"Eh, Ree, apa kabar?"
Aku melihat ke arah seseorang yang memanggilku. Dia sangat tidak asing bagiku. Teman lama ketika bekerja di lembaga swadaya masyarakat milik asing. Tanpa perintah bibirku tersenyum. Senang sekali bertemu lagi dengannya setelah lebih dari lima belas tahun.
"Wahhhh … Bang Anwar! Apa kabar?"
Aku melihat dengan jelas meski dari jarak tidak dekat. Rambutnya sebagian sudah mulai memutih. Kulitnya tidak lagi kencang. Badannya kurus, tapi kurusnya tidak sama dengan yang dulu ketika kami bersama sebagai tim. Dulu dia Project Officerku. Mungkin dia kurus karena lelah? Atau mungkin dia sakit? Atau kurus karena mulai tua? Ya, umurnya sudah di kepala empat. Tapi, yang jelas kulihat dia tampak ringkih.
"Gue baek, Bang. Alhamdulillah. Abang sehat?"
Aku celingak-celinguk melihat sekitar, mungkin saja dia bersama keluarganya. Selama ini belum pernah melihat anak dan istrinya. Dulu ketika menjadi anak buahnya, dia masih lajang. Dia tergolong pendek untuk ukuran lelaki, mungkin hanya 163 cm. Kulitnya putih, hidungnya mancung, rahang dan dagunya berjambang tipis sejak dulu. Sekarang, bagian itu sudah memutih sebagian. Ah, cepat sekali. Bapakku saja baru-baru ini jenggotnya mulai putih keseluruhan. Apakah waktu yang cepat berlalu atau dia yang cepat beruban?
"Alhamdulillah sehat, Ree. Masih tinggal di sini?"
"Masih. Abang masih di sana?"
Yang aku tahu dia tinggal di kabupaten sejak sepuluh tahun silam. Selepas bekerja di lembaga swasta, dia banting setir menjadi kontraktor.
"Masih. Ini Abang ke mari mau ngurus sekolah anak-anak. Di sana kan agak susah untuk yang negeri."
Yah, di beberapa wilayah memang pengurusan surat masuk sekolah negeri tidak semudah di ibukota provinsi. Mungkin karena masih belum berkembang. Kami pun bincang sebentar di parkiran motor, dan dia terkejut melihatku masih menggunakan motor yang sama.
"Ya, Allah, Ree. Setia banget, ya. Helm masih yang sama juga?"
Ah, ya, dia masih ingat ternyata. Dulu kami pernah bertemu ketika dia baru keluar pagar kantor pekerjaan umum, berjalan ke mobilnya. Waktu itu aku masih menggunakan helm saat bekerja di LSM. Padahal hampir lima tahun aku tidak bekerja lagi di sana.
"Ahaha… nggaklah, Bang. Udah kapan-kapan ganti, udah rusak!"
Pembahasan topik ringan dan sedikit mengenang masa lalu tidak membuat pertemuan terasa lama. Justru seperti masih butuh banyak waktu untuk bercerita banyak hal. Dulu aku juga sering bertengkar dengannya. Pertemuan kami harus berakhir karena masing-masih kami harus pulang. Sayang, dia hanya sendiri, tidak membawa anak atau istrinya. Di tengah percakapan tetap terselip pertanyaan yang menjadi momok bagi para jomlowan – jomlowati, duda dan janda. Apalagi kalau bukan pertanyaan, "gimana, udah nikah?"
Menyeramkan bagi orang-orang yang pernah atau sering dinasehati. Kalau boleh jujur, aku dan orang-orang di luar sana yang masih lajang, hanya ingin mereka berdoa saja, tidak usah banyak komentar apalagi ikut campur.
Aku menjawab dengan senyuman yang dia tahu artinya. Bukan tanpa alasan aku melakukan itu, karena aku dia akan bereaksi seperti dulu, seperti orang kebanyakan. "Aduh, kok belum? apalagi yang dicari? Jangan terlalu banyak milih-milih."
Kami berpisah di penghujung pukul lima sore. Ketiga temanku sudah mengambil langkah lebih dulu meneruskan rencana masing-masing entah ke mana. Sepeninggal mereka, aku masih duduk di dalam menikmati sedikit waktu bersantai sambil membaca novel yang belum selesai dibaca. Sengaja aku membawanya menggantikan android yang memang sengaja kutinggal. Lagipula aku ingin suasana yang berbeda untuk liburan ini. Menjauh dari handphone membuat hidup terasa lebih menyenangkan.
