Chereads / Black Dark / Chapter 24 - Kehidupan Baru

Chapter 24 - Kehidupan Baru

Arjuna mengalami perubahan perasaan dan pola hidup yang ekstrem. Biasanya dia banyak bicara, tapi beberapa hari ini lebih sering terdiam dan melamun. Nafsu makannya juga tidak selahap hari-hari sebelum kepergian Agnimaya.

Ini membuat Hilal yang kini menjadi walinya Arjuna saat ini pun menjadi khawatir. Hilal sudah mengurus seluruh berkas pengadopsian Arjuna. Jadi, setelah tahu jika anak dari cinta pertamanya itu masih hidup, Hilal langsung mengambil alih kewajiban mengasuh Arjuna.

Kemarin, sempat ada percekcokan dengan Ibu Sri karena Hilal tidak memenuhi salah satu syarat adopsi. Orang yang mengadopsi harus sudah berkeluarga. Tapi, Hilal bersikeras tetap mengadopsi Arjuna meskipun dia belum menikah. Dia beralasan pada Ibu Sri jika tidak ada yang mau menikahi perjaka tua seperti dirinya.

Ibu Sri sempat tergelak mendengar pengakuan Hilal yang terus terang seperti itu. Dan di saat itulah Arjuna muncul, dan Arjuna berkata jika dia ingin tinggal bersama Paman Hilalnya. Arjuna juga menyerahkan surat dari mamanya yang berisi tentang Arjuna yang disuruh mencari seseorang yang bernama Hilal, jika sesuatu terjadi pada Arjuna.

Atas alasan itulah, Ibu Sri menyetujui permohonan adopsi dari Hilal itu. Dengan syarat, Arjuna harus sering-sering menghubungi Ibu Sri ketika tinggal di Jakarta bersama Hilal nantinya. Arjuna dan Hilal menyetujui hal itu.

Dan kehidupan baru Arjuna pun dimulai di kota metropolitan Jakarta ini. Arjuna meninggalkan semua kenangan buruknya selama tinggal di Medan. Kenangan buruk tentang meninggalnya satu per satu orang yang dia sayangi. Mamanya, Kakak Nimay-nya semuanya meninggalkan Arjuna.

Juga meninggalkan sosok keras kepala dan pembangkang. Sering melakukan kekerasan dan sikap tidak terpuji Arjuna lainnya. Arjuna meninggalkan seluruh cerita kelamnya. Dan kini berusaha menjadi sosok yang baru. Meski ia tidak yakin apa selamanya sosok kejam Arjuna yang dulu akan terkubur, atau akan muncul suatu saat nanti.

"Juna, kamu ingin aku memasakkan apa lagi untukmu, eum? Katakan jenis makanan apapun itu, Nak. Paman pasti akan membuatkannya, Sayang." Hilal berucap lembut. Ia sembari menepuk pelan pucuk kepala putra cinta pertamanya.

Mereka berada di balkon kamar Arjuna saat ini. Sejak tadi, Arjuna memandang langit sembari menopang dagu di pembatas balkon. Tatapan matanya masih saja kosong. Mata sayu itu terlihat masih sembab di siang ini.

Hilal tidak tahu seberapa lama putra angkatnya saat ini menangis ketika malam hari, saat Hilal tak berada di sisinya. Hilal selalu melihat mata sembab itu dari saat pertama kali mereka bertemu di panti asuhan.

"Maaf, Paman! Juna tidak bisa diam seperti ini terus, dan kabur seperti pengecut begini!" lirih Arjuna.

"Kenapa memangnya, Nak?" Hilal menimpali.

"Aku tahu, selama ini aku sudah berbuat salah dengan melakukan banyak kenakalan. Awalnya itu hanya upaya mecari kesibukan dan pelampiasan atas perlakuan tidak adil Kak Syafitri dan teman-temannya. Tapi, Juna tidak tahu sejak kapan kebiasaan itu berubah menjadi kenakalan." Junq berucap lirih. Ia masih menatap ke langit luas, tanpa menoleh ke arah Hilal yang berada di sampingnya.

Beberapa hari ini, ia lebih sering menyendiri dan mengunci diri di kamar. Ia masih memikirkan bagaimana kakaknya lenyap di depan matanya. Luka di tangannya memang sudah mengering, tapi luka di hatinya masih terasa sakit. Setiap kali mengingat kejadian itu, luka di hatinya terasa semakin mengangga. Andai saja, Arjuna datang lebih cepat?

Arjun pernah berteriak tidak terima saat semua orang mengatakan jika kakaknya telah tiada. Arjuna belum menerima kenyataan itu. Seolah semua orang yang dia cintai, satu per satu meninggalkan Arjuna.

Namun, beberapa hari yang lalu, Arjuna harus ditampar kenyataan yang menyakitkan. Bahwa kakaknya memang telah tiada. Pergi untuk selama-lamanya.

"Paman Hilal?" Arjuna memanggil lelaki yang berada di sampingnya. Mereka sama-sama berada di pembatas balkon saat ini.

"Iya?" Hilal menyahut. Ia melingkarkan tangannya di pundak putra angkatnya.

"Hati manusia memang benar-benar menakutkan, ya? Lebih menakutkan dari dewa kematian sekalipun," racau Arjuna.

Hilal sangat mengerti suasana hati yang dialami putra angkatnya saat ini.

"Kau tahu, Juna? Terkadang kita harus melihat apapun dari sudut pandang yang berbeda."

Arjuna mengernyit mendengar ucapan ayah angkat-nya.

"Maksudnya, Paman?"

"Sebelumnya, apa Arjuna tidak pernah memikirkan tentang ayahmu sedikit pun selama belasan tahun ini?"

Arjuna tak langsung menanggapi. Ia tercenung beberapa detik.

"Jujur, aku pernah beberapa kali memikirkan itu, Paman. Aku sangat iri melihat teman-teman sebayaku bermain bersama ayah dan ibu kandung mereka di taman. Meski Ibu Sri melimpahiku dengan penuh kasih sayang, aku pernah memikirkan mungkin betapa bahagianya jika memiliki ayah, beberapa kali."

"Lalu, apa tanggapanmu tentang Paman?"

"Semua kenangan ku tentang ayah adalah sosok yang menyeramkan, Paman. Jadi, ketika aku melihat Paman Hilal, paman pasti sangat berbeda dengan ayahnya Juna yang kasar itu. Namun, terkadang jika teman-teman panti berbuat kejam padaku, aku ingin sekali menemukan ayah yang mampu merawatku."

Arjuna mengambil jeda untuk menghela napas dalam-dalam.

"Aku sempat memikirkan banyak hal. Apa jika aku tinggal bersama ayah kandungku, aku tidak akan dibiarkan tidur di luar? Apa aku juga akan diberi uang jajan melimpah hingga tak sampai berhutang di mana-mana? Mungkinkah, ayahku sangat baik seperti Ibu Sri? Ataukah sangat jahat seperti Kak Syafitri jika aku tinggal bersamanya? Aku memikirkan semua itu," sambungnya.

Hilal masih terdiam, menunggu putra angkatya bercerita kembali.

"Tapi ... lebih dari pikiran itu, aku lebih sering mempertanyakan kenapa ayah kandungku sendiri tak mencariku? Apa aku memang benar-benar anak yang terbuang? Kenapa tidak sekalipun dia mengunjungiku di panti asuhan? Mungkin jika kami bertemu, dia mungkin saja tidak mengenaliku."

Saat mendengar ucapan putra angkatnya baru saja, hati Hilal begitu sakit seperti diiris-iris. Tanpa sadar, air matanya meleleh. Namun, ia segera menyeka air mata itu sebelum terlihat oleh Arjuna.

Sejak saat itu, Hilal merasa jiwa sebenarnya jiwa anak angkatnya itu sangat rapuh.

Bersambung ....