Chereads / LADUREE / Chapter 24 - Di kamar mandi kafe

Chapter 24 - Di kamar mandi kafe

Setan dalam diri iblis tersenyum licik.

Dalam kurun waktu hampir empat bulan bekerja, pertama kali aku terlambat bahkan hampir satu jam. Hampir keserempet becak, hampir menabrak pantat mobil, hampir ditabrak motor yang memotong jalan, terjebak macet, terjebak lampu merah dua hingga tiga kali untuk satu lampu.

Setibanya di kantor tidak dapat tempat parkir yang memadai, ketinggalan lift, hampir terpeleset di lantai tiga, si duren bermuka masam, komputer belum terpasang oleh pihak IT.    

Dan, sekarang di sinilah aku. Berdiri di depan cermin toilet kafe melihat mukaku yang baru saja kubasuh. Setan bejat itu sudah menuai kemenangan. Tersenyum bangga melihatku bernasib buruk hari ini. Bodohnya aku membiarkan setan itu meraih kemenangannya. Membiarkan kepanikan menguasai benakku. Membiarkan diriku tidak bisa berpikir dengan kepala dingin. Kubiarkan semua itu terjadi padaku. Hingga semua hal yang kualami hampir mencelakakan nyawaku.

Aku bodoh … aku bodoh … aku bodoh ….

Kenapa aku tidak bisa mengendalikan pikiranku?

Aku sudah dewasa, banyak hal sudah kualami, banyak masalah juga sudah kuselesaikan, dengan kepala dingin atau kepala panas. Tapi, mengatasi keterlambatan telat bangun? Aku gagal. Aku gagal!

Memalukan!

Aku memejam mata, merasakan tetes air yang mengalir di wajah, menarik napas menenangkan diri. Hijabku tergantung di balik pintu. Bulir air menetes ke leher. Kerah kemejaku basah. Rambutku terikat semrawut. Blazer hitam bergaris putih masih melekat di badan, semua kancingnya terbuka. Pengharum ruangan beraroma jeruk merebak ke hidung merangsang saraf otak untuk rileks.

Perlahan aku membuka mata. Wajahku kusam dan lelah. Mataku sembab dan hitam di bawahnya. Warna lipstick menghilang. Tidak ada belang di wajahku. Rasa sesak perlahan datang. Dadaku menyempit. Tubuhku terasa penat. Mataku perlahan memerah. Air perlahan penuh.

Tes.

Setetes jatuh, dua tetes, tiga tetes, kubiarkan dia jatuh untuk melepas beban hati. Melegakan jiwa yang lelah akan penatnya hidup dan problematikanya. Suara tertahan di kerongkongan. Aku terisak dalam sunyi. Aku menangis dalam diam. Bersembunyi di toilet kafe meringankan diri. Di kafe Reinz aku melarikan diri.

Dia marah. Dia marah. Kali pertama dia bersuara keras padaku. Bernada tinggi padaku. Kali pertama aku berlinang air mata di hadapannya. Bukan salahku sepenuhnya. File itu tidak tersimpan olehnya. Tidak ditemukan di manapun.  Presentasi gagal.

Aku tidak di ruangannya seharian. Kupaksa pihak IT membawa komputer ke mejaku. Semua yang berhubungan dengannya kutunda. Aku menahan semua rasa itu. Menyeka air mata di balik kacamata. Sadar diri di belakang desktop. Aku bukan siapa-siapa.

Aku pulang dengan setumpuk pekerjaan kantor yang belum selesai. Tidak sanggup lagi berada di lantai itu. Tidak pamit pada dirinya. Dia sedang bicara di telepon. Aku turun menggunakan lift. Memasang wajah baik-baik saja. Aku tersenyum. Mereka tidak curiga.

Di atas motor, hatiku kembali berdenyut. Perih bagai diiris sembilu. Kaca helm kuturunkan. Kecepatan kuatur standar. Di tengah jalan berpikir ke mana.  Mencari tempat untuk menyendiri. Menangis sedih dari hati. Rumah bukan solusi untuk saat ini.

Riuh kendaraan memenuhi jalan. Saling berlomba tiba di tujuan. Matahari di barat semakin jingga. Jarak pandang berkabut. Katup bibir bergetar. Air mata tak tertahan. Bias asa semakin terlihat.

