"Kamu tahu kenapa kamu menelepon saya?"
Dia bertanya sambil mengeringkan sendok kecil hingga berdenting pelan. Aku meggeleng dengan cengiran kecut. Dia kembali mendekatkan badannya ke meja dan kedua tangan melingkari cangkir kopi. Mimik wajahnya serius, sangat dewasa.
"Kamu tahu kenapa saya menelepon kamu?"
Lagi-lagi aku menggeleng. Otakku menerka-nerka arah pembicaraan duren muda ini. Aku menatap matanya yang menatap mataku sampai jauh ke dalam. Aku tidak tahu makna sorot matanya.
"Saya nggak menganggap kamu sebagai bawahan saya –" Dia jeda sebentar meneguk kopi, lalu melanjutkan, "Meskipun itu di kantor."
Keningku berkerut. Hatiku berbicara sendiri. Seandainya bisa berkomunikasi, maka hatiku akan bertanya pada hatinya. Tapi, Tuhan justru menciptakan lidah untuk berbicara.
"Dan bukan urusan kantor," sambungnya meneguk lagi kopinya.