Chereads / LADUREE / Chapter 16 - Sampah dan banjir

Chapter 16 - Sampah dan banjir

Kepalaku terus berputar-putar memikirkan si duren hingga mengganggu tidur siangku. Pesan chating berisi permohonan maaf yang kukirimkan selepas salat Zuhur, belum juga dibacanya sejak tiga jam lalu. Sepertinya dia benar-benar marah padaku.

Aku berdiri tidak jauh dari jendela melihat kondisi di luar. Suara deru air hujan di loteng dan angin kencang sejak tadi belum berhenti. Kami sepakat menggagalkan rencana hang out sore ini. Pukul 4.51 sore langit semakin gelap dan hujan semakin deras. Air di parit sudah tumpah ke jalan, membuat sungai baru di setiap jalan yang disusuri. Sampah-sampah ikut terbawa olehnya. Warga negara ini memang benar-benar tidak peduli membuang sampah pada tempatnya.

"Betul-betul nggak punya otak!"

Aku berbalik ketika kilat menyambar disertai suara petir yang memekakkan telinga. Jantungku nyaris hampir lepas, dan kurasa penderita sakit jantung langsung tewas di tempat. Pelan-pelan air rembesan terlihat di lantai ruang tamu rumahku. Aku tidak bisa keluar mengamati keadaan lebih jauh, kecuali dari pipa pembuangan di dekat sumur. Kalau air di bagian samping rumah sudah masuk, maka bersiap untuk menggeser barang-barang yang ada di lantai.

Tidak ada orang di rumah selain aku, jadi aku harus siaga. Air di talang kulihat mengucur deras ketika aku mengambil air minum. Lantai dapur sudah becek karena loteng yang bocor di beberapa tempat. Juga dari air yang ditiup angin, sebab bagian samping dapur terbuka di bagian atapnya. Itu digunakan sebagai jemuran dan sirkulasi angin agar tidak terlalu panas.

"Makin banyak yang bocor."

Barang-barang plastik berterbangan dan jatuh ke lantai. Setengah lantai dapurku sudah basah. Beberapa wadah yang kuanggap bisa jadikan ember, kuletakkan di bawa loteng yang bocor. Aku memeriksa bagian kamar mandi dan wc, airnya sudah menggenang. Waktunya bersiap dengan ember dan beberapa kain lap.

Rumahku berada di pemukiman rawan banjir, bisa dibilang langganan banjir setiap kali hujan. Perbaikan dari pemda, pemkot, atau pempus? Hanya mimpi di siang bolong. Inilah salah satu alasanku mengincar pekerjaan dengan gaji besar, meski harus merantau ke pulau orang. Sayang, ibuku tidak mengizinkan dengan dalih 'nanti bali ndak bali' (nanti balik tidak balik modal). Beliau menyamakan penghasilan kantor tak ubahnya berdagang. Inilah yang membuatku berang bukan kepalang –salah satunya.

"Mana ya kain lap yang kemarin di sini?"

Hujan terus mengguyur, barang-barang sudah kupindahkan ke tempat yang aman. Aku hanya bisa berdoa agar Tuhan menghentikan hujan ini sesaat. Suara angin bertiup terdengar menakutkan seolah-olah akan menghancurkan apa pun yang dilewatinya.

Gerakan mata dan tubuh semakin sigap. Otak dipaksa untuk berpikir cepat membuat keputusan. Tidak ada waktu untuk berleha-leha, tapi kain lap yang entah ke mana justru membuat semaunya menjadi lamban.

"siapa sih yang mindahin?"

Pintu ruang tamu kubuka. Air di teras semakin tinggi, hampir menyentuh mesin motorku. Sandal swallow berenang bersama jirigen kosong bekas minyak bensin. Aku berdiri di tiang pintu memperhatikan sekitar. Takut-takut aku berjalan ke tembok pembatas di teras. Tetangga sibuk membuang air yang masuk ke dalam rumah. Sebagian lainnya lalu lalang dengan payung guna mencari tahu keadaan di parit besar. Biasanya paling banyak lelaki.

"Udah banjir rumahku sampe ke dapur," kata Eda dengan logat Bataknya.

"Sama, Eda. Ini dikit lagi, lho. Kayaknya banjir besar kita ini, Da," balasku melihatnya berjalan dengan kaki telanjang.

"Janganlah … nggak ada lanang-lanangku di rumah. Belum ada yang pulang, kutepon-tepon nggak diangkat," keluhnya dengan cemas yang terlihat jelas.

Eda ini kalau bicara sering tidak pas bahasanya, suka-suka dia berucap. Bahasa mamak-mamak.

"Udah segini air di rumahku," sambungnya menunjuk mata kaki.

Rumahnya memang lebih tinggi dari rumahku, jadi kalau di rumahku sudah tenggelam, di rumahnya baru tergenang.

"Jadi Eda mau ke mana?"

"Mau ke pasar. Apa ada orang jualan masih di pasar? Mau beli sayur aku, nggak belanja aku tadi pagi," ucapnya masih berdiri di dalam air. Payung pelanginya lumayan unik, tidak terlihat seperti pelangi. Hanya abstrak dari campuran warna-warna pelangi.

"Nggak tahu, Eda. Mungkin masih ada kalau penjual yang rumahnya jauh-jauh. Kan mereka nggak bisa pulang, Nunggu hujan reda, angin pun kencang dari tadi, kan?"

"Iya, juga ya. Udahlah aku ke sana aja, mau liat-liat juga di depan situ. Udah pelan-pelan angin, kan?"

Area pemukiman rumahku memang tersedia pasar tradisional yang buka hanya sampai siang. Walaupun sampai sore masih ada yang buka kedai. Cukup berjalan kaki saja sudah sampai. Eda yang berumur lebih dari lima puluh tahun itu pergi sebelum aku menjawab.

"Hati-hati, Eda," teriakku mantap.

Aku masuk ke ruang tamu. Lantainya sudah mengalir air genangan dari rembesan keramik di beberapa titik, termasuk dinding kamar bagian bawah. Pelan-pelan berjalan ke kamar mengambil ponsel. Tiga kain lap besar sudah kutaruh di lantai untuk menyerap air. Tiga ember dan kain lap lainnya sudah siap.

Aku menghubungi kembali bapakku karena panggilannya tadi tidak terjawab. Beliau pasti menanyakan perihal rumah dan banjir. Selalu seperti itu. Aku mengabarinya seperti apa adanya. Dan, beliau lumayan tenang setelah mendengarnya dariku.

Aku membaca pesan dari Rahmi yang mengabari bahwa rumahnya juga kebanjiran, dan aku mengetik, "gue baik-baik aja." Pesan serupa juga kuterima dari Noni dan Sari. Artinya memang hujan kali ini mengakibatkan banjir besar, mengingat rumah mereka berlokasi di area bebas banjir.

Mataku tersilap ke kolom chat si duren yang masih centang abu-abu. Dia 'online' saat kolom chat namanya kubuka. Kututup pesan aplikasi guna fokus ke situasi sekarang. Hujan sedikit mereda, angin yang bertiup sejak tadi masih terasa dingin menusuk tulang. Aku lapar.

Aku ingin mengisi perut tapi batal menaruh ponsel teringat si duren mungkin kelabakan membuat proposal itu. Dan, rasa bersalahku juga belum hilang. Aku menekan nomornya. Tersambung, tapi tidak dijawab. Apa dia mengabaikanku? Atau tidak mendengar dering panggilan telepon?

Aku mengulanginya. Kemudian mengirim pesan padanya agar hati dan otakku sedikit lebih baik.

Aku mengetik, lalu menghapus. Mengetik lagi, menghapus lagi. Begitu lagi, lagi dan lagi. Ada apa denganku?

Perlahan langit terlihat terang meski aku tahu matahari belum terlihat di balik awan gelap. Kupusatkan pikiran dengan menarik napas dalam-dalam. Lalu, kembali mengetik kata-kata yang sudah kupikirkan baik-baik bahwa kalimat itulah yang paling bagus dan tepat.

Tidak sampai lima menit dia membalas pesanku dengan emoticon nyengir dan peluk. Keningku berkerut membacanya.

"Otaknya sedang nggak beres."

Sampai mataku tanpa sengaja tertuju ke pesan chat yang belum lama kukirim. Aku tercengang membacanya.

[Pak, apa Bapak masih di kantor? Apa proposalnya sudah selesai? Apa ada masalah dengan datanya? Jangan lupa makan soalnya lapar].