Aku melajukan motor ke toko buku terbesar di kota ini. Mencari referensi buku yang mungkin patut untuk dibaca. Tapi, kali ini bukan novel tujuanku, melainkan psikologi dan semacamnya. Bagaimana berpikir dan bersikap positif, dan seterusnya. Aku berputar-putar dari rak satu ke rak lainnya, meski semua judul buku yang dipajang di sana, tidak terlewatkan oleh mataku untuk dilihat. Terutama novel.
Kakiku berhenti di rak buku Psikologi, Satu judul buku menarik perhatianku untuk dibaca sekilas. Sayang, buku tersebut tidak ada yang kemasan plastiknya terbuka. Aku melihat-lihat yang lain, buku-buku yang plastiknya sudah terbuka, kubuka halamannya secara acak untuk mengetahui semenarik apa isi buku-buku itu.
Aku berdiri dengan sebuah buku di tangan. Membolak-balikkan halaman hingga tercium aroma yang tidak asing di hidungku. Refleks otakku memberi sinyal bahwa itu adalah atasanku. Tapi, bagian otakku yang lain berkata bukan dia saja yang memakai parfum tersebut. Aku berusaha mengalihkan pikiran dari bayang-bayang Rais yang terus menggangguku.
Gelombang sinyal otakku tidak berhenti sampai di situ, dia kini memerintahkan urat leher untuk berpaling guna melihat siapa gerangan yang berdiri tidak jauh dariku. Aku merasa ada seseorang di dekatku. Aroma parfumnya begitu kentara. Kalau hanya lewat atau orang lain, maka aroma itu akan menghilang perlahan-lahan. Tapi, ini masih di belakangku.
"Ha?"
Aku melongo melihat sosok yang berdiri di depanku. Kondisiku sangat terkejut dengan mimik muka terbodoh-bodoh. Sekarang aku menyesali yang kuperbuat. Andai saja kutahan leherku agar tidak bergerak, andai saja kutahan rasa penasaranku, andai saja … andai saja … andai saja ….
Aku tersenyum kikuk menyapanya tanpa mengeluarkan suara. Pita suaraku sangat berharga kali ini. Lantas berbalik melihat-lihat buku yang lain. Aku salah tingkah. Lututku lemas. Aku tidak tahu kenapa ini diluar kendali. Aku tidak bisa mengendalikannya. Tidak hanya tangan, tapi sekujur tubuhku pun turut gemetar. Allahu Rabbi, tolong aku. Apa-apaan ini?
Aku tidak tahu dan tidak peduli apa yang diperbuat di belakang. Perlahan kakiku melangkah ke kanan, menghindarinya dengan pura-pura mencari buku yang lebih menarik. Namun, mataku mencuri-curi lirikan padanya. Apakah dia mengikutiku atau masih di situ?
Tiba-tiba sebuah tangan terjulur di hadapanku dari arah belakang. Judul buku CARA BERPIKIR POSITIF UNTUK BAHAGIA berada di tangan kanannya. Design covernya bagus. Warna yang tidak mecolok dan gambar yang sederhana, sangat cocok dengan judul yang diusung.
"Kamu harus baca ini. Bagus untuk mengalihkan pikiran ketika penat dan stress."
Apa katanya? Penat dan stres? Kalau memang bagus untuk dua hal tersebut, kenapa kemarin marah-marah sampai membentakku? Fany saja tidak pernah diperlakukan seperti itu.
Aku menoleh tanpa meliriknya. Lantas balik kiri untuk menjauh darinya. Aku berjalan ke arah lain. Tidak tahu ke mana. Mataku terus saja dimanjakan dengan buku-buku dengan cover yang menarik. Terutama novel, sementara otakku tidak fokus ketika melangkah dalam rangka 'mencuci mata' di rak buku lainnya.
Jantungku berdetak sangat kuat, seperti terguncang karena getaran gempa bumi yang tiba-tiba menggoyangkan daratan. Sepintas, aku menyesali waktu ini. Kenapa aku harus bertemu dengan Rais Darmawan di sini?