Tadi malam, aku sempat melihat sejenak pesan chat yang masuk dari Rahmi. Dia mengajak nongkrong nanti siang setelah Zuhur, aku jawab, "Ok." Lalu, menutup aplikasi dan mematikan data ponsel. Karena hari ini libur, aku sudah membereskan pekerjaan rumah sejak pagi. Sekarang, aku sudah bersiap untuk bertemu mereka di warung bakso.
Aku hanya membawa ponsel jadul Nobita. Melajukan motor pelan-pelan ke warung bakso yang belum lama didirikan. Kata Rahmi enak, tempo hari dia makan bersama mertuanya di sana. Siang ini angin sejuk dan bertiup sepoi, matahari juga tidak menyengat. Rasanya seperti bukan siang hari setelah Zuhur.
Warung Bakso Bu Naning, nama warung yang tertulis di baliho kecil di bagian depan plafon. Aku memakirkan motorku di sayap kiri. Deretan motor memenuhi parkiran hingga abang tukang parkir kerepotan mengaturnya. Untuk mobil parkir di bagian sayap kanan. Hebat juga si ibu membuka usaha. Konsep yang dipikirkan sungguh matang karena area parkir masuk dalam pertimbangan.
Bangunannya besar, bisa kupastikan dia menyewa dua toko dijadikan satu. Atau mungkin memang miliknya sendiri? Alhamdulillah kalau begitu. Tahu kan biaya sewa toko sekarang mahal luar biasa? Satu tahun di dekat rumahku saja paling murah dua puluh juta.
Aku celingak-celinguk mencari kursi kosong di antara pengnjung yang berceloteh. Pelayan sibuk mondar-mandir membawa mangkok berisi pesanan. Mangkok-mangkok kotor tergeletak bertumpuk di atas meja. Ramai sekali pengunjungnya. Mungkin memang ramai atau kebetulan ramai? Selain rasanya enak, juga karena cuaca yang mendukung.
"Gue baru aja sampe," kata Rahmi menutup tas.
"Udah berapa lama warung ini dibuka? Soalnya aku nggak pernah denger," kataku setelah duduk.
Tasku dan tas Rahmi beradu di atas meja. Tiga botol air mineral, tiga botol teh rasa buah, sekotak tisu, sekotak tusuk gigi, berada di meja selain bahan pelengkap penambah rasa nikmat kuah bakso.
"Noni katanya agak telatan dikit. Sari nggak ada kabar," ucap Rahmi sedang mengetik.
"Eh, ponsel loe nggak aktif ya? Pesan gue kepending, nih," sambungnya tanpa menatapku.
"Maksud loe nggak ada kabar?"
"Dia nggak ngabarin telat atau nggak," sahutnya menggeser kunci motor.
Aku mengangguk sebelum berkata, "Oh, trus udah sering loe makan di sini?" Kemudian melanjutkan, "Sorry, gue nggak inget."
"Baru sekali, Ree, dan sekarang bakal jadi dua kali. Hape loe napa sih? Nggak ada kuota ya?"
"Nggak, ketinggalan. Paketnya gue matiin sejak semalam nggak diidupin. Lagi males ajah," sahutku terdengar sedikit merajuk. Dia manggut-manggut.
"Ada gosip apaan?"
Karena perasaanku baik sejak bangun tidur, walau ada sedikit resah menghampiri kalau-kalau si duren mencariku, aku tidak mau ketinggalan menikmati hidup dengan mendengar berita panas terbaru. Sesekali bergosip tidak menjadi jelek rupa kecuali yang melihatnya bermata rabun atau katarak. Itu kata Noni si perempuan informan yang tahu segala berita ter-up-to-date, bahkan dia yang meng-update berita di antara kami.
"Nggak ada. Soalnya gue udah tahu perkembangan kasusnya Tia."
Aku manggut-manggut. Sebenarnya aku masih ingin bahas kasus itu, tapi moodku berubah gara-gara Sari kemarin lusa. Kami segerombolan perempuan yang tidak suka diinjak-injak oleh lelaki, tidak boleh disakiti oleh kaum adam. Kami perempuan strong dengan visi misi yang sama meski sedikit berbeda. Apalagi urusan sifat dan tabiat. Perbedaan yang menyatukan kami. Seperti Bhinneka Tunggal Ika.
"Loe udah pesen belom, Mi? Nunggu di sini kayaknya nggak ditanyain, dech," keluhku melihat pelayan mondar-mandir tapi tidak ada yang menyambangi meja kami.
Rahmi mendongak melihat sekitar kemudian menyahut, "Iya, ya, perasaan dari tadi lewat-lewat aja." Lantas berdiri untuk menuju meja kasir.
"Gue kayak biasa ya, Mi."
"Loe dah lama, Ree?"
Noni datang menarik kursi lantas duduk. Sepertinya dia tidak membawa kendaraan. Biasanya melempar kunci ke meja sampai jantung rasanya mau lepas.
"Belum. Rahmi juga belum. Dia lagi mesan makanan. Loe kayak biasa, kan?"
Dia mengangguk. Kalau sudah ada Noni, nongkrong di pinggir jalan pun serasa tidak ingat pulang. Ada saja bahan pembicaraan yang bersifat serius, yang membuatku kadang-kadang menjadi provokator untuk setiap penyelesaian dari masalah yang sedang dibahas.
"Nggak punya gosip loe hari ini?"
Aku melihatnya berbeda dari biasanya yang langsung mengoceh tanpa ditanya. Hari ini dia hanya duduk melipat tangan menunggu sajian dari pelayan. Menyedot teh rasa buah tanpa banyak bicara.
"Sekali-sekali gue libur lah, itung-itung ngurangin dosa jariyah –"
Rahmi kembali dengan sebotol susu kedelai yang diambilnya di kulkas. Susu merk lokal yang terkenal di kotaku. Enak dan higienis, selain pengemasan yang menarik dan kedap udara.
"Gue kan juga mau masuk surga. Salah satunya kan nggak boleh gibahin orang ya, kan?" sambungnya serius.
Tumben dia waras. Ingin sekali aku tertawa terpingkal-pingkal di depannya sekarang. Oh, Noni sang informan gosip yang biasanya paling nyolot kalau dinasehati soal ghibah, sekarang justru terdengar seperti sedang menasehati seseorang dari buruknya dampak dari lidah tak bertulang.
Apa dia sudah mulai bertobat?
Aku tidak mau menjadi orang toxic khususnya toxic positivity, karena menertawakan seseorang yang akan berbuat baik. Tapi, jujur saja, pengakuannya membuatku geli walaupun aku mendukungnya untuk menjadi orang yang lebih baik. Salah satunya penampilan, sebab sampai sekarang hanya dia seorang yang belum berhijab di antara kami.
"Loe ngomong apaan, Non?" tanya Rahmi menaruh botol susu.
"Dia nggak mau ngegosip lagi. Biar nggak numpukin dosa yang belum sempat ditaubat," jawabku kurang ajaran.
Rahmi melongo. Kemudian tersenyum cengir.
"Ya, bagus donk. Gue dukung loe banget, Non. Daripada loe kena stroke bibir? Kan berabe!"
Nah, Rahmi tumben-tumbenan begini. Tidak biasanya juga dia menjadi racun yang menaikkan orang ke atas, lalu dilemparkan lagi ke bawah. Menjatuhkan seseorang ke mental yang buruk. Dia sosok yang jarang meledek Noni. Aku lebih melihatnya pada sikap Sungkan. Berbeda denganku yang lantang bicara saat aku tidak setuju atau di luar konteks nuraniku sebagai manusia atau perempuan.
"Jangan toxic donk, Mi. Pure positivity support harusnya yang loe berikan. Kita nggak tahu jalan mana yang jadi baik atau bencana buat kita," ketusku.
Meskipun setan iblis dalam diriku tertawa lebar, tapi aku juga tidak suka sikap Rahmi tadi. Aku paham betul rasanya diperlakukan seperti itu. Tidak ubahnya ditertawakan untuk sesuatu yang ingin dilakukan, dan diraih.
Noni hanya melihatku dengan tatapan seperti terharu. Dia melihat Rahmi yang tersenyum kecut setelah kutegur dengan caraku yang sudah mereka kenal.
"Tumben loe kayak tadi? Biasanya loe sama kita-kita ngedukung tanpa menjatuhkan," protes Noni.
Raut wajah Noni berubah ketika menatap Rahmi. Aku melihat keduanya seperti akan mulai perang yang aku tidak bisa tebak apakah panas atau dingin. Dan, aku sepertinya tidak bisa non-blok.