Axel berpikir untuk beberapa saat sambil memandang Honey yang harus siap esok hari untuk pergi magang di Skylar. Honey masih berdiri dengan sikapnya tubuhnya yang menggemaskan dan sangat feminim.
"Honey, kamu tidak bisa berdiri dengan sikap tubuh seperti itu! Terlebih dadamu!" tunjuk Axel pada tubuh kakaknya sambil meringis.
"Aku tahu, aku akan mengurus soal ini nanti. Percayalah tidak akan kelihatan," jawab Honey meyakinkan Axel. Axel mendengus kesal dan membuang pandangannya ke arah lain. Ia akhirnya mengangguk dan berdiri lagi dari sofa.
"Okay, sepertinya kita akan tidur terlambat malam ini!" Honey tersenyum lalu menyengir. Mereka pun berlatih kembali. Meski waktunya sangat singkat tapi Honey berjanji tak akan banyak bicara jika sudah tiba di Skylar. Lewat pukul 11 malam, keduanya baru selesai. Memang tidak seratus persen tapi setidaknya Honey mengetahui apa yang harus ia lakukan besok.
"Kira-kira aku akan menjadi asisten siapa ya? Manajer, kepala divisi atau produser?" gumam Honey di tempat tidurnya sambil memegang perutnya yang masih rata. Hoeny sudah jarang mual semenjak di New York. Sehingga hal itu akan sangat menguntungkan baginya. Jika ia sempat morning sickness di tempat kerja pasti akan menimbulkan kecurigaan.
"Ah, semoga kamu tenang saat kita bekerja besok," ujar Honey lagi pada calon bayinya. Ia lalu ingat bahwa ia belum pernah memeriksakan kehamilan semenjak mengetahui bahwa ia tengah mengandung. Honey tak memiliki keberanian ditambah tak adanya pengetahuan atau orang yang membimbingnya.
"Apa aku harus memeriksamu?" tanya Honey pada bayinya sendiri. Ia akhirnya menggelengkan kepalanya dan mulai berbaring. Honey berbaring sambil menyamping dan menggenggam liontin bintang utara miliknya. Matanya masih menatap badan lampu sudut di samping ranjangnya sampai matanya mengantuk dan terpejam.
"Selamat tidur, Jewel. Mimpi indah," gumam Rei saat membaca lagi surat perjanjian pra pernikahan di atas meja kerjanya. Ia sedang sendirian di kamar kerja di apartemennya dengan sebuah dokumen yang untuk sementara ini menjadi senjatanya. Ia sudah gerah dengan gosip gay yang menderanya selama ini.
Tak hanya menjadi bahan olok tapi Rei juga kehilangan beberapa artis yang sedianya akan bekerja sama di label miliknya. Mereka pergi karena Rei dianggap homofobik atau fobia pada pria gay.
Kedua tangannya lantas mengurut keningnya lagi dan menarik napas panjang juga berat. Semakin hari semakin jalannya tak jelas. Ia makin tak kunjung menemukan gadis di Boston tersebut dan malah makin terancam.
"Ah kenapa posisi gue sampe sulit begini sih?" rutuk Rei masih mengusap wajah dan meremas rambutnya. Ia menarik napas lagi dan kembali melihat pada dokumen perjanjian yang tertera nama Jewel Embrosia Belgenza sebagai nama pasangan Alrecha June Winthrop Harristian di sana.
Rei jadi mengerucutkan bibirnya. Andaikan surat itu adalah asli, Rei pasti akan sangat bahagia.
"Oh Jewel, kalau kamu masih hidup. Aku sudah pasti akan menikahi kamu dari dulu kalo perlu setelah kamu lulus sekolah dasar! Huh ... " Rei meringis lagi dan menangisi nasibnya lagi.
BOSTON
Abraham tak membuang waktu untuk mencari tahu apa yang terjadi dua bulan lalu di hotel Poseidon saat Honey melakukan audisinya di sana. Ia sudah mencoba bertanya pada manajer hotel tapi terang saja jawaban mereka tak akan memuaskan.
"Tidak ada laporan apa pun saat itu, Tuan. Jika memang terjadi kejahatan kami pasti tahu!" ujar manajer itu lagi. Abraham menghela napasnya kesal. Ia tahu ia tak akan mungkin dapat apa pun dengan cara jujur seperti ini. Abraham sudah bertobat, ia tak ingin melakukan hal curang lagi.
"Tolong aku. Putriku sedang mengikuti audisi menyanyi saat itu. Aku hanya harus tahu pria mana yang sudah membawanya ke kamar!" pinta Abraham masih mencoba sabar. Manajer itu tetap menolak dengan menggelengkan kepalanya.
