Chereads / Penjaga Sang Dewi / Chapter 32 - Chasing A Shadow

Chapter 32 - Chasing A Shadow

Abraham pergi mengunjungi rumah sheriff county Crawford, Bradley Emmerson untuk berkonsultasi dengannya perihal urusan Honey. Bradley adalah pria paruh baya yang baik dan tegas. Ia sangat dihormati oleh seluruh warga kota dan tingkat kejahatan di Crawford memang tergolong cukup rendah.

Selain karena kota itu kecil dan dengan populasi yang tak padat, Crawford memang tidak terlalu terkenal. Di kota itulah mendiang Delilah Starley Belgenza lahir dan tinggal selama beberapa tahun hidupnya sampai ia dibawa oleh Ayahnya ke Napoli akibat hutang. Delilah tak pernah punya kesempatan untuk kembali ke kota asalnya. Namun Grey Hunter alias Abraham Clarkson mengubah seluruh identitasnya untuk kemudian menetap di kota tersebut.

"Aku rasa kasus ini akan sulit. Karena kejahatan tersebut tidak terjadi di sini. Ini milik negara bagian Massachusetts sedangkan kita di Pennsylvania." Abraham menarik napasnya dan mengangguk. Bradley jadi sedikit merasa kasihan dengan Abraham yang harus menghadapi masalah pelecehan pada putrinya seperti ini.

"Begini saja, aku akan coba menghubungi kepolisian Boston. Tapi, aku rasa kamu juga harus melapor ke sana. Kita bisa datang ke sana bersama!" tawar Bradley pada Abraham yang sedikit mengangguk sambil berpikir.

"Masalahnya sekarang Axel juga harus magang di New York, aku berencana untuk mengantarkannya ke sana. Hanya untuk memastikan tempat tinggalnya atau semacam itulah ..." Bradley tersenyum dan mengangguk.

"Anakmu sudah dewasa Abe, biarkan saja dia pergi ke New York sendiri. Atau Kakaknya Honey bisa menemani sementara kamu datang dari Boston untuk menyelesaikan masalah ini, bukan ide buruk!" tukas Bradley lagi. Abraham lalu menyandarkan punggungnya dan mulai berpikir lagi.

"Apa jika kita ke Boston maka kita akan menemukannya?" Bradley mengedikkan bahunya.

"Aku tidak bisa membantumu di sini, tapi mungkin temanku bisa. Dia adalah detektif di kepolisian Boston." Abraham masih menimbang-nimbang yang mana yang paling baik untuk dilakukan. Apakah ia akan bisa mendapatkan pria yang sudah memperkosa Honey dan membuatnya membayar perbuatannya?

"Pikirkan saja dulu di rumah. Jangan memutuskan terburu-buru!" ujar Bradley lagi dan tersenyum. Abraham pun ikut tersenyum lalu mengangguk.

"Baiklah, aku pulang dulu. Aku akan memberimu kabar besok. Kita akan berangkat secepatnya!"

"Tentu, teman. Hati-hati di jalan!" Bradley menepuk pelan lengan Abraham saat ia akan turun dari tangga beranda rumahnya lalu masuk menuju mobil yang diparkirkan tak jauh dari halaman.

Di rumah, Honey mendapatkan ide bagus untuk bisa menyelesaikan kuliahnya yaitu ikut magang bersama Axel. Masalahnya Axel masih tak mengerti rencana yang hendak dilontarkan oleh Honey.

"Tunggu sebentar, apa maksudmu kamu mau ikut aku ke New York?" tanya Axel dengan tampang bingung. Honey langsung mengambil tangan Axel dan menggenggamnya.

"Aku akan mencari tempat magang di New York bersamamu, bagaimana?" tanya Honey membuat Axel berpikir keras bahkan sampai mengernyitkan keningnya.

"Kamu harus mendapatkan rekomendasi perusahaan itu paling kurang 4 hari dari sekarang, Honey. Dimana kamu akan mencari surat itu? Memangnya sudah ada perusahaan yang ada di pikiranmu?" Honey menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Apa yang ia tahu soal dunia bisnis? Rasanya tak ada.

"Aku tidak tahu, tapi aku masih punya waktu setidaknya 3 hari untuk mencari dan mengirimkan lewat email bukan?" Axel mendengus agak kasar dan menggelengkan kepalanya lalu melipat kedua lengannya di dada. Honey tampak sedikit kecewa dengan respons yang diberikan Axel padanya.

