Abraham Clarkson masih membaca surat pemindahan magang milik putranya Axel yang diberikan padanya. Ia mengernyitkan kening dan menghela napasnya.
"Kamu dipindah ke New York?" Axel mengangguk lagi. Abraham menaikkan pandangannya menatap Axel yang menatap dengan pandangan tak enak.
"Memangnya kamu sanggup untuk kembali ke sana?" tanya Abraham lagi dengan suara lembut. Axel menghela napas berat dan menundukkan pandangannya. Ia menggelengkan kepalanya dan Abraham pun mengangguk.
"Bulan depan adalah ulang tahunmu. Saat itu umurmu akan genap 20 tahun sama seperti Honey." Axel masih diam saja mendengarkan Abraham.
"Nak, suatu saat kamu harus kembali ke Vimero dan New York untuk mengklaim warisanmu. Kamu adalah pemimpin dan pemilik Superhart Tech, perusahaan itu milikmu." Axel masih tak menaikkan pandangannya.
"Aku hanya tidak mau trauma lagi," ungkap Axel dengan nada rendah. Abraham mengangguk mengerti.
"Aku pun tak ingin kamu mengalaminya lagi. Aku membawa kalian kemari agar kalian lebih dekat dengan kampung halaman ibumu, Delilah." Axel menaikkan pandangan pada Abraham yang menatapnya serius lalu tersenyum pelan.
"Tapi tempat ini bukan tempat kita berasal, suatu saat kamu dan Honey harus kembali dan memiliki semuanya lagi. Aku hanya harus memastikan, mereka sudah memusnahkan daftar rahasia itu dan tak mengejar kalian lagi," sambung Abraham bergumam. Axel masih diam saja menatap ayah angkatnya itu. Abraham lalu membaca kembali surat tersebut.
"Apa yang harus aku lakukan, Dad?" pandangan Abraham naik lagi pada Axel dan tersenyum.
"Pergilah. Kamu harus menghadapi ketakutanmu. Aku akan menyusulmu ke sana dan membawa Kakakmu. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di sini sebelum kita kembali ke New York." Axel masih terpaku sesaat sebelum ia mengernyitkan keningnya.
"Aku ... sempat berpikir untuk mengajukan tempat lain saja!" Abraham tersenyum dan mengangguk.
"Aku tidak bisa melarang, Nak. Cepat atau lambat kamu dan Honey juga harus kembali ke New York. Terutama bagimu." Axel menghela napas kesal dan mengantukkan keningnya pada lipatan tangannya di atas meja. Abraham hanya tersenyum saja menatap sikap Axel di depannya. Matanya kembali membaca surat itu dan ia membaca nama perusahaan baru yang direkomendasikan.
"Skylar Labels?" gumamnya perlahan. Hatinya bertanya dan mencoba mengingat nama perusahaan tersebut. Rasanya dulu tak ada satu pun anggota The Seven Wolves yang memiliki perusahaan rekaman seperti ini.
'Apa aku harus menghubungi Blake untuk mencari tahu? Tidak, dia akan mati berdiri mendengar orang mati menelepon!' gumam Abraham dalam pikirannya.
Keesokan harinya, Honey mendapat lagi email terakhir tentang masa tenggangnya untuk mendapatkan rekomendasi dari perusahaan tempatnya akan magang. Honey benar-benar stres. Ia sedang hamil, berbohong pada ayah dan adiknya soal kehamilannya dan sekarang bisa gagal untuk lulus jika tak berhasil mendapatkan surat rekomendasi magang.
"Huh, apa yang harus aku lakukan?" gumam Honey mulai menangis lagi tak tau harus berbuat seperti apa. Ia membaca lagi email itu dan tak tahu harus bertindak. Ia tak punya rencana apa pun sama sekali di kepalanya.
"Honey?" panggil Josh Hatlin pada Honey dan ia langsung menyeka air matanya lalu menyimpan ponselnya dengan cepat. Josh lalu duduk di sebelah Honey yang tengah duduk di pinggir dinding pembatas rumput taman setinggi 80 cm dengan senyuman lebar. Honey menoleh padanya dan ikut tersenyum meski tak selebar kekasihnya itu.
"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu!" Josh lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah email dari perusahaan rekaman terkenal Tritone yang akan segera mengontraknya.
"Booth camp?" Josh mengangguk dengan senyumannya.
"Aku akan masuk camp pelatihan akademi musik mereka minggu depan. Setelah tiga bulan aku akan siap dengan album debut dan ... rekaman!" ucap Josh dengan semringah dan semangat. Honey tersenyum memandang Josh. Sekilas terlintas bayangan masa depannya nanti.
Honey mungkin akan putus kuliah lalu menjadi seorang ibu tunggal dengan seorang anak dan pekerjaan serabutan. Ia mungkin akan bernyanyi dari kafe ke kafe lalu bertemu dengan pria pemabuk, hidup bersama dan pria itu akan memukulnya. Rumah tangganya berantakan, anaknya tak terurus dan ia masuk penjara.
