"Ree, sampaikan ke bapak sama emak. Lusa ada tahlilan di rumah bu Yeti, ya. Abis salat Isya," teriak si ibu RT dari luar tembok pagar.
Aku mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Buk. Makasih ya, Buk." Kemudian berlalu ke rumah tetangga menyampaikan pesan serupa. Aku kembali dengan koleksi buku yang sudah berumur lebih dari lima belas tahun itu. Rumahku sepi, hanya aku sendiri di ruang tamu sedang berduka dengan buku yang tampak menyedihkan.
Seingatku, buku-buku selama kuliah yang tersimpan di lemari ruang depan, kusimpan rapi dengan sejumlah buku-buku bacaan lainnya selain beberapa novel terjemahan. Faktanya, buku-buku kesayanganku itu mulai rusak dimakan rayap. Baunya sudah tidak enak.
Hari libur ke dua kuputuskan membenahi barang-barangku di lemari tersebut yang sebagian besar isinya adalah buku. Mulai dari kamus Bahasa Inggris segala tipe, buku catatan selama kursus Bahasa Inggris sewaktu SMP, buku catatan lirik lagu berbahasa Inggris, buku SMA, buku kuliah Akuntansi, dan novel. orang yang melihatnya tidak akan percaya, bahwa aku masih menyimpan buku-buku zaman sekolah pakai rok biru dan abu-abu.
Data ponsel android masih kumatikan sejak malam itu. Dia berada di samping menemaniku bersama segelas air putih dan buku-buku supak. Untung si duren tidak menghubungiku ke ponsel jadul Nobita ini. Dan kuharap tidak sama sekali dia menghubungiku ke ponsel ini sampai waktunya masuk kantor.
Dua jam sudah aku di sini sejak pukul sembilan pagi. Pekerjaan rumah sudah selesai, maka waktunya duduk membaca novel kemarin yang belum selesai. Halamannya tebal sampai lima ratus halaman. Sebelumnya, aku mencoba memeriksa pekerjaan kantor yang mungkin belum terlihat olehku. Membuka laptop jadul milik keponakanku, aku membuka email mengandalkan hotspot android bapakku. Ribuan antrian pesan siap masuk ketika hari kerja.
Banyak sekali email masuk dari personalia, marketing, finance, si duren, procurement, yang semuanya berstatus 'CC' artinya aku tidak perlu tahu lebih dalam. Cukup tahu saja. Ponsel Nobita tiba-tiba berdering. Nomor tidak dikenal terpampang di layar. Aku mengucap salam, lantas suara di seberang seperti tidak asing di pendengaranku.
"Halo, Zeyenk! Gimana kabar? Kok nggak kelihatan eksis berapa hari ini? Ke mana aja?"
Wah, mas Romi ternyata. Pertanyaannya juga tidak tanggung-tanggung diborong sekaligus.
"Eh, Mas. Alhamdulillah baik. Mas di mana nih? Lagi apa?"
"Yah, ditanya malah nanya balik. Hapemu mana, Zeyenk? Kok 'last seen'nya dua hari lalu?"
Ufff… bagaimana aku menjawabnya sekarang? Apa aku berkata sejujurnya? Atau berbohong dengan berkata ponseiku rusak? Sepertinya ide bagus untuk dilakukan. Sesekali tidak masalah, kan? Tapi, aku takut itu menjadi kenyataan. Kalau rusak betulan, bagaimana?
"Oh, itu memang lagi dimatikan, Mas. Biar tenang aja, nggak kepikiran soal kantor."
Dia menjawab, "Oh, pantes ngilang dari peredaran." Lalu aku menyelanya, "Tapi, Mas jangan bilang-bilang ya, ntar kedengaran sama pak bos." Dia terbahak-bahak menganggap kelakuanku aneh.
Menurutnya, si duren orang yang tidak mau mengganggu ketika libur. Dia tidak suka bekerja di hari libur. Maka itu, bekerja dengannya harus on time. Tidak boleh telat dan harus siap tepat waktu, kecuali hal-hal yang terjadi di luar kendali.
Kalau begitu faktanya, kenapa dia mencariku di aplikasi pesan? Kalau ada urusan kantor yang urgent, maka dia seharusnya menghubungiku ke ponsel jadul. Bukan mengirim pesan ke aplikasi.
