"Lenora?" panggil Abraham begitu melihat sosok wanita yang dulunya ia kenal sangat dekat dengannya. Wanita yang dipanggil Lenora beserta putranya itu menoleh ke arah Abraham yang berjalan mendekat pada mereka.
Lenora Caldwell perlahan berbalik dan sepenuhnya menghadap Abraham yang perlahan menaikkan senyumannya pada wanita yang dulu pernah ia cintai. Lenora pun tersenyum tipis dan matanya sedikit berkaca-kaca.
"Hai ..." ucap Lenora pelan dan rendah. Putranya di sebelah memandang bergantian pada ibunya dan pria yang ada di depannya. Pria itu tersenyum haru pada Lenora yang tengah berbelanja.
"Kamu ada di sini? Aku kira kamu tinggal di New York," ujar Abraham lagi memecahkan kekakuan di antara mereka. Lenora tersenyum lebih manis dan menggelengkan kepalanya.
"Aku sudah pindah lama dari New York. Sekarang aku tinggal di sini." Abraham mengangguk pelan dan matanya perlahan melirik pada seorang anak remaja yang tadi sempat menendang botol shampo yang ia akan beli. Lenora langsung menyadari dan memperkenalkan putranya.
"Oh, perkenalkan ini putraku, namanya Liam ..."
"Liam ... ini ..." Lenora berhenti pada putranya tak tahu harus menyebut seperti apa pada pria yang dulu pernah menjadi kekasihnya itu. Abraham langsung menjulurkan tangannya dan berjabat dengan Liam.
"Hai, aku teman lama Ibumu. Namaku Abraham Clarkson!" ucap Abraham memperkenalkan dirinya. Liam pun tersenyum dan memperkenalkan dirinya.
"Liam Caldwell, aku anak ibuku dan usiaku 12 tahun!" sahutnya dengan senyuman lebar. Tapi Lenora memandang heran pada pria yang ia kenal sebagai Grey Hunter tapi malah memperkenalkan dirinya sebagai Abraham Clarkson.
"Senang bisa bertemu lagi, Lenora. Mana ... suamimu? Aku tidak melihatnya," tanya Abraham berbasa-basi. Liam menaikkan kedua alis dan melirik ibunya yang jadi diam saja menutupi rasa sendunya.
"Aku sudah sendiri. Bruce meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan," jawab Lenora setelah terdiam beberapa saat. Ia tersenyum menutupinya dan itu membuat Abraham langsung merasa tak enak. Wajahnya langsung berubah.
"Maafkan aku. Aku tidak tahu. Uhm ... aku ikut berduka!" ucap Abraham menunjukkan simpatinya. Liam menaikkan kedua alisnya menahan senyum melihat tingkah ibunya yang gugup pada Abraham.
"Tak apa. Sudah dua tahun, aku sudah bisa menerimanya," balas Lenora lagi. Abraham masih memandanginya dengan campuran rasa gugup, jantung berdebar dan rasa senang namun bercampur sedih. Ia bisa melihat jika Lenora masih sangat mencintai mendiang suaminya.
"Mom, aku akan mengantre dulu. Kalian mengobrol saja. Senang bertemu denganmu Tuan Clarkson!" ucap Liam tersenyum memotong dengan pintar. Ia mengambil kereta dorong ibunya dan membawa ke arah kasir. Abraham pun baru ingat jika kereta trolley nya tertinggal.
"Ah, sebentar ... " ia buru-buru berbalik dan berjalan cepat lalu mengambil kereta dorong yang dibawanya. Abraham pun menyudahi mencari barang lainnya dan ikut berjalan ke arah kasir.
"Apa kamu berbelanja sendirian? Aku tidak tahu kamu juga tinggal di Boston," ujar Lenora berbasa-basi agar mereka tak tegang.
"Oh, iya aku sendiri. Aku hanya berkunjung sebentar ke Boston. Ada yang harus aku urus. Aku tidak tinggal di kota ini." Lenora mengangguk dan tersenyum lagi. Mereka pun berjalan pelan ke arah kasir beriringan.
"Bagaimana kabar anak-anak?" tanya Lenora lagi. Abraham menoleh dan berhenti sehingga Lenora ikut berhenti.
"Apa kamu masih ingat mereka?" Lenora tersenyum dan mengangguk.
"Tentu saja. Aku tidak akan pernah lupa. Mereka pasti sudah dewasa sekarang." Abraham tersenyum dan mengangguk lagi.
"Mereka sedang di New York untuk program magang. Haha ... waktu berlalu begitu cepat bukan?" tawa kecil Abraham terdengar aneh tapi Lenora hanya tersenyum saja.
"Senang bertemu denganmu lagi, Grey. Jaga dirimu." Lenora pun berbalik dan berjalan ke arah putranya yang tengah mengantre. Abraham sempat terpaku sejenak bergelut dengan hatinya. Rasa rindu itu tak pernah hilang dari hati Abraham sama sekali. Sekalipun ia membuang semua identitas lamanya sebagai Grey Hunter tapi hatinya tetap sama. Hati yang dulu sempat terlambat jatuh cinta pada Lenora Smith.
