Aku tersenyum kecut dengan rasa malu yang tidak bisa kukatakan. Aku lupa bahwa Noni, Rahmi, dan Sari juga kebanjiran, berarti bukan aku saja yang mengalaminya. Warga seantero kota juga kebanjiran, walau mungkin tidak separah di bagian wilayah lainnya.
"Eheheh … maaf, Pak. Saya nggak ingat. Iya, bener, semua pada kebanjiran."
"Trus, gimana kondisi rumah kamu sekarang? Udah surut?"
"Nggak tahu, Pak. Kalau lihat cuaca sih, kayaknya udah. Kan sejak tadi pagi udah nggak hujan lagi. Langit juga terang walaupun matahari nggak kelihatan."
"Saya pengen jadi matahari," ocehnya tiba-tiba sambil menuang air mineral ke dalam gelas.
"Kenapa, Pak?"
"Saya pengin memberi kehidupan bagi banyak orang," jawabnya terdengar asal.
"Kehidupan? Maksud Bapak sinar kehidupan?"
"Soalnya kalau memberi kehidupan, yang memberi makhluk hidup kehidupan adalah Tuhan, bukan manusia," sambungku meluruskan.
"Menjadi inspirasi bagi orang-orang sekitar maksud saya, supaya inisiatif dan produktif di usia produktif. Banyak kan anak-anak muda sekarang pemalas, nggak mau berusaha lebih keras untuk mencapai apa yang dia inginkan. Kebanyakan dari mereka berpangku tangan. Lebih banyak mengeluh daripada berusaha."
Jujur, penjelasannya membuatku terpukau. Dia punya pemikiran seperti seorang pengusaha hebat yang merintis usaha dari nol. Sementara yang aku tahu, ini adalah perusahaan bapaknya yang berjalan biasa-biasa saja. Bahkan, belum lama juga. Mungkin ada sepuluh tahun bapaknya yang handle sebelum dia yang menangani.
Kemajuan pesat memang terjadi semenjak si duren yang kelola. Aku memang melihat dia punya bakat dalam urusan bisnis dalam bentuk perusahaan. Dia lihai dan luwes. Aku tertegun sebelum manggut-manggut.
"Kamu masih berutang penjelasan sama saya."
Penjelasan apalagi? Keningku berkerut menatapnya beberapa lama dengan air muka bingung sampai dia berkata, "Kenapa nggak jawab pesan saya?"
Astaga! Itu lagi.
"Waktu di resto, kamu juga nggak mau kenalan dengan orang tua saya. Kenapa? Alasan kamu nggak jalan di nalar saya."
'Mampus aku!'
Rais Darmawan benar-benar membuatku ingin mengomel panjang lebar seperti sungai Kapuas, sambil memukul meja sebagai luapan ekspresi emosi mendongkol. Dia bertanya seperti di luar lajur pembicaraan formal atau kantor. Kenapa dia seperti menuntut? Nada bicaranya juga kedengaran seperti orang merajuk.
"Jawaban kayak gimana lagi, Pak, harus saya kasih?"
"Kasih saya jawaban yang masuk akal."
"Loh, itu kan memang masuk akal. Yang nggak masuk akalnya di bagian mananya?" elakku tidak terima.
Aku mulai naik pitam. Rais Darmawan mulai mencari-cari perkara tiga hari blekangan. Kedua alisku sudah merapat. Semoga saja darahku tidak mendidih di sini.
"Kamu nggak mau kenalan dengan bapak saya. Kamu nggak tahu, kalau bapak saya itu bos kamu juga?"
(Aku tercekat).
'Reee … what's going on now? Kenapa aku bisa nggak kepikiran ke situ?'
Terus terang, kali ini aku memang melakukan kesalahan fatal. Kebodohanku yang sedikit itu bisa-bisanya menjadi lebar, sampai aku seperti terjebak dalam sebuah permainan yang tidak kuciptakan.
"Maksud saya gini, Pak. Pertama, saya dan mereka nggak saling kenal. Kalau saya datang ke sana, trus mengenalkan diri sebagai sekretaris, memang sesuatu yang wajar dan lumrah. Tapi, buat saya pribadi itu nggak etis –"
Aku berhenti sebentar untuk bernapas. Memberi ruang agar rongga dada dan perut terasa lebih rileks, sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Orang sok kenal sok dekat alias SKSD memang menjurus ke Penjilat atau Caper alias cari perhatian. Nah, aku bukan dari keduanya.