"Oh, gitu, Mas. trus, Mas, nelpon saya ada keperluan apa?"
"Nggak ada apa-apa, Ree Zeyenk. Cuma penasaran aja kamu nggak nongol-nongol di grup. Biasanya kan ada setoran chat walaupun sekali-sekali."
Aku hanya menjawab, "Oh," sambil manggut-manggut. Kemudian dia bertanya hingga membuatku hampir tersedak. "Kemarin lusa kamu kenapa? Kok diem aja seharian? Hmmm?"
Nah, mas Romi kalau sudah klik sama teman lawan jenis ya begini. Peduli sekali dan menganggap aku ini seperti kakaknya sendiri. Walaupun demikian, aku masih sungkan mengingat dia adalah rekan kerjaku. Tidak masalah sebetulnya, sebab dia pun memang tidak punya saudara perempuan. Dia punya dua saudara laki-laki. Bahkan calon istrinya sudah tahu tentang aku dan bersenang hati kalau bertemu denganku.
Hanya saja ada yang membuatku bingung sampai hari ini. Dia menganggapku kakak, tetapi memanggilku Zeyenk dan kamu. Bahkan dia bersikap seolah dia lebih tua dariku. Seharusnya dia memanggilku kakak, kan? Dia kembali berkaata, "Halo."
"Nggak apa-apa, Mas. Cuma lagi nggak mood aja."
"Bohong, orang kamu nangis, kok. Saya lihat, kok, waktu keluar lobi kamu ngapus air mata di parkiran."
'Ha? Mampus aku!'
Aku kekeh mengelak dengan jawaban yang sama. Dia pun tidak mau kalah dengan mengeluarkan kalimat yang membuatku terdiam seribu bahasa.
"Saya tahu si bos marah-marah sama kamu. Gara-gara kamu telat, kan?"
Oh, mas Romi. Tolonglah, aku sangat berterima kasih kalau kamu tidak mengungkit insiden itu. Aku akan membawa kulkas tiga pintu sebagai hadiah pernikahan, lengkap dengan kompor gas.
Aku tidak bohong kalau itu benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Dia marah bukan karena aku tidak disiplin soal absensi. Aku masih diam, mungkin saja dia masih ingin melanjutkan kenyataan versinya.
"Aku pengin samperin kamu waktu itu, soalnya kamu murung terus. Trus, si bos juga ada di ruangan, yah, aku terpaksa batalin niat baik aku, dech, buat ngajakin kamu makan siang."
(Aku menghela napas)
Entah bagaimana emosiku sekarang. Terharu karena ada yang perhatian saat berduka. Kesal karena niat baik disebut-sebut menggunakan kata niat baik. Lucu karena berbuat baik malah terang-terangan disebut. Tapi, aku menghargai dan berterima kasih untuk kebaikannya.
"Oh, ya udah. Nggak apa-apa, Mas. Saya nggak apa-apa, kok. Udah lewat juga. Btw, thanks ya buat perhatiannya."
"Yoi, yang sabar ya, Zeyenk. Si bos orangnya nggak doyan ngamuk. Ama Fany aja cuma marah biasa. Mungkin dia lagi PMS kali."
"Ahahah… buset loe ya! Emang kalian laki-laki bisa begituan?"
"Wahh … meragukan banget nih. Masa nggak bisa, ya, bisalah. Bahkan bisa langsung jadi sekali main. Ahahah –"
"Tapi, kalau PMS gitu mah, ya, nggak bisa dunks! Entah kalau si bos, ya, mungkin dia … agak berbeda. Qiiqiiqiiq."
"Husshhhh … ntar kedengeran ama si bos loh, bisa ambyarrrrr …."
"Ups! Maaf, bos. Jangan potong gajiku, ntar nggak bisa kasih kawin mevaahhh buat calon bini. Qqiqiiqi."
Aku tersenyum cengir dan geli mendengar ocehannya yang memang cukup tidak beretika. Sesama lelaki saling menghina. Padahal itu bahkan atasannya. Namun, aku harus jujur kehadiran Romi dalam hidupku yang meramaikan daftar teman lelaki, memberi warna tersendiri. Dia sangat percaya diri, gayanya yang khas, bicaranya yang luwes, menghibur, dia sangat menyenangkan. Buktinya sekarang aku lepas dan plong.
Terima kasih, Romi.