Tanganku terdiam di atas papan keyboard. Oh, Tuhan, apalagi ini? Kenapa saat-saat genting seperti ini harus terjadi yang menguji kesabaran?
Tunggu. Menguji kesabaran?
Ah, ya, kesabaran. Itu yang Tuhan inginkan dari umat-Nya agar tetap berserah pada-Nya, menyerahkan segala urusan hanya pada-Nya, berharap hanya pada-Nya, bukan pada manusia. Semakin tinggi harapan pada manusia, semakin dalam pula sakit yang dirasa. Begitu bunyi dalilnya, kan?
Aku melihat ke dinding tidak menemukan jam di tergantung di sana.
"Mas, Mas, sekarang jam berapa ya?"
"Jam sembilan lewat empat puluh menit," jawabnya melihat arloji. Sepertinya arloji mahal.
'Mati aku!'
Otakku masih blank. Kuharap si bos tidak mencariku ke sini melalui interkom apalagi sampai datang ke sini. Be professional.
'Tarik napas, Ree. Tarik napas ….'
Aku terus merapal dan berdoa sementara tanganku bertaut di kening. Ada kata-kata terlewat yang membuat bagian-bagian draft itu tidak sempurna. Sempurna menurut manusia, walau sebetulnya kesempurnaan hanya milik Allah.
Aku hampir menyerah. Mundur tanggung, bertahan juga percuma. Tapi, tidak boleh menyerah. Tidak ada kata menyerah dalam kamusku untuk sesuatu yang pernah singgah di memori otakku. Ini sudah lebih dari dua puluh menit. Jantungku terpompa lebih cepat setiap kali interkom berdering.
'Nggak … nggak … nggak boleh nyerah.'
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Menyingkirkan pikiran-pikiran negatif yang melemahkan mentalku dalam bidang perkantoran. Allah Maha Baik. Aku ingat beberapa kata yang terlupakan itu.
Aku mengetiknya cepat-cepat dengan senyum sumringah dan jantung deg-degan. Gugup karena akhirnya Tuhan mengabulkan doaku. Aku ingat, aku ingat, semuanya.
Delapan menit berselang, draft itu sudah siap lantas mencetaknya setelah tombol 'ctrl+s' dan 'ctrl+p' kutekan. Alhamdulillah.
"Mas, makasih banyak ya, tapi file di sini jangan dihapus dulu ya, mungkin nanti ada revisi lagi dari pak Rais," ujarku mengambil draft itu dan barang-barang.
Kebiasaan lamaku sewaktu muda dulu kembali. Aku berlari menuju lift tanpa peduli orang-orang sekitar melihatku. Tombol angka tiga kutekan, tapi menunggu yang tidak sampai sepuluh detik rasanya seperti sepuluh menit. Naik tangga ke lantai tiga? Tidak mungkin. Mungkin saja sebentar lagi lift akan terbuka. Tapi, kenapa ini rasanya lama sekali?
Enam puluh menit tersisa untuk segera menyerahkan draft ini. Dipotong dua menit berjalan ke ruangan. Kenapa baru kusadari si duren kadang-kadang naik dari tangga?
Ah, Laduree. Otakmu kalau sudah tergesa-gesa ada sa ja yang meracuni.
Ting!
Untung saja lift tiba tidak sampai sepuluh detik. Aku menarik napas panjang, dalam, buang selama di dalam kotak besi ini. Berulang-ulang hingga merasa cukup tenang. Semoga tidak ada revisi.
Ting!
Langkah kaki kupercepat menuju ruangan si duren. Ini proyek mahal. Perusahaan dengan manajemen tidak main-main. Setidaknya mereka harus terkesan, walau mungkin hasilnya belum rezeki untuk bekerja sama. Aku tidak mengetuk pintu.
"Pak, sudah selesai," ucapku sedikit ngos-ngosan sambil tersenyum.
Dia mendongak. Sempat kulihat dia duduk di kursi menatap kertas, yang aku tidak tahu dia membacanya atau hanya memandangnya melamun.
"Oh, really?"
Dia bangun dari kursi dengan semangat dan tersenyum sumringah. Aku mengangguk berjalan ke mejanya.
"Ah, akhirnya!" pekiknya girang.
Dia melihat draft dan membacanya sebelum berkata, "Wah, Alhamdulillah!"
Aku masih menyengir dan kembali mengangguk. Si Duren segera bersiap untuk menuju ke sana.
