Chereads / LADUREE / Chapter 30 - Lelah jiwa dan mental

Chapter 30 - Lelah jiwa dan mental

Sepuluh menit setelah menutup telepon dari mas Romi, aku mendapat panggilan telepon dari si Duren. Malas sekali aku menjawab teleponnya. Tapi, terpaksa kujawab. Apakah ada yang urgent?

Sayangnya, tidak. Dia meneleponku hanya untuk berbincang yang menurutku tidak penting. Tiga puluh menit waktuku tersita hanya untuk mendengar ocehannya. Seharusnya sudah dua puluh halaman novel misteri terbaca olehku. Air yang baru kutimba masih berada di ember, maksudku menimbanya untuk menyiram lantai dekat sumur yang sedikit bau karena sampah.

(Pak, maaf. Saya masih ada kerjaan di rumah, apa bisa dilanjut lagi nanti?)

Aku harus memotong pembicaraannya yang mulai tidak jelas arah pembicaraan. Salah satunya dia mengungkit pertemuan kami di toko buku. Seperti yang kubilang, dia suka sekali mengungkit yang sudah lalu. Pantas saja mantan istrinya menceraikannya.

(Oh, ok. Maaf ya, saya udah mengganggu istirahat kamu).

Rais Darmawan ini manusia ngawur sebagai laki-laki. Awal mula membuatku terpesona dengan caranya berbicara dan bersikap, sejak awal mula dia numpang tanya di rumahku. Oh, tunggu! Dia ke lorong belakang rumahku waktu itu. Ke rumah bu Nila, tapi ada apa? Apa mereka bersaudara?

Matahari terik lagi siang ini dan seharusnya tadi aku menjemur kasur dan bantal. Sebab, benda yang kupakai tidur itu masih buatan kapuk. Menjemurnya di bawah matahari membuatnya kembali mengembang dan empuk. Sayang, tilamnya lumayan berat untuk diangkat ke teras. Kurasa pinggangku akan keseleo kalau kuseret ke teras.

Telingaku mendengar suara pintu pagar dibuka dan suara langkah beralas sandal. Bapak dan ibuku pulang dari rumah adik bapakku. Pesan dari bu RT kusampaikan sebelum lupa, dan mereka hanya menjawab, "Iya."      

Aku bergegas ke kamar untuk istirahat siang. Tidak ada pendingin udara di rumah kami, kecuali kipas angin. Bukan tidak mau memasang benda itu, hanya saja Ampere listrik di rumah tidak mencukupi. Itu cukup menjadi alasan kuat bagiku yang menyayangkan perubahan iklim yang signifikan karena rusaknya Ozon. Sewaktu aku kelas tiga pakai rok abu-abu, luas ozon yang berlubang sudah sebesar benua Australia. Bisa dibayangkan sekarang sebesar apa.

Setiap kali di kamar, mataku tidak lepas dari android yang tergeletak di atas tumpukan novel. Kondisinya sedikit berdebu, dan aku penasaran sebetulnya apa isi pesan-pesan dari ribuan chat yang akan masuk ketika kuaktifkan. Tidak, lebih baik tidur siang saja. Pesan-pesan itu hanya akan membuat otak bekerja, membuatku melek. Tapi, mulut ibuku yang mengoceh di dapur mengacaukan semuanya.

Beliau kembali mencari kambing hitam. Menyalahkanku tidak mengeringkan lantai yang becek di depan kamar mandi, yang bisa membuatnya terpeleset. Jujur, aku tidak tahu menahu perihal itu. Pipa air yang tersambung ke mesin cuci sepertinya memang bocor kecil. Sering aku melihat genangan air di bawah pipa tersebut. Tapi, kali ini aku tidak melihatnya sejak tadi mereka pergi. Mungkin baru beberapa menit air itu keluar.

Sudahlah ibu, berhentilah menyalahkan orang lain. Tidak ada kebaikan yang didapat dengan marah-marah apalagi menyudutkan anak sendiri. Sering aku berpikir aku seperti bukan anak kandung, kenapa Tuhan tidak mengubah tabiatnya yang merusak mentalku? Mental yang rusak adalah bibit dari hancurnya hidup seseorang. Karena itu, agamaku mengajarkan agar menjaga lidah dan ucapan.    

