'Ha?'
Oh, Tuhan. Duda ini sungguh-sungguh menguji nyaliku untuk bersabar dengan persentase tersisa lima persen. Dia berkata seolah tahu isi hatiku yang bahkan tidak pernah kuungkapkan padanya. Toh, aku juga tidak menaruh hati pada bosku ini. Tidakkah hidupku cukup dengan orang-orang yang pernah 'menghancurkan' mental dan harga diriku?
"Maaf, saya nggak ngerti maksud ucapan Bapak."
Ucapanku tidak lagi memberi kesan hormat sebagai seorang karyawan atau lawan jenis. Kesabaranku sudah di ujung tanduk. Maaf, Rais Darmawan, aku tidak mentolerir.
"Terima kasih untuk perhatian kamu."
Caranya memandangku tiba-tiba berubah menjadi lembut. Senyumnya terukir manis di paras yang manis dan tidak membosankan untuk dilihat. Meskipun aku lebih suka wajahnya yang serius. Dia memang penuh pesona, dan kadang-kadang aku tergelitik untuk bertanya tentang masa lalunya. Tapi, tidak pernah kutanyakan, karena itu bukan urusanku.
Keningku kembali mengerut. Semoga saja tidak berbekas hingga menjadi tampilan kerutan di dahi. Apa kata orang-orang melihatku penampilanku? Garis-garis ekspresi wajah juga mempercepat penuaan kalau tidak dicegah dengan perawatan krim anti aging sejak dini. Apalagi usiaku menjelang tiga puluh tujuh tahun, sudah sepatutnya menggunakan krim anti keriput supaya tetap terlihat muda lebih lama. Aku tidak mau menjadi keriput sebelum waktunya. Apalagi aku belum bersuami. Tidak, tidak, itu mengerikan.
"Ah, iya. Pekerjaan saya masih banyak, Pak –"
"Kamu nggak ngerasa ada sesuatu?" potongnya cepat.
Aku semakin tidak mengerti dengan yang dia bicarakan. Topiknya berputar-putar mengandung makna tersembunyi yang harus kupecahkan. Aku lebih suka membaca novel detektif atau teka-teki daripada romansa dewasa atau roman picisan judul lagunya Ahmad Dhani. Tapi, bukan berarti harus menjadi detektif untuk mendapat jawaban atas kebingunganku, kan?
"Apanya, Pak?"
"Perasaan kamu," jawabnya lembut.
Pembicaraan ini sudah di luar batas. Tidak ada bos dan karyawan membicarakan perasaan yang tidak berkaitan dengan psikologi kantor. Ini memang masih jam istirahat, tapi tidak juga mengangkat emosi seseorang yang bersifat pribadi. Awalnya kupikir dia meminta datang makan siang di sini untuk makan bersama klien, yah, hanya menemani tidak masalah kupikir. Faktanya?
Dia hanya menuntut klarifikasi yang menggantung di kepalanya. Kupikir juga aku mulai senang dengan topik pembicaraan bertema memotivasi, kritis, dan rekonstruktif. Lalu, menjadi pembahasan yang melupakan pada waktu yang terus mendekat untuk kembali ke kantor.
"Nggak ada, Pak. Kenapa memangnya?" jawabku ketus. Sekarang aku harus menunjukkan rasa tidak sukaku padanya.
Ah, entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja saraf otakku memberi sinyal bahwa ada kesalahpahaman yang terjadi di sini. Pesan chat itu. Emoticon di akhir kalimat yang membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Mungkin aku harus meluruskannya lagi.
"Seperti yang udah saya bilang kemarin, Pak. Emoticon itu terpencet nggak sengaja. Bapak jangan salah mengartikannya," sambungku ketika bibirnya akan bergerak.
"Saya nggak salah mengartikannya. Disengaja juga nggak apa-apa. Biasa aja memberi perhatian ke orang lain yang udah dikenal dekat, walaupun cuma temen. Nggak salah kok."
"Yang udah nikah aja juga melakukannya pada lawan jenis," lanjutnya lirih yang bisa kudengar.
Aku tidak mau tahu dengan perasaannya atau intonasi atau nada bicaranya yang terdengar kecewa. Sakit karena dilukai pasangan. Luka yang mungkin masih dia bawa sampai detik ini.
