Tumpukan piring kotor di dekat sumur sudah menjadi pemandangan biasa bagiku setiap pagi. Seolah-olah itu adalah pekerjaan tetapku, yang kalau tidak kukerjakan layak untuk dimarahi. Padahal, pekerjaan rumah adalah pekerjaan semua orang, toh yang membuat kotor rumah juga bukan satu orang. Herannya itu terjadi padaku.
Adikku bukan orang inisiatif untuk urusan rumah. Herannya, ibuku justru mendiamkan dirinya yang menjadi semakin pemalas. Kalaupun marah cuma bisik-bisik, bukan dower-dower seperti merepet padaku. Menuduh yang tidak ada menjadi ada. Membalikkan situasi membuat orang lain tampak bersalah.
Prang!
Satu piring pecah terbagi empat bagian. Tidak masalah karena hanya piring kecil hadiah pembelian kopi. Ini cukup sering terjadi padaku selagi menyabun piring atau gelas, tanganku terpeleset karena licin. Dan, berakhir dengan repetan ibuku yang nyaring melengking. Untungnya pagi ini tidak terjadi.
Karena hari ini hari Ahad, pekerjaan kulanjut bersih-bersih rumah termasuk kamarku yang berantakan. Pekerjaan selesai tanpa gangguan setelah dua jam berlalu tanpa terasa. Lanjut duduk menikmati es buah pemberian tanteku tadi malam. Minuman penutup yang lezat tak terkira.
Masih ada waktu untuk bersiap-siap sebelum bertemu lagi dengan mereka. Ponselku berbunyi setelah senyap beberapa jam selepas kuaktifkan kembali. Lagi-lagi nama si duren tertera di layar. Semoga dia tidak membahas kejadian kemarin.
"Assalamu'alaikum, halo, Pak –"
[Wa'alaikumussalam, gimana kabar kamu?]
"Alhamdulilah, baik, Pak.
[Saya minta maaf, karena mengganggu hari libur kamu. Tapi, ada hal yang tidak bisa ditunda sampai besok. Saya minta disiapkan proposal untuk Zoune. Tadi mereka telepon saya minta pembahasan dipercepat menjadi besok].
(Aduh!)
Aku menepuk jidat, dan syukurnya dia tidak melihat karena hanya melalui ponsel. Apa dia tidak bisa melakukannya sendiri? Ini memang hari libur dan itu tidak bisa diundur sampai besok, tapi mengganggu waktu santai hingga temu janjiku yang sudah dijadwal?
Hah, benar-benar kau penghancur mood dan hariku, Rais Darmawan!
"Kira-kira jam berapa Bapak butuh proposalnya, Pak?"
Aku melirik jam dinding yang sekaarang menunjukkan pukul 9.28 pagi. Kuharap ini tidak memakan waktu banyak untuk mendapatkan data dan menyelesaikannya.
[Setelah salat Zuhur bisa, kan?]
"O, bisa, Pak."
[Saya akan jemput kamu sekarang ].
'Ha?'
"Maaf, Pak. Maksudnya gimana ya, Pak?"
[Kita akan ke kantor karena data-datanya ada di kantor].
(Whattttt????)
Hari libur masuk kantor? Ini hari Ahad, bukan Sabtu, Pak. Tega sekali dirimu. Oh, Tuhan.
"Oh, saya pikir bikin di rumah, Pak. Ehehe …."
Aku meringis mengatakan itu. Ini sungguh seperti penyiksaan yang tak terperih karena tiket harga jutaan hangus gara-gara telat check in.
[Saya juga nggak punya datanya di rumah, makanya harus ke kantor].
'Duh, kenapa bukan dia aja sih yang ke kantor ngambil datanya trus kirim ke email gue? Rempong amat nih orang.'
[Halo ….]
"Euh, ya, halo, Pak …."
[kenapa? Kamu nggak bisa, ya?]
"Euh … anu, Pak. Kalau ke kantor kayaknya saya nggak bisa. Lagi banyak kerjaan di rumah. Jadi, kalau di rumah bisa saya kerjain, Pak."
Telingaku mendengar helaan napas di seberang telepon. Kuharap dia mengerti bahwa perempuan saat hari libur, di rumah tidak akan libur apalagi benar-benar libur. Pekerjaan rumah selalu menunggu tiada habisnya untuk dibereskan.
