"Kapan kamu ingin menikah sayang?" tanya Gerand.
Tangan orang tersebut masih belum melepas berkas yang akan mereka pakai untuk perjanjian.
Pakai tidak sih?
"Bisakah Anda tidak memanggil saya dengan panggilan yang menjijikkan itu?" kata Regi dengan tatapan tajam.
Sepanjang hidupnya, banyak orang membuat dia merasa sangat tidak nyaman. Namun dengan itu mereka pun juga akan dapat balasan setimpal.
Mereka yang berani protes langsung terima pukulan di wajah. Panggilan tersebut menjijikkan untuk Regi.
"Tentu, apapun untukmu," jawab Gerand cepat.
Tidak apa-apa, bagaimanapun, orang di depannya bukan sembarang orang. Dia bukan perempuan penjaja tubuh ataupun model kelas atas, tapi calon istri. Calon yang bukan sepenuhnya.
Sayang, itulah yang dipikirkan Gerand.
"Minggu depan. Aku tidak punya Ayah dan Ibu jadi kamu tidak perlu minta restu dari mereka. Jadi sekarang bisakah kamu beritahu di mana pakaianku? Aku harus pergi ke ruang kerja. Mendadak jadi istri bukan hal untuk hidup."
Calon istri?
Apakah Regianis benar-benar ingin menikah dengan Gerand?
Gerand Yosefa langsung memikirkan hal tersebut. Bagaimana mungkin wajah Regi terlihat begitu biasa ketika dia mengatakan itu.
Sulit dipercaya Gerand ternyata Regi tidak sesederhana kelihatannya.
Ia liar.
"Oke. Aku sudah menyiapkan baju baru untukmu... tenang, itu masih masuk ke selera fashionmu kok."
Regi harus merespon terkesan?
Tidak, hal yang orang tersebut lakukan adalah menatap lurus. Wajah datar dan tangan bersedekap.
Sama sekali tak menunjukkan orang sehabis jadi korban.
"Terima kasih. Sudah cukup perbincangan kita. Tidak perlu repot menyiapkan kertas atau dokumen. Permisi," ucap Regi yang tanpa malu-malu mengenakan pakaiannya tepat di depan Gerand.
Toh udah kelihatan juga, Regianis sangat bersyukur sebab ia masih perawan.
Gerand sendiri bingung kenapa dia bisa langsung mengambil keputusan. Seorang Gerand Yosefa biasa bermain perempuan bukannya menikah.
Lalu semudah itu untuk mengatakan iya?
Ini tidak terlalu bagus. Kasyikan berpikir, Gerand sampai tak sadar bahwa Regi sudah pergi, dia langsung mengambil nafas.
Sebenarnya dia tidak tahu kenapa dia melakukan ini. Gerand benar-benar tidak tahu. Kecuali hasrat untuk menghancurkan.
Namun, apakah sebegitu mudah?
Pemuda itu pun melihat ke cermin yang kemudian beralih ke ruangan yang kacau oleh tindakan Regianis. Itu spontan membuatnya tersenyum miring.
Sedih..., tidak, marah pun juga bukan. Ini adalah awal yang memiliki akhir. Lalu akhir cerita dan sekretaris Regi akan berlanjut seperti yang pertama. Yaitu sebatas atasan dan bawahan. Tidak lebih dan akan terus begitu.
Hubungan suami istri hanya akan sebatas yang tertera di kertas. Mereka tidak akan menjadi pasangan suami-istri pada umumnya.
Regianis adalah sekretaris yang tepat dan Gerand adalah CEO. Tentu saja, ini hanyalah sebuah permainan.
Keduanya akan menjadi sepasang suami-istri fenomenal.
Sementara itu Regi langsung menuju ruangannya. Sampai disana ia melempar botol minuman yang tadi ia minum.
Hal itu membuat seorang karyawan wanita yang lewat mengerjapkan mata kaget plus takut. Seolah-olah dia sedang melihat hantu daripada orang yang tengah mengamuk.
"Ha-hay."
Tanpa disadari, karyawan wanita itu melambaikan tangan. Gerakan canggung sambil tersenyum setengah memaksa.
Orang itu tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi, hanya saja mungkin tidak akan masalah ia melakukan itu.
Regi langsung memandang orang tersebut, saat tatapan mereka bertemu Regi langsung membeku di tempat. Orang itu..., dia adalah seseorang yang Regi bantu dan juga orang yang pernah menolongnya.
Seperti sebuah hubungan timbal balik.
Kejadian itu terjadi saat Regianis hendak pergi ke rumah sakit. Dia hampir tertabrak mobil dan wanita itulah yang membantunya. Kemudian pada pertemuan kedua Regi yang membantu orang tersebut.
Tepatnya saat perempuan tersebut diganggu preman. Tapi sepertinya orang itu sudah tidak mengingat Regi lagi karena kejadiannya sudah lama. Sekitar sepuluh tahun lalu.
Wajar lupa kecuali orang tersebut punya ingatan bagus.
Nah soal Regi jangan meragukan ingatan seorang lulusan cumlaude dan pemegang sabuk hitam karate tersebut.
Tak heran perempuan tersebut jenius.
"Jenny," kata Regi linglung.
Sudah lama sekali dia ingin bertemu dengan orang yang menatapnya bingung sekarang.
Sebab, sampai saat ini Regi tidak punya teman selain buku.
Perempuan yang dipanggil pun spontan menatap lurus dan berkedip bingung. Dia juga melihat ke kiri dan ke kanan kalau-kalau ada seseorang yang mungkin memiliki nama yang mirip dengannya.
Because, dia tidak mengenal orang yang menyebut namanya. Dengan senyuman yang dipaksakan, Jenny hanya bisa menunjuk dirinya sendiri.
"Maksudmu aku?"
Sama seperti pertama kali bertemu, kacamata yang dikenakan orang tersebut masih tebal. Menunjukkan min yang cukup besar.
Dunia tidak sempit, hanya saja Regi ditakdirkan bertemu seseorang yang menarik perhatiannya setelah selama ini tak berhasil menemukan orang tersebut dalam pencariannya.
"Namamu benar Jenny? Ini aku. Kita pernah bertemu saat aku ingin pergi ke rumah sakit. Kamu menyelamatkanku dari tabrakan mobil. Aku tidak menyangka bisa bertemu kau di sini," kata Regi sambil tersenyum ramah.
Sementara itu, Jenny malah menggelengkan kepala bingung. Kapan mereka bertemu?
Regi kembali berbicara karena orang tersebut memberikan tatapan yang seolah-olah tak tahu apa-apa. Harus berusaha ekstra untuk mengingatkannya.
"Sepuluh tahun yang lalu, kita bertemu dua kali, yang pertama di jalan seperti yang