Cukup lama Abraham berpikir dengan berdiri di tempatnya sampai akhirnya ia menuruti instingnya. Ia berjalan menghampiri Lenora yang tengah menghitung barang belanjaannya.
"Lenora ... aku akan berada di Boston untuk beberapa saat. Mungkin kamu mau ... bersedia minum kopi denganku. Hanya jika kamu mau dan tidak keberatan," ujar Abraham dengan kalimat terbata-bata. Lenora sempat mengernyit tapi tetap mendengar dengan baik.
"Aku menginap di Hotel Poseidon. Jika kamu datang aku pasti akan ... ah maksudku ..."
"Akan kupertimbangkan!" potong Lenora mengangguk mengerti. Abraham pun mengangguk dan sedikit mundur.
"Sampai jumpa," ucap Abraham pelan dan Lenora pun membalas dengan senyuman dan ucapan yang sama.
"Sampai jumpa." Abraham lantas pergi untuk mengantre pada salah satu kasir sedangkan Lenora sudah selesai membayar. Setelah meletakkan seluruh barang belanjaannya kembali ke dalam keranjang, Lenora pun segera pergi dari Supermarket tersebut.
"Dia pria yang tampan!" goda Liam menyengir pada ibunya. Lenora mendelik menahan rona dan senyumannya. Sedangkan Abraham terus menatap Lenora yang sedang berjalan pergi dengan putranya lalu melewati Bradley yang baru saja selesai mengisi bensin. Bradley yang melihat Abraham langsung menghampirinya.
"Maaf aku lama." Abraham tersenyum dan menggeleng.
"Tak apa, aku baru selesai!" mereka berdua lantas pergi bersama untuk kembali ke mobil dan berkendara ke Poseidon.
BON TEMPO SALON, NY
Axel membawa kakaknya Honey untuk perombakan total pada penampilannya. Jika ingin mengelabui maka mereka harus melakukannya dengan total. Itu termasuk membabat tiga perempat dari panjang rambut Honey yang indah.
"Apa kamu yakin ingin memotong? Rambut mu indah, akan jauh lebih indah jika kita memberi beberapa gelombang dan layer," ujar salah satu kapster yang akan memotong rambut Honey. Honey lalu menoleh pada Axel seolah memohon.
"Apa aku harus memotong rambutku?" Axel langsung mengangguk. Ia mendekat dan berbisik.
"Apa kamu masih mau menggantikanku?" Honey mengangguk.
"Lalu kamu harus jadi aku!" tegas Axel dan ia menegakkan dirinya lagi. Ia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan potongan rambut untuk Honey yang ia inginkan. Kapster itu tersenyum dan mengangguk. Axel tersenyum menyengir saat dua tangan terampil kini memotong rambut pirang keemasan milik Honey dengan cepat dan rapi.
Honey dipilihkan model potongan Pixie hair cut dengan layer yang terlihat berantakan. Ia jadi lebih imut dan jadi makin cantik serta lebih segar.
"Wah ... " Honey tersenyum pada potongan rambutnya. Axel yang tersenyum lebar lantas mengucek sedikit ujung rambut Honey yang sudah pendek sama seperti potongan rambutnya.
"Jika rambutnya tidak berwarna pirang, aku akan sulit membedakan kalian!" celetuk kapster itu lagi. Axel jadi berpikir dan mengangkat kedua alisnya lagi.
"Kita ubah warna rambutnya. Buat dia semirip aku!" tunjuk Axel pada kapster tersebut. Ia langsung menunjukkan warna yang bisa dipilih sampai Axel memilih warna chestnut untuk Honey.
Butuh beberapa jam sampai urusan rambut selesai. Honey dan Axel bahkan makan malam di luar sampai Axel terus merasa ada yang kurang dari penampilan kakaknya.
"Kita akan beli kemeja, dasi dan celana untukmu. Jangan pakai pakaianku nanti kamu dikira teknisi seperti saat aku datang ke Skylar!" ujar Axel dan Honey langsung tertawa. Ia hanya mengangguk saja mengikuti ke mana pun Axel membawanya.
Axel ikut membelikan lensa kontak agar warna mata Honey yang mencolok bisa tertutupi, lalu kacamata dan mendandaninya seperti seorang pria.
"Kamu harus bicara sepertiku. Kamu tahu kan?" Honey mengangguk dan mendehem. Ia lalu berbalik dan berhadapan dengan Axel.
"A-Aku, namaku Axel!" ucap Honey dan Axel langsung menggeleng meringis. Ia menghela napas berat.
"Suaraku alto tipis, jadi tidak sulit mengikutinya. Aku tidak bersuara berat jadi kamu hanya harus sedikit mengembangkan difragma-mu dan sedikit membusung. Bicaralah dengan santai," jelas Axel memberikan pengarahan. Honey mengangguk lagi lalu sedikit menarik napas dan membusungkan dadanya. Axel langsung mendengus kecewa lagi.
"Kita harus menutupi dadamu! Ah ini tak akan berhasil!" sungut Axel kesal dan mulai duduk di sofa dengan rasa kecewa. Malam ini akan jadi malam yang panjang untuk Axel mempersiapkan Honey.