Chereads / Penjaga Sang Dewi / Chapter 42 - If Only He (She) Knew

Chapter 42 - If Only He (She) Knew

Axel mengomel tentang calon bos barunya begitu ia pulang lewat jam makan siang. Padahal ia belum melapor sama sekali.

"Bagaimana kamu bisa tahu jika dia orang yang menyebalkan?" tanya Honey jadi penasaran. Axel menoleh pada Honey lalu berdecap kesal.

"Aku melihatnya langsung. Dia memecat seseorang di depanku dengan memarahinya. Wanita itu bahkan tak bisa membela dirinya sendiri. Setelah itu dia malah masuk wawancara televisi. Apa kamu menonton televisi?" Honey menggelengkan kepalanya.

"Aku sibuk menelepon CRC company untuk urusan magang itu," jawab Honey kemudian. Axel mengangguk padanya.

"Lebih baik jika kamu tidak melihat wawancaranya. Dia orang paling bermuka dua yang pernah aku lihat. Bagaimana bisa ada seorang wanita yang mau menjadi istrinya? Yang benar saja!" Axel terus mengomel sementara Honey tak mengerti lebih dari separuh omelannya. Ia sampai memajukan bibir dan memainkannya sambil menatap Axel.

"Entahlah Axel. Lalu bagaimana sekarang?" Axel menggelengkan kepalanya dan masih tampak kesal memandang ke depan.

"Aku rasa aku akan mencari tempat lain." Honey langsung menggelengkan kepalanya.

"Besok adalah batas waktunya. Bagaimana kamu mau membatalkan begitu saja?"

"Tapi aku tidak mungkin bekerja pada orang seperti itu!" bantah Axel dengan cepat.

"Axel, tidak mudah untuk mencari tempat untuk magang. Jangan merusaknya dengan berhenti begitu saja. Ayolah! Kita datang ke New York bukan untuk bersenang-senang!" Axel makin kesal dan meremas rambutnya. Matanya lalu melirik pada surat magang yang didapatkan oleh Honey kakaknya.

"Apa kamu yakin akan magang di perusahaan itu?" tanya Axel lalu melirik pada Honye. Honey mengatupkan bibirnya dan menurunkan bahunya dengan pasrah.

"Aku tidak punya pilihan tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," ucap Honey dengan nada pasrah dan tak bisa berbuat apa pun.

"Itu bidangku. Aku begitu mengerti soal listrik dan mesin sedangkan kamu ..." Honey menoleh pada Axel dan mengangguk.

"Andai saja kita bisa bertukar tempat," gumam Honey dan Axel ikut menghela dengan nada pasrah. Keduanya duduk berdampingan dengan kebingungan di kepalanya. Beberapa saat mereka terdiam sampai Honey tampak berpikir sampai mengernyitkan kening dan menoleh pada Axel.

"Apa kamu akan tetap berhenti dari Skylar?" tanya Honey menoleh pada adiknya dan Axel yang memandang kosong ke depan hanya mengangguk saja.

"Jangan berhenti, biar aku yang menggantikan tempatmu." Axel mengernyit dan perlahan menoleh pada Honey.

"Apa maksudmu?" Honey makin menyampingkan dan menghadap Axel lalu memegang tangannya.

"Kita tidak punya waktu lagi. Aku sudah mendapatkan tempat magang dan mereka menerimaku tapi pekerjaannya adalah teknisi." Axel mengangguk.

"Sedangkan di Skylar kamu harus menjadi seorang asisten yang mengurus administrasi daripada seorang teknisi." Axel mengangguk lagi. Otaknya mulai berpikir akan apa yang sedang dimaksudkan oleh kakaknya itu.

"Lalu?"

"Aku belajar soal manajemen musik di kampus dan pekerjaan itu seharusnya cocok untukku. Dan pekerjaanku cocok untukmu. Jadi kita bertukar tempat saja!" sambung Honey bersemangat menjelaskan. Axel terkekeh kecil dan menggelengkan kepalanya.

"Yang benar saja, mereka kan mengetahui jika aku adalah laki-laki bukan seorang gadis!" Honey tampak berpikir lagi. Memang dia tak berpikir sejauh itu.

"CRC company tidak mempermasalahkan jenis kelamin. Kamu bisa datang sebagai aku dan mereka akan mengurus surat-suratnya!" Axel mengangguk.

"Kalau itu aku rasa aku bisa membujuk mereka agar tidak mempermasalahkan namaku. Menurutmu berapa banyak pria yang bernama "Honey?". Axel sampai mengkodekan tanda kutip di atas kepalanya. Honey tergelak kecil dan mengangguk.

"Tapi jika aku tidak menggantikanmu maka program magangmu akan gagal dan kamu bisa tak lulus!" ujar Honey lagi menimpali. Axel mengangguk.

"Aku sudah tidak terlolong, Honey!" Honey menggelengkan kepalanya.

"Tidak, aku tidak akan membiarkan kamu gagal. Biarkan aku yang menggantikanmu dan kamu bisa mengambil posisiku. Tujuan kita hanya 6 bulan kan, tidak akan ketahuan!" Axel makin mengernyit pada rencana konspirasi kakaknya.

"Caranya?"

"Aku akan menyamar menjadi kamu!" Axel makin membesarkan matanya tak percaya melihat Honey.

"Kamu gila!" Honey tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Kita mirip Axel!" Axel sedikit menaikkan ujung bibirnya seperti mencibir.

"Kamu ingin mengatakan jika aku adalah kamu versi pria minus rambut pirang?" Honey langsung tertawa mendengar kalimat itu. Axel pun ikut tertawa karena itulah yang dikatakan oleh anak-anak di Crawford ketika mereka pertama kali datang dan tinggal di sana.