"Axel ... apa kamu tak mau membantuku?" Axel menoleh pada Honey yang memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Bagaimana ia bisa meninggalkan Kakaknya yang begitu ia cintai? Mereka sudah kehilangan ibu dan ayah, Axel tak akan pernah sanggup berjauhan dengan saudarinya meski dengan alasan apa pun. Ia pun melingkarkan sebelah tangannya dan tersenyum tipis.

"Sepertinya kita harus merayakan ulang tahunku berdua di New York." Honey mulai mengembangkan senyumannya dan ikut memeluk Axel.

"Terima kasih."

"Aku akan membantumu mencari perusahaan untuk menerima program magangmu. Kita pasti akan menemukan cara." Honey mengangguk.

"Tapi ... bagaimana jika mereka tahu jika kamu sedang hamil?" Honey menaikkan pandangannya dan sedikit menyengir.

"Aku punya waktu 6 bulan bukan. Aku rasa itu cukup untuk menyembunyikan kehamilan, atau ... " Honey melihat pada tubuhnya.

"Uhm ... aku gugurkan ... "

"Jangan bicara hal itu, Honey. Kamu tidak boleh melakukan apa pun pada kandunganmu, dia tidak bersalah. Kita bisa mengurusnya bersama," ujar Axel langsung memotong Honey. Honey menelan ludahnya dengan sulit dan hampir menangis. Sesungguhnya ia tak pernah membayangkan caranya hidup dengan seorang anak sementara ia tak pernah siap untuk menjadi seorang ibu.

Tak berapa lama pintu belakang terbuka dan Abraham masuk lalu tersenyum pada kedua anaknya dari balik topi petnya.

"Dad ..." Axel menyapa dan menegakkan duduknya.

"Aku sudah bicara dengan Bradley dan sepertinya aku harus ke Boston untuk mencari pria itu." Abraham langsung bicara sambil memegang sandaran kursi dengan kedua tangannya. Honey dan Axel lalu saling berpandangan dan Honey menundukkan kepalanya karena malu.

"Semua salahku, Dad. Aku minta maaf," lirih Honey mulai sedih kembali. Abraham datang mendekat dan memeluk putrinya yang mulai terisak.

"Tidak ada yang salah, Nak. Kamu tidak salah, pria itu yang harus membayar perbuatannya bukan kamu, okey!" Abraham terus membesarkan hati Honey agar ia tak terus menerus menyalahkan dirinya.

"Aku akan menemukannya. Hhmm ... aku akan membuat dia menjebloskannya dalam penjara, dia tidak akan lepas dariku!" Abraham lantas menunduk dan mencium ujung kepala Honey lagi. Honey memeluk erat tubuh Abraham dan begitu bersyukur karena ia bisa memiliki seorang Ayah angkat yang begitu mencintainya. Axel pun ikut memeluk Honey dan Abraham seperti sebuah keluarga kecil yang bahagia.

"Aku belum bertanya padamu tentang apa yang akan kamu lakukan dengan kandunganmu, Sayang. Apa kamu akan meneruskannya?" tanya Abraham setelah Honey tenang dan duduk di sebelahnya. Tangan Abraham terus membelai rambut Honey dengan lembut. Honey menoleh pada Axel lalu kembali pada Abraham dan menggelengkan kepalanya.

"Aku sudah bicara dengan Bradley dan dokter Anderson. Mereka bilang dalam kasusmu, kamu bisa memilih untuk meneruskan atau aborsi. Tidak masalah, hukum kita tidak melarang. Jika kamu memutuskan untuk aborsi, kita akan lakukan dalam minggu ini, lebih cepat lebih baik," ujar Abraham lagi.

"Tapi Dad ... itu kan membunuh!" bantah Axel. Abraham tersenyum dan mengangguk.

"Kemungkinan besar kehamilan Honey baru menginjak beberapa minggu jadi, dia masih bisa membuat keputusannya sendiri. Daddy tidak ingin kamu memaksakan diri untuk menjadi seorang ibu saat kamu tidak siap. Tapi semua keputusan ada padamu, pikirkanlah dengan baik," sambung Abraham lagi. Honey terdiam sesaat sambil memilin jemarinya. Ia menelan ludahnya beberapa kali sebelum akhirnya tersenyum.

Keesokan harinya, Honey bangun lebih cepat dengan segudang rencana di kepalanya. Ia sudah memutuskan semuanya.

"Aku akan menjadi seorang ibu, Dad!" ujar Honey pada Abraham yang sedikit menaikkan ujung bibirnya.

"Satu lagi ..." Abraham masih menatap Honey yang masih ingin bicara.

"Aku akan ikut Axel ke New York. Aku akan menyelesaikan kuliahku dengan program magang di sana!"