"Ya, itu sih, Bapak. Mungkin Bapak terbiasa –"
"Saya nggak suka pasangan saya memberi perhatiannya untuk laki-laki lain."
DEG.
Woahhh … ternyata seorang Rais Darmawan seorang pencemburu berat. Fakta menarik untuk disimpan yang akan berguna suatu saat nanti. Perlahan moodku berubah menjadi baik. Apakah kita akan tetap di sini mendengarkan kisahmu? Aku punya banyak waktu untuk itu, Bos!
"Walaupun cuma teman, Pak?"
Kalau dia memang tidak suka pasangannya perhatian pada lelaki lain, kenapa dia menganggap perhatian ke lawan jenis itu bukan perkara yang patut diributkan? Ada yang janggal di sini. Jiwa detektifku mulai muncul.
"Hmm … karena itu membuka pintu perselingkuhan."
Hoaahhh … sekarang aku mengerti sebab dibalik alasan perceraiannya. Bukankah ini semakin menarik? Dan, aku terpikat untuk mengetahuinya lebih banyak.
"Apa yang kamu lakukan kalau itu terjadi pada suami kamu?"
"Waktunya kembali ke kantor, Pak. Sudah lewat sepuluh menit."
Aku beranjak dari kursi sambil menarik tas. Lebih baik aku pergi dari sini kalaupun pulang dengan taksi online, tidak masalah. Dia tipikal yang pandai mengubah mood seseorang dalam sekejap. Apa begini selama dia menikah? Awalnya senang lalu dibuat sedih. Tidak mengherankan kalau istrinya selingkuh.
"Saya bisa mendengarnya di mobil."
Suaranya tidak jauh dariku, mungkin dia mengikutiku di belakang. Lalu, aku merasa seseorang berjalan di samping. Dia berhenti ketika aku berhenti enam langkah di luar pintu.
"Sayangnya saya belum bersuami."
"Karena itu kamu harus bersuami, apalagi usia kamu yang minta dipercepat."
'Ough, shit!'
Aku harus menyadarkan diri segera, bahwa aku salah menilai dirinya yang ternyata sama saja dengan yang lain. Yang menyudutkanku tanpa merasa bersalah, membuatku tampak bodoh dan bersalah di depan orang lain, menyinggung statusku yang masih lajang. Tidak, cukup! Pernikahanmu saja hancur di pengadilan agama.
Aku menoleh menatap tajam dirinya. Dia membalas tanpa raut atau cakap apa pun sebelum pergi ke mobil di parkiran. Aku membuang napas berat-berat seberat beban yang kupikul sekarang ini di hatiku.
He's a toxic boss, a toxic man!
Aku mengambil ponsel di tas sambil jalan ke depan mendekat ke pagar kafe. Pulang dengan taksi online saja, atau ojek online juga tidak masalah. Yang penting aku tiba di kantor tanpa harus satu mobil dengannya. Tugas pak Zul hanya mengantarku saja tadi.
Pesanan taksi sudah berhasil, lima menit menunggu kedatangannya terlalu lama. Kalau bisa si taksi datang dalam hitungan tiga detik. Tapi, dia sudah keluar dengan mobilnya dan bunyi klaksonnya menggelegar.
"Duluan aja, Pak. Saya mau ke –"
Aduh, otakku tidak bekerja sama selagi aku butuh menjauh dari duren toxic. Aku butuh menyendiri sekarang dan perjalanan ke kantor menggunakan taksi adalah solusi paling tepat. Dia masih menunduk dibalik kaca mobilnya yang habis diturunkan.
Tin!
"Cepat masuk! Jam masuk udah tel–"
"Nggak usah, Pak. Bentar lagi juga nyampe."
Dia melihat ke belakang. Tangannya menarik rem tangan sebelum turun dari mobil mendekat ke arahku. Katanya sudah telat, tapi malah turun. Aduh, Rais!
"Siapa yang nyampe? Kamu tunggu siapa?"
Dia bertanya seperti polisi menginterogasi pengendara yang akan kabur karena kena tilang. Sayangnya, si Duren toxic tidak punya tampang seorang polisi. Eh, bukannya polisi sekarang banyak yang potongannya tidak mencerminkan seorang polisi?
"Ini sudah jam kantor, ayo. Masih banyak pekerjaan," ujarnya berbalik badan.