Besok tanggal merah. Kantor libur tiga hari. Mematikan ponsel adalah pilihan terbaik. Menjauh dari kaitan kantor. Menghilang dari jangkauan Rais. Kesempatan tidak datang dua kali.

Tangisku mereda. Isakku terdengar. Pipi masih berlinang. Blazer kulepas. Menyeka air mata, mengelap ingus, membasuh lagi wajah, merapikan rambut. Memakai kembali hijab. Mengambil tas di gantungan. Mengambil kacamata di dalamnya. Bersiap keluar.

Ruang kecil menjadi saksi bisu pelampiasan luka seorang Laduree. Ini bukan toilet, ini kamar mandi.   

"Mbak, cokelat dinginnya satu."

Blazer kuletakkan di atas meja menutupi tas. Kutaruh di sebelah kiriku dekat dinding. Aku duduk membelakangi pintu masuk. Tidak mau bertemu muka dengan pengunjung kafe. Ingin sendiri. Suara riuh tawa dan bicara mereka memekakkan telinga. Punggungku bersandar di kursi. Kelopak mataku jatuh ke celana hitam yang berusia sepuluh tahun. Ibuku membelinya saat aku mengikuti rekrutmen perusahaan BUMN yang bergerak di bidang perlindungan tenaga kerja.

Jilbab kuturunkan hingga menutupi kemeja putih gading yang tertata sebagian di balik celana hitam. Kemeja yang kupakai setiap kali wawancara kerja, bahkan saat rekrutmen perusahaan perkebunan milik negara sembilan tahun silam.

"Kak, pesan es cokelat tadi, ya?"  

"O, iya, makasih, ya. Sekalian nasi kebulinya satu."

Tumpukan cokelat di gelas besar berbahan kaca langsung kuseruput. Dia sangat menggugah selera. Sedotan pertama mendinginkan tenggorokan. Lalu ke ulu hati terakhir di lambung. Nyes.

Perlahan rasa dingin itu menjalar ke kepalaku. Ini yang kubutuhkan sekarang selain makanan berat karena perutku kosong sejak siang. Aku melewatkan makan siang demi pekerjaan yang terlambat. Semoga ini adil untukku.

Air mataku menetes lagi. Rasanya seperti seorang manusia sebatang kara. Tidak punya tempat untuk berbagi cerita. Tapi, inilah aku. Laduree si perempuan tangguh. Meskipun aku rapuh di dalam.

Hari semakin di ujung tanduk senja. Perlahan pengunjung berhamburan pulang. Sementara aku masih di sini bergeming tidak ingin pulang. Sekarang ini aku ingin menikmati malam. Di luar rumah, sendiri, menikmati kesendirian di tengah keramaian malam.

Pintu kafe ditutup. Adzan Maghrib mulai berkumandang sementara nasiku belum habis. Cokelat di gelasku sudah kosong. Tersisa air mineral yang kupesan belakangan. Beberapa orang naik ke lantai dua untuk menunaikan salat. Kafe ini memberi kenyamanan kepada pengunjung dengan beberapa fasilitas nyaman untuk umat muslim.

Menit berlalu dan aku masih di kursi memberi ruang untuk perutku sembari menunggu giliran mukena yang dipakai bergantian. Sedetik kemudian aku beranjak membawa tas dan blazer bersamaku. Menapaki tangga kafe seperti menapaki tangga kehidupan. Memulainya dari bawah, perlahan naik satu tingkat, naik lagi satu tingkat dengan usaha yang sama, begitu seterusnya. Hingga aku sampai di puncak tangga teratas.

Sepanjang kaki melangkah, ada proses berbentuk energi yang membentuk pribadi kokoh. Kuat dihantam badai seperti karang di lautan. Mandiri menyelesaikan masalah tanpa mengemis. Menjaga harga diri agar tetap dihargai. Menyembuhkan diri tanpa meratapi. Mengangkat kepala di depan mereka yang mencaci. Melempar senyum pada mereka yang meringkih.

Di dalam sujud, aku bersimpuh meminta kekuatan meski tak seorangpun bersamaku kini. Di sini, saat ini. Derai air mata kembali mengalir, melepas yang belum puas terlampiaskan. Hanya ada Dia tempatku berbagi isi hati tanpa ada yang mengetahui. Di lantai dua yang sunyi, aku meminta kebahagiaan. Menikah atau tidak, aku berhak mendapatkan itu.

Hidup terlalu berarti untuk dikhianati. Hati terlalu murni untuk disakiti.