengangguk akhirnya. Ia lalu mendekat dan memandang gadis itu dengan tajam.

"Aku bukan pembohong dan akan menepati janjiku. Kamu akan masuk posisi 5 besar. Tapi jika aku menemukan kamu berbohong, aku tak akan melepaskanmu. Kamu bisa ucapkan selamat tinggal pada karier menyanyimu." Charlotte menelan ludahnya dengan gugup mendengar ancaman Rei.

"Jadi ... apa ada yang masih kamu tutupi dariku? Coba ingat lagi," ancam Rei makin menatap tajam pada Charlotte. Ia tengah mengintimidasi Charlotte dengan memojokkannya. Masalahnya Charlotte punya mental yang cukup tangguh. Ia memang takut tapi ia tak berani mengaku.

"Tidak. Tidak ada yang aku tutupi. Aku hanya tahu nama depannya saja, Tuan Midas!" Rei menaikkan dagunya dan menatap dengan sinis. Ia menarik napas dan mendengus dengan kesal sambil menganggukkan kepalanya.

"Baik. Kalau begitu terima kasih atas informasimu. Kamu bisa keluar sekarang!" Charlotte mengangguk dan buru-buru keluar dari ruangan tersebut. Tinggal Rei di dalam dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya.

"Honey ... namanya Honey!" gumam Rei mengangguk mengerti. Ia mengambil ponsel dan menelepon Ares kemudian.

"Res, gue uda dapat nama cewek itu. Namanya Honey ... tapi orang yang gue tanya mengaku gak tau nama belakangnya," ujar Rei begitu sambungan teleponnya tersambung.

"Namanya Honey tapi dia gak tau nama belakangnya?"

"Ya, begitulah. Dia bersikeras, gue gak bisa desak atau anak itu bisa nuntut gue nanti!"

"Oke, lebih baik kita ketemu sekarang!"

"Fine!" Rei pun mematikan sambungan ponselnya lalu membereskan foto yang ia letakkan sebelumnya di atas meja.

CRAWFORD

Abraham mengambil gelas kopinya dan duduk kembali di atas meja makan di dapur sendirian. Dengan sebuah lampu meja dan kaca pembesar, ia mencoba menempelkan kembali potongan kertas yang sepertinya adalah sebuah cek. Potongan kertas itu ditemukan Abraham dari tempat sampah milik Honey.

Abraham menempelkan lagi potongan kertas tersebut ke atas sebuah kertas putih seperti layaknya menyusun puzzle. Tapi beberapa potongan sudah hilang itu termasuk bagian tanda tangan dan nama si pemilik cek.

"Aku yakin ini milik pria itu. Tapi kenapa dia memberikan cek sebesar ini pada Honey? Kenapa Honey malah merobeknya dan tak melapor padaku?" gumam Abraham pada dirinya sendiri. Ia mengurut kepalanya mencoba menerka semua peluang yang ada. Tapi memang agak sulit mengingat kejadian itu sudah hampir lewat dua bulan.

"Huff ... ini akan sulit, Grey. Apa aku minta tolong yang lainnya saja? ah tidak ..." Abraham berdiri dan mengurut tekuknya sendiri. Ia berdiri menatap ke arah luar rumah dengan pemandangan hamparan perkebunan serta padang rumput. Daerah itu sangat sepi, bahkan di siang hari saja sudah terasa sepi.

LAS AGUAMITAS, SINALOA, MEKSIKO

Pagi-pagi buta Rodrigo mempersiapkan kapal nelayannya yang sederhana untuk berlayar mengitari teluk di sepanjang Aguamitas sampai ke Campo San Juan. Tujuannya adalah sebuah hutan tempat kartel SRF memproduksi kokain yang akan diseludupkan ke Amerika Serikat melalui perbatasan di Tijuana. Jadi Rodrigo harus mengambil barang-barang itu ke sebuah kota atau bisa dikatakan kawasan penduduk tak jauh dari Culiacan.

Ia melilitkan tali tambang di lengannya serta membuat simpul yang kuat. Rodrigo memilih mengerjakan semuanya sendiri. Ia tak pernah bisa keluar dari Aguamitas. Kali ini adalah kesempatan pertamanya setelah belasan tahun terjebak di sana.

"Hei ... apa kamu sudah siap?" tanya seorang anggota kartel pada Rodrigo yang berada di dermaga kecil. Rodrigo hanya menaikkan wajahnya dan mengangguk. Pria itu lantas mengangguk dan mengajak satu orang temannya lagi untuk naik ke kapal milik Rodrigo.

Rodrigo pun menyalakan mesin kapalnya dan bersiap berlayar. Ia membuka sebuah lilitan di pergelangan tangan kanan dan memasangkan benda berbentuk liontin bulan sabit itu sebagai kalungnya. Benda itu adalah keberuntungan dan pelindungnya selama ini. Rodrigo menyembunyikannya di balik pakaiannya yang lusuh.

"Berlayarlah dengan baik teman, kamu akan kaya raya!" ucap salah satu anggota kartel yang masuk ke dalam kapalnya. Rodrigo diam saja dan memilih berkonsentrasi untuk mengendalikan kapalnya saja.

'Tunggu Daddy, Nak. Daddy akan segera pulang! Aku berjanji akan terus hidup untuk melihat kalian lagi!' ucapnya di dalam hati.

Kapal itu menempuh perjalanan nyaris 10 jam untuk tiba di dermaga yang dimaksud lalu akan berjalan lagi menggunakan sebuah mobil jeep serta dilanjutkan dengan menunggangi keledai. Sepanjang perjalanan Rodrigo mencoba mengingat jalan masuk dan keluar dari tempat tambang emas putih (bubuk kokain) yang ternyata lebih besar dari pada yang ia duga.

Bau beberapa bahan kimia dan daun koka yang bercampur dan menguap kadang tercium cukup keras. Entah berapa pekerja yang bisa saja sakit atau mati selama bertahun-tahun.

Rodrigo pun di bawa ke sebuah komunitas atau daerah yang lebih modern. Sebuah kota kecil bernama Higueras.

"Ini belilah makanan untukmu!" ujar anggota kartel yang membawanya memberikannya sejumlah uang.

"Setelah 10 menit kembali kemari. Jika tidak kembali tepat waktu, tahu sendiri akibatnya!" sambungnya lagi dan Rodrigo mengangguk. Ia mengambil uang yang mungkin hanya cukup untuk membeli roti dan air minum. Tapi bukan itu tujuan Rodrigo.

Ia berjalan untuk mencari telepon umum. Kota itu seperti masih berada di abad 20. Masih ada boks telepon umum dan beberapa orang memakai ponsel jenis lama. Rodrigo segera mencoba keberuntungannya di salah satu boks telepon.

"Tuhan, berikan aku kesempatan untuk pulang!" gumamnya. Ia mengambil telepon lalu merogoh salah satu sakunya dan sebuah potongan kertas di sana. Ia mencoba menelepon enam nomor dan satu persatu tak bisa dihubungi. Sampai ia tiba di nomor terakhir dan tersambung.

"Halo ..."

"Bry?"