Aku terseret. Ini kelemahan terbesarku yang belum bisa kukendalikan. Aku selalu berusaha untuk itu. Tapi, tidak berhasil. Aku justru tenggelam semakin dalam. Kenapa susah sekali keluar dari keluarga toxic?

(Semua orang punya luka, tapi dibalut dalam cerita yang berbeda).

Tiba-tiba terlintas kata-kata yang pernah si duren ucapkan. Aku membenarkannya. Kalimat itu pelan-pelan memberiku semacam kekuatan. Menggiringku berpikir positif bahwa hidupku tidak semenderita itu. Bukan aku manusia yang paling tersakiti di muka bumi. Aku pun jadi teringat buku yang ditunjukkannya kemarin. Seharusnya kupertimbangkan sebelum menolaknya.

Ah, Rais. Kenapa di saat seperti ini dia malah menjadi pengobat luka? Penyalur energi positif yang membawaku pergi dari pikiran negatif yang akan membuatku semakin buruk?  

Sedikit penyesalan terselip di lubuk hatiku. Seharusnya aku tidak bersikap ketus padanya. Dia sudah meminta maaf yang mungkin memang tulus dari hatinya. Seperti peribahasa 'dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.'

Dia orang baik. Lebih dari baik sebagai seorang atasan. Mungkin kesakitan karena pernikahan membuatnya mengerti arti bahagia untuk diri sendiri dan belajar berpikir positif. Mungkin itu juga yang membuatnya tidak membuka hubungan dengan perempuan baru pasca bercerai. Sakit yang belum terobati menyisakan trauma dalam dirinya.

Mungkin aku akan minta maaf nanti sewaktu di kantor. Sekarang aku harus pergi. Menenangkan diri di satu tempat, menjauh dari ibuku yang jahat. Tidak ada lagi keinginan untuk istirahat, sudah hilang entah ke mana.  Aku bersiap dan membawa ponsel android untuk berjaga-jaga, juga novel yang masih belum selesai.

(Saya minta maaf, udah ganggu kamu. Saya tahu, kamu masih marah sama saya. Sikap saya keterlaluan. Seharusnya saya nggak bentak-bentak kamu).

Kata-katanya tadi melintas ke benakku setelah di atas motor. Sepanjang jalan aku mulai diliputi rasa bersalah pada si duren. Merasa diriku adalah penjahat. Manusia berhati dingin yang tidak memaafkan setelah seseorang meminta maaf.

Rasa bersalah. Itu juga hal terbesar yang menurutku buruk, yang terjadi padaku. Aku harus segera menanganinya sebelum semakin memburuk karena ulah ibuku, yang menuntut pengertian dari orang lain untuknya. Dengan sifatnya yang bersilat lidah, tidak terima disalahkan atas sikap dan tindakannya yang salah, mengkambinghitamkan orang lain atau keadaan, tamak, gila pujian dan status sosial, tidak menghargai jerih payah orang lain.

Perilakunya yang berasal dari tabiat yang membuatku membangkang padanya. Bahkan, aku mudah tersulut amarah dan kebencian padanya setiap kali beliau bicara. Hingga aku pun harus menjadi sepertinya kadang-kadang atau bahkan berbicara kasar dengan nada tinggi. Aku tidak punya cara lain untuk menyembuhkan diriku yang sakit karenanya. Fisikku sakit sudah dari mental yang sakit karena ulahnya puluhan tahun.

Sebagian orang akan menyalahkanku atas sikapku dan berkata, "Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Bagaimana pun dia adalah ibu kita, bla… bla… bla…."

Itu benar dan aku tidak menyangkal untuk itu. Tapi, aku harus mengingatkan bahwa anak adalah kopian orang tua, karena buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bagaimana sifat dan sikap orang tua, demikian juga dengan anaknya. Apakah para orang tua tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, bahwa itu semua menjadi boomerang bagi mereka?

Anak-anak yang bersikap kasar pada orang tua, tidak selalu atau tidak berarti mereka memang kurang ajar. Sikap itu adalah bentuk self defense yang tercipta dengan sendirinya, akibat tidak punya tempat untuk melabuhkan rasa sakitnya yang tidak bisa diluapkan dan dilampiaskan.