[Baiklah, saya akan kerjakan sendiri. Maaf ya, sudah mengganggu. Salamu'alaikum].
Tut … tut … tut …
"Loh … Pak, Pak …."
Bagaimana sekarang? Aku menolak permintaan bos untuk lembur dan kini emosiku menjadi tidak enak. Belum pernah aku bekerja di hari libur selama bekerja di perusahaannya. Kuakui dia baik dan pengertian sebagai atasan. Kecuali divisi tertentu yang memang harus bekerja di hari libur dengan tambahan pendapatan di luar gaji pokok dan tunjangan.
Aku berusaha membuang perasaan serba salah yang kini menerpa. Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang datang mengacaukan benakku. Apakah dia marah? Bagaimana besok di kantor? Apakah aku salah menolaknya?
Aku duduk di ruang tamu setelah menaruh ponsel di meja. Besarnya volume suara tv membuatku tidak bisa berpikir. Berita-berita artis yang ditonton ibuku kebanyakan tidak penting. Sejujurnya aku sangat muak dengan tayangan tidak bermutu seperti itu. Kabar artis yang diberitakan zaman sekarang ini tidak sebobot berita artis di tahun 1990-an. Karena itu, aku lebih suka mencari berita melalui internet. Lebih valid.
"Nasinya masak sedikit aja, ya. Nggak ada yang makan siang di rumah," perintah ibuku yang sedang bersiap-siap pergi kondangan resepsi pernikahan.
Aku menarik napas supaya terasa ringan sebelum menjawab, "iya," dan kembali merebahkan punggung di sandaran kursi.
"Nggak dimasak terus tu sayurnya? Yang ada busuk nanti. Udah dicuci soalnya," sambungnya sambil memoles bedak.
Nah, mulai dech mencari-cari perkara. Membalikkan situasi seolah-olah aku yang mencuci sayur itu, padahal sebaliknya.
Sakit sekali rasanya dipersalahkan, tidak dipercaya atau diremehkan oleh ibu sendiri. Ketika orang lain berhasil berkat doa ibunya, sebagian anak lain justru sang ibu yang menjadi penghancur hidupnya. Termasuk aku.
"Nanti aja," jawabku malas.
Aku enggan bicara dengannya masalah atau topik apa pun. Tidak ada tabiat yang baik darinya sebagai seorang ibu dan manusia. Bicara dengannya bukan akan mengecilkan atau menyelesaikan masalah, melainkan memperpanjang masalah. Sangat jarang bicara dengannya bisa menyelesaikan masalah.
Aku sedih. Aku ingin seperti anak-anak lain. Dihargai di depan orang lain hingga mereka pun melakukan hal serupa. Menghargai hasil masakan kami, hingga kami pun bersemangat untuk berkutat dengan bumbu dan kompor. Bukan malah mencacinya dengan kata-kata tidak pantas.
Yah, my mom is a toxic mother.
Aura toxic yang direbakkannya di rumah kami begitu kuat. Belakangan aku sering melawan ibuku setiap kali beliau mulai menyalahkanku. Aku tahu itu tidak benar, tapi perlakuannya selama puluhan tahun yang sudah terekam di memori otakku, secara refleks membentuk pertahanan diri ketika diserang.
Tubuhku tidak terima. Otakku tidak terima. Telingaku tidak terima. Lidahku melontarkan kalimat-kalimat perlawanan padanya. Maafkan aku, Tuhan. Tapi, Engkau tahu apa yang terjadi di rumahku dan apa yang terjadi padaku karena ibuku. Sering aku berdoa pada-Nya agar mengubah tabiat dirinya yang menghancurkan mentalku, dan sampai kini tidak ada.
Bukan aku tidak percaya, tapi bicara toxic people tidak akan pernah habis seperti membahas poligami, perselingkuhan, dan korban pemerkosaan. Bahkan, ada banyak artikel yang membahas topik ini. Tapi, tetap saja, ada saja yang menjadi korban bully setiap harinya.
Aku lelah. Aku ingin pergi dari rumah sejak dulu. Tidak tahu apa atau siapa yang menahanku sampai detik ini masih berada di rumah ini. Apa aku tidak bisa hidup tanpa gangguan dari mulut-mulut racun di sekitarku? Sering aku bertanya, kenapa ibuku tidak seperti ibu mereka?