"Kenapa?" Keningnya mengerut.
"Karena menurut saya, tindakan itu seperti seorang Penjilat. Sedangkan saya bukan tipikal kayak gitu. Saya nggak doyan jilat-jilat orang demi sesuatu, apalagi karier. Nggak ada untungnya juga, yang ada malah nama baik tercemar. Kehilangan kepercayaan dari orang lain."
Di sini aku berkata penuh penekanan. Menjabarkan karakter diri pada seseorang bukan hal buruk. Dan aku sering melakukan itu, ketika orang lain bertanya alasanku tidak mau melakukan ini dan itu. Tidak akan kulakukan hal-hal yang bertentagan dengan hati nuraniku.
Si duren hanya diam dengan muka tanpa ekspresi. Sesekali matanya bergerak selama menatap. Rasa seganku saat ini lenyap entah ke mana. Aku justru menjadi diriku sendiri, menunjukkan sosok yang idealis, kritis, realistis dan logis. Sempat kulihat kedua alisnya naik.
"Lalu, alasan yang ke dua?"
"Saat itu kan waktu keluarga ya, jadi bukan waktu yang tepat untuk perkenalkan diri. Saya cuma nggak mau ganggu quality time sebuah keluarga."
"Jadi, kamu merasa mengganggu family time orang lain?"
(Aku mengangguk dalam keheningan).
"Tapi, kalau sudah diminta untuk kenalan, berarti kan nggak mengganggu donk? Kenapa kamu ngerasa kayak gitu?"
'Ini orang kenapa jadi nyolot gini, sih?'
"Saya nggak nyaman, Pak. Untuk hal-hal privasi, saya nggak mau kalau saya ngerasa nggak nyaman. Dan, mungkin semua orang juga melakukan hal yang sama," sengitku.
Nada bicara dan air mukaku mulai lepas kendali. Aku tidak lagi bicara sebagai seorang Laduree si sekretaris, melainkan Laduree si Idealis. Bicaraku sangat tegas di telinga. Maka, inilah aku.
Dia meneguk air minumnya hingga kandas padahal tidak haus berat sampai dehidrasi. Tas berisi laptop dan berkas kontrak Zoune yang kuyakin masih ada di dalamnya, ponsel mahalnya yang kutebak kisaran dua puluh juta, tergeletak di sebelah kanannya.
"Lain kali, kalau ketemu orang tua saya, perkenalkan diri ya. Jangan kayak kemarin. Kamu mau disebut karyawan nggak punya tata krama gara-gara nggak mau tegur sapa sama orang tua atasan kamu?"
'Astaghfirullahal'adzim! Dia ini maksudnya apa sih? Kok kayak nasehatin calon mantu yang nggak mau kenalan sama calon mertua?'
Aku bingung sekarang. Semakin tidak paham arah dan tujuan percakapan tidak bermutu ini. Nasehat yang sebetulnya benar, aku tahu itu. Tapi, cara dan gaya penyampaiannya membuat otakku bekerja lebih keras memahami makna dibalik lidahnya yang tak bertulang. LAIN KALI, kata yang membuatku meradang.
"Pak, kayaknya udah waktunya balik ke kantor. Udah hampir jam dua," kataku melihat jam di ponsel.
Aku tidak suka pembicaraan ini. Lebih baik diakhiri sekarang sebelum melebar seperti kue lebaran yang sedang dimasak dalam oven. Ah, kalau itu tidak apa-apa, selama adonan resepnya tidak salah, tetap saja enak dimakan meskipun bentuknya semrawut karena cacat produksi.
Stok kesabaranku memang masih ada, tapi tidak banyak lagi. Duda satu ini sekarang sedang menjadi bahan ujian kesabaran untuk naik level menjadi orang pilihan Tuhan. Sekarang aku hanya berharap bahwa penilaianku tidak salah mengenai dirinya yang positif dan memotivasi.
"Masih ada waktu. Kamu juga belum jawab pertanyaan yang satunya," sahutnya enteng.
"Kamu nggak balas pesan chat saya semalam, kenapa? Menutupi perasaan kamu ke saya?"