"Maaf Tuan tapi itu melanggar aturan privasi di hotel kami!" tegas si Manajer lagi. Rasanya ingin sekali Abraham menjedotkan kepala manajer tersebut ke dinding karena kekesalan di hatinya. Ia melebarkan senyuman aneh dan mengangguk.
"Aku hanya ingin sekali saja melihat CCTV ..."
"Tidak, aku tidak bisa mengizinkannya. Maaf, aku harus kembali bekerja. Permisi!" Manajer itu pun pergi dan masuk kembali ke ruangannya meninggalkan Abraham di koridor. Rasanya ingin memukul dan menendang. Ia bisa saja menghubungi pemilik hotel dan memakai nama Grey Hunter lagi. Tapi masalahnya, apa kini orang masih mengenalnya?
"Lihat saja, jangan panggil aku Grey jika aku tidak bisa mendapatkan CCTV itu!" geram Abraham kemudian. Ia pun pergi dari koridor itu dan masuk ke dalam kamarnya untuk berpikir. Besok bagaimana pun caranya, ia harus mendapatkan jejak rekaman CCTV pada saat audisi berlangsung.
CRAWFORD
Seorang pria bertanya pada seorang wanita dan pasangannya yang melintas di jalan dekat sebuah toko kelontong. Pria keturunan Cina itu menyamar sebagai pendatang dan berniat hendak menumpang di rumah kenalannya.
"Maaf, aku agak tersesat. Aku ingin bertanya alamat tapi aku tidak tahu dimana," ujar pria itu pada pasangan paruh baya yang ia temui.
"Siapa yang kamu cari? Semua orang di kota ini setidaknya saling mengenal satu sama lain jika ia warga asli." Pria pendatang itu mengangguk lagi. Ia mengeluarkan sebuah foto dan menunjukkannya.
"Dia adalah sepupuku tapi kami sepupu jauh. Apa kalian mengenalnya, namanya Honey!" ucap pria itu menunjukkan foto itu dengan sopan.
"Oh, Honey! Ya aku kenal dia. Dia putri Abraham!" sahut pria tersebut sambil tersenyum. Pria itu langsung semringah. Pencarian selama nyaris empat hari akhirnya membuahkan hasil. Mereka memang tidak tinggal di tengah kota.
"Apa kalian mengetahui dimana alamatnya?" tanya pria itu lagi. Pasangan itu pun mengangguk.
Tak lama setelah mengantongi alamat, pria itu pun pergi ke rumah Abraham Clarkson. Namun begitu ia tiba di depan rumahnya, hari memang sudah gelap. Tapi pria itu bisa melihat dengan jelas sebuah papan bertuliskan "Terjual". Rumah berhalaman luas itu sudah dijual dan laku.
Pria itu mencoba mencari dengan mengetuk pintu depan. Tak ada jawaban sama sekali. Semuanya gelap artinya rumah itu belum dihuni oleh pemilik barunya. Pria itu lantas turun dari beranda rumah dan mengambil ponselnya. Ia menelepon Ares King, Bosnya.
"Leader King, aku sudah menemukan alamat gadis itu. Masalahnya rumahnya kini kosong dan sudah terjual!" lapor pria itu pada Ares. Ia berjalan ke arah mobilnya sambil mengangguk dengan perintah yang diberikan oleh Ares lewat ponsel.
***
Tibalah hari dimana Honey dan Axel akan memulai hari magangnya yang pertama. Mereka gugup dan takut membuat kesalahan terutama Honey yang sudah berpenampilan seperti pria tapi masih menggemaskan.
"Kamu masih cantik," ujar Axel dengan nada tanpa emosi. Honey tersenyum dan langsung menungkupkan tangan.
"Oh terima kasih!"
"itu bukan pujian!" wajah Honey lantas berubah cemberut dan itu membuat Axel terkekeh.
"Ayo, kita berangkat!" ajak Axel pada Honey yang kini berubah jadi Axel Clarkson. Axel akan mengantarkan Honey ke Skylar meski hanya bisa sampai di depan pintu. Ia masih belum rela melepaskan Kakaknya.
"Jangan gugup dan lakukan tugasmu dengan baik!" Honey tersenyum dan mengangguk. Honey akan pergi tapi Axel mencegatnya lagi.
"Jangan terlalu banyak tersenyum. Kamu harus jadi pria dingin ... dingin!" Honey mengatupkan bibir dengan tekad.
"Okey!" Honey pun berbalik dan berjalan kaku seperti Charlie Chaplin masuk ke dalam lobi Skylar dan itu membuat Axel menepuk jidatnya sendiri.
"Oh Tuhan, matilah aku!"