Mata Honey membesar membayangkan betapa buruknya masa depan yang ia miliki saat ini. Berbeda dengan Josh yang akan terkenal, lalu memutuskan hubungan dengan Honey sebagai kekasih karena ia hamil bayi dari pria lain. Josh akan menjadi penyanyi terkenal dengan banyak uang, ketenaran serta berpasangan dengan artis cantik juga.
"Honey ... Honey?" panggil Josh mengejutkan lamunan Honey yang kemudian tersentak lalu menoleh padanya.
"Uh ..."
"Kamu melamun? Apa yang kamu pikirkan?" tanya Josh keheranan dan sedikit mendengus tersenyum merasa jika Honey begitu menggemaskan. Honey hanya tersenyum aneh dan menggelengkan kepalanya.
"Selamat ya, kamu akan jadi penyanyi terkenal dan ... aku pasti akan membeli album musikmu," ujar Honey dengan suara lembutnya sambil tersenyum dengan tulus. Josh kembali mengembangkan senyumannya dengan tulus.
"Aku akan kembali untuk menjemputmu. Ketika aku sudah sukses nanti, aku ingin kamu tinggal bersamaku. Bagaimana?" tanya Josh dengan harapan besar di matanya. Honey kembali tertegun menatap Josh. Kegalauan itu datang lagi melandanya. Bagaimana ia bisa bersama Josh sementara ia tengah mengandung bayi pria lain yang bahkan tak ia kenal? Tak mungkin Josh bisa menerima hal tersebut. Tapi Honey tak memiliki keberanian untuk bicara dengannya.
Pertanyaan itu tak dijawab oleh Honey dan Josh pun tak mendesaknya. Ia hanya tak ingin Honey merasa terbeban sementara Honey memiliki beban untuk melepaskan Josh secepatnya.
NEW YORK
Ares dan Jupiter King bekerja sama untuk mengendalikan pemberitaan media mengenai Rei. Salah satunya adalah dengan melepaskan satu persatu berita gosip soal Christina dan Travis. Untuk Christina, kehidupan lama dan kelamnya dibuka oleh salah satu media gosip. Setidaknya itu cukup untuk memberi jeda waktu untuk berita lainnya.
Sedangkan pada Travis mungkin tak terlalu berdampak. Pria itu bukan penggemar kehidupan malam tapi ia memiliki beberapa aset yang tak wajar sebagai seorang asisten. Hal itulah yang diinvestigasi oleh media.
D tengah kemelut yang mulai terjadi di Golden Dragon, Ares tetap membantu Rei menyelesaikan masalahnya.
"Tidak ada yang tahu siapa nama gadis itu. Sedangkan ada satu gadis yang lolos masuk ke booth camp memang berasal dari Crawford. Hanya kita belum bisa bertanya apa-apa, dia masih di karantina," ujar Ares memberi laporan pada kelompoknya. Jupiter, Aldrich dan Rei mendengarkan Ares dengan baik.
"Aku sudah mengirimkan salinan surat perjanjian pra pernikahan milik Rei padamu, Ares," sahut Aldrich menoleh pada sahabatnya itu.
"Terima kasih, Profesor dan selamat atas pengukuhanmu," Aldrich tersenyum dan mengangguk.
"Lalu sekarang bagaimana?" tanya Rei lagi.
"Bersabar," jawab Aldrich singkat. Jupiter dan Ares tak menjawab selain hanya tersenyum.
"Aku ke kantor polisi kemarin dan bertemu Andy. Dia menyatakan perang." Ares tiba-tiba bicara setelah beberapa saat terdiam. Aldrich, Jupiter dan Rei ikut melihat Ares yang sedikit menunduk lalu tersenyum meminum kopinya.
"Apa yang kamu harapkan? Dia akan kembali pada kita?" gumam Aldrich bertanya dengan nada kecewa. Rei hanya bisa diam saja dan menarik napasnya.
"Apa aku perlu bertemu dia? Mungkin ... aku bisa bicara dengannya?" Jupiter tersenyum mendengar pertanyaan Rei.
"Rei, dia bukan lagi Andy, si pianis manis yang kita kenal. Jika dia bisa mengancam Ares, dia bisa juga membunuhmu. Dia punya alasan untuk itu. Itu sebabnya mengapa ia menyakiti Chloe dulu," ujar Jupiter dengan nada miris.
"Syukurlah, Om Jay membubarkan The Seven Wolves," gumam Rei menundukkan kepalanya.
"Jangan senang dulu, mereka masih menyembunyikan daftar itu. Jangan lupa jika kita masih bisa diincar," ucap Aldrich sambil melipat kakinya lalu menaikkan pandangan ke depan. Venus Harristian terlihat keluar dari jalan samping bangunan Skylar diikuti oleh seorang pria berjas rapi yang belakangan menjadi pengawal pribadinya.
Venus terlihat tersenyum pada pengawal yang membukakan pintu mobil untuknya. Pria itu lalu menutup pintu dan memberikan kode pada mobil pengawal di belakang untuk bersiap dan berjalan terlebih dahulu. Setelah itu, pria itu ikut masuk ke dalam mobil tersebut.
"Apa kabar Venus?" gumam Aldrich masih memandang mobil tersebut yang sedang berjalan melewati jalan di samping taman tempat Rei dan teman-temannya tengah berkumpul.