"Ayolah, jika mereka saja bisa mengatakan kita kembar maka bukan tak mungkin orang akan berpendapat yang sama sekarang." Axel menarik napas dan tak yakin bisa menjalani kebohongan seperti itu.

"Bagaimana jika ketahuan?"

"Jangan sampai ketahuan. Yang penting kita harus bisa lulus kuliah tahun ini!" Honey terus memaksa dan Axel pun mengangguk. Dia tak mungkin menambah satu tahun lagi untuk kuliah hanya karena program magangnya gagal.

"Axel, aku sedang hamil. Aku tidak bisa menunggu lebih lama," tambah Honey makin membujuk Axel.

"Baiklah, lalu apa rencanamu?" tanya Axel dan Honey pun melihat pada dirinya sendiri.

"Aku tidak tahu. Apa aku harus pakai rambut palsu?" Axel memegang ujung rambut panjang Honey dan menggelengkan kepalanya.

"Tak akan berhasil, aku rasa kita harus memotong rambutmu!" Honey menaikkan kedua alisnya bersamaan. Ia tersenyum aneh tak lama kemudian. Axel lalu tersenyum lebih lebar.

"Ayo ikut aku!"

"Kemana?" Axel menarik tangan Kakaknya untuk berdiri.

"Kita ke salon dan berbelanja!"

BOSTON POLICE DEPARTEMENT

Abraham dan temannya Bradley Emmerson datang ke kantor polisi Boston untuk melaporkan kejadian yang menimpa Honey. Bradley kenal dengan kepala detektif di kantor polisi itu. Jadi ia membawa Abraham untuk menemui detektif tersebut.

"Aku ingin kalian mencoba mencari siapa pria yang sudah memperkosa putriku. Sekarang dia tengah hamil gara-gara itu!" ujar Abraham lagi setelah ia menceritakan seluruh kronologis sesuai dengan penuturan Honey. Detektif itu pun mengangguk.

"Kenapa Putrimu tidak membuat laporan tepat setelah kejadian itu?"

"Dia ketakutan dan dia sendirian. Memang dia tidak pergi sendiri, tapi dia tak tahu Boston. Dan anakku tak pernah pergi sendirian apa lagi mabuk. Aku yakin pria itu sudah mencampurkan sesuatu di minumannya dan semua itu terjadi!" detektif itu mengangguk lagi.

"Kami akan memeriksa CCTV hotel dan melihat semua kemungkinan. Tapi aku tetap membutuhkan keterangan dari Putrimu setelah kami menyiapkan semuanya nanti." Abraham mengangguk mengerti.

"Aku akan menjemputnya di New York nanti. Dia harus menjalani program magang dari kampusnya dan aku pikir aku harus menunggu sampai ia benar-benar bekerja." Detektif itu tersenyum dan mengangguk.

"Tentu saja. Untuk sementara tinggallah di Boston selama beberapa hari. Aku akan membutuhkan keterangan darimu nanti."

"Baiklah. Kalau begitu kami permisi dulu. Terima kasih sudah mau membantu!" Abraham berdiri dan berjabat tangan dengan detektif tersebut.

"Sudah menjadi tugas kami sebagai polisi. Lagi pula kamu adalah teman Bradley jadi aku harus membantu!" Bradley dan Abraham ikut terkekeh mengangguk. Keduanya lantas diantar sampai pintu masuk dan mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum kemudian keluar dari gedung kantor polisi Boston.

"Aku tidak tahu caranya berterima kasih padamu, Brad!" ucap Abraham sambil berjalan di parkiran bersama temannya Sherif Bradley.

"Ah, kamu adalah sahabatku, Abe. Aku pasti akan membantumu! Ayo kita pulang!" Abraham mengangguk dan masuk ke dalam mobil milik Bradley.

"Aku harus mampir ke supermarket sebentar. Ada beberapa barang yang harus aku beli!" ujar Abraham dan Bradley mengangguk mengerti. Ia pun berkendara tak lama kemudian. Bradley lantas menurunkan Abraham di depan sebuah supermarket dan ia pun keluar.

"Aku harus mengisi bensin dulu, setelah itu aku akan menjemputmu!" ujar Bradley dan diiyakan oleh Abraham yang berdiri di samping mobil tersebut.

"Aku tidak akan lama!" Bradley tersenyum dan memutar kembali mobilnya sementara Abraham masuk ke dalam supermarket untuk berbelanja.

Seperti pengunjung lain, Abraham mengambil trolley belanja dan mulai berkeliling. Ia perlu berbelanja beberapa barang kebutuhan selama berada di Boston. Ketika trolley-nya mulai terisi, Abraham lantas mendorong keretanya itu ke arah peralatan mandi seperti shampo dan sabun.

Ia tengah memilih ketika seorang anak remaja mungkin berusia 12 tahun tak sengaja menyenggol dan membuat botol shampo yang ia pegang jatuh lalu menggelinding ke depan. Bukannya menolong untuk mengambil, anak itu malah tak sengaja menendang botol itu karena ia terburu-buru. Abraham mendengus kesal dan terpaksa berjalan sampai ujung rak untuk memungut.

"Mom ... aku menemukannya!" pekik remaja 12 tahun tadi dan Abraham yang menunduk untuk mengambil shampo lantas berdiri tegak dan menoleh ke arah remaja tersebut.

Ternyata remaja itu tengah menemui ibunya yang tengah berbelanja dan memberikan barang yang dimaksud. Abraham mengernyit dan mulai berjalan ke arah wanita yang tersenyum pada anak remajanya.

"Lenora?"