Rafael semakin erat merengkuh tubuh Agnimaya yang masih menangis sesenggukan. Pandangannya mulai mengabur akibat pukulan di kepalanya tadi.
Agnimaya terus memeluk tubuh Rafael, ia masih ketakutan. Rafael adalah pemuda yang sudah baik terhadapnya selama ini. Tidak hanya memberi pekerjaan, tapi Rafael menjelma sebagai sosok pelindung bagi Agnimaya. Jadi, Agnimaya sangat meenyayangi pemuda itu.
Karena matanya dipenuhi air mata, dalam samar Agnimaya melihat sosok bayangan mendekat. Sosok itu menyembunyikan sesuatu dari balik jaketnya. Benda yang berkilau.
Mata Agnimaya membeliak. Dengan cepat ia membalikkan badannya menjadi berada di posisi Rafael kini. Tubuhnya tersentak. Ia menunduk ke bawah. Bilah pisau menikam punggung hingga tembus ke dadanya.
Darah merah menetes. Terbatuk, Agnimaya terhuyung ke depan. Bilah pisah semakin menembus perutnya, tepat di area perut kanan. Jemari yang sudah berdarah semakin berlumuran darah, menekan pisau agar tak semakin menyembul ke depan.
Pengap seakan tenggorokan menyempit. Sulit menghirup udara.
Memuntahkan darah segar, Agnimaya merasakan tubuhnya semakin gemetaran. Pandangannya semakin mengabur. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya
Tubuh mungil Agnimaya langsung ambruk, tersungkur dan meringkuk di lantai dingin saat pisau dicabut cepat oleh sosok yang masih berada di belakangnya.
Agnimaua terceguk beberapa kali, memuntahkan darah. Seluruh tubuhnya menegang kaku.
Rafael membawa tubuh Agnimaya yang berlumuran darah ke pangkuannya.
"Nimay! Agnimaya! Bertahanlah! Buka matamu!" Rafael menepuk-nepuk pelan pipi pucat Agnimaya.
Sosok misterius tadi hendak menikam tubuh Rafael juga, tapi kepalanya tiba-tiba dihantam benda besar. Batu bata. Seketika itu juga tubuhnya ambruk. Darah mengucur deras dari kepala belakangnya. Tangannya dibekuk oleh benerapa orang yang baru saja datang.
Arjuna bersama rekan-rekannya.
Arjuna terduduk lemas menyaksikan adegan dramatis di hadapannya. Ia telah gagal lagi menyelamatkan satu nyawa. Orang yang sangat disayanginya setelah Ibunda Maurasika.
Tubuh Arjuna bergetar hebat. Pandangannya memburam karena pelupuk matanya yang kini penuh air mata. Dilihatnya teman lelaki kakaknya itu menangis sembari mendekap tubuh Agnimaya yang berlumuran darah.
Arjuna benar-benar menyesal. Kalau saja ia bisa datang lebih cepat. Mungkin ini tak akan terjadi. Seperti de javu, ia pernah merasakan atmosfer seperti ini. Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa saat mamanya meregang nyawa di depannya. Sama seperti saat ink.
Arjuna merangkak mendekat ke arah pemuda masih merengkuh kakaknya.
"Ma-maafkan ... kakak, Jun ... Kakak ... Kakak ... tidak bisa ... bersama Jun lagi ... ughh ...." Agnimaya mengeram, menahan segala rasa sakit yang kian menggerogoti tubuhnya. Ia mengerjap, berusaha tetap terjaga.
Arjuna menggeleng cepat. Dia meraih tubuh kakaknya dari bangkuan Rafael, dan kini mendekapnya.
"Tidak, Kak! Kakak sudah berjanji akan menunggu Juna keluar panti agar kita bisa tinggal bersama, 'kan? Jangan pergi seperti ini, Kak! Juna tidak mau sendirian di dunia ini." Arjuna berteriak di sela isak tangisnya.
Hati Arjuna rasanya hancur berkeping-keping melihat kondisi kakaknya yang berlumuran darah ini. Salah satu rekan yang datang bersama Arjuna menghubungi ambulance.
"Juna ... harus hidup dengan baik, ya?"
Pandangan Agnimaya masih tertuju pada adiknya itu. Tangannya menggantung di udara, hendak menyentuh wajah Arjuna yang sudah memerah karena marah dan tangis. Namun, itu terlalu sulit.
Arjuna menggenggam tangan Agnimaya yang menggantung. Dibawanya tangan yang semakin mendingin itu ke pipinya.
"Juna ... adik Kak Nimay ...." Mata Agnimaya semakin memberat. Dadanya begitu sesak. Ia benar-benar sudah tak bisa bertahan. Tangannya yang berada di pipi Arjuna kini terjatuh. Kepalanya terkulai, masih dalam pangkuan Arjuna. Mata Agnimaya terpejam rapat menuju kegelapan yang abadi.
"Tidak! Tidak, Kak Nimay! Jangan tutup matamu, kumohon! Huhuhu bantuan hiks akan segera datang, Kak. Jangan tinggalin Juna sendirian, Kak!"
Bersambung ....