"Apa sudah deal, Pak? Nggak ada yang perlu direvisi atau ditambah?" tanyaku memastikan lebih lanjut.
"Nggak ada. Ini udah bagus," katanya menyimpan draft ke dalam tas.
"Saya pergi dulu. Nanti kalau rapat cepat selesai, kamu pergi sama pak Zul. Nanti saya beritahu tempatnya," ujarnya sambil lalu.
Aku mengangguk dengan senyum masih terpatri, memandangnya dengan kemeja hitam bergaris, celana abu gelap, dia berhenti di pintu.
"O, iya, makasih ya. Saya nggak tahu bakal kek gimana kalau sekretaris saya bukan kamu."
Ucapannya terdengar tulus. Tidak ada rekayasa di wajahnya. Aku hanya tersenyum lembut diringi anggukan dua kali. Tapi, ada apa dengan hatiku? Kenapa dia berbunga-bunga dipuji seperti itu?
"Huffff … akhirnya. Selesai!"
Aku duduk di kursi merebahkan punggung. Komputer masih ada di meja ini, pun dengan prosesornya. Rasanya nikmat sekali saat ini. Sunyi, dingin, empuk, tenang. Aku bahkan melupakan ponsel dan tasku di luar sejak tadi. Aku menutup mata melonggarkan sesak yang tersisa.
"Alhamdulillah."
Kerongkonganku haus, sayangnya tubuhku terlalu menikmati kenyaman ini. Bergerak menyentuh interkom pun rasanya enggan. Kuharap tidak seorang pun masuk selama aku di sini. Sebentar saja. Sebentar saja.
***
"Iya, setidaknya kamu terasa lebih segar, kan? Walaupun di kursi, satu jam cukup untuk memulihkan energi dan pikiran," katanya membuatku hampir tersedak.
Makanan sudah di kerongkongan malah tertahan akibat ulah Rais Darmawan. Kafe bernuansa rustic di pinggir kotaku memang pas untuk berfoto. Warna temanya juga tidak terlalu gelap seperti kebanyakan tema serupa. Kayu dan bambunya juga bagus. Sepertinya kafe baru. Aku belum pernah lihat atau dengar sebelumnya.
"Maaf, Pak. Tadi ketiduran. Saya juga nggak tahu bisa selama itu," elakku setelah susah payah menelan makanan.
Aku memang malu setengah mati sewaktu pak Amir membangunkanku di ruangan. Ditambah sekarang dia mengulang itu lagi, mukaku tidak tahu ke mana bisa disembunyikan.
"Memangnya ada orang lelap bisa tahu berapa lama dia tidur?" kekehnya.
'Duh, masuk jebakan Batman.'
Aku meneguk air putih di gelas, bagian terakhir dari air mineral yang sudah kosong di botol. Syukurnya dia tidak melihat kegugupanku. Aku tidak melirik padanya, tapi bagian mata yang lain memberitahu bahwa dia menatapku beberapa lama.
"Boleh saya tanya beberapa hal?"
Aku menggangguk. Tidak mau meladeni pembicaraan selama makan.
"Pesan saya semalam nggak kamu balas. Kenapa?"
(Aku tercekat).
"Pak, bukannya ajaran agama kita nggak boleh ngomong ya, kalau lagi makan dan minum?"
Sengaja aku melempar pertanyaan itu selain mengingatkannya adab makan-minum, juga supaya tidak bertanya yang berkaitan dengan peristiwa kemarin dan kemarin lusa.
"Iya, tapi saya udah siap, kok," jawabnya nyengir.
"Tapi, saya belum kelar, Pak," sewotku.
"Lah, itu kamu bicara," balasnya. "Padahal lagi makan," sahutnya lagi.
'Kurang ajar! Sekarang dia nyebar jaring Spiderman.'
Kuputuskan tidak menggubrisnya lagi sampai makan siangku selesai. Sesekali dia memegang ponsel, mengetik, lantas menaruhnya. Kembali menatapku.
Aku sudah salat di kantor sebelum ke kafe. Sepertinya dia menunggu lama tadi, sebab pak Zul juga mampir ke pom bensin isi minyak. Aku menggeser piring ke sebelah kiri. Dia masih menatapku.
"Sekarang kamu bisa jawab pertanyaan saya."
Aku menarik napas sebelum menjawab, "Udah tidur, Pak. Capek. Rumah saya kebanjiran. Sampe tadi pagi juga airnya belum kering."
Tidak ada reaksi di wajahnya selain manggut-manggut.
"Rumah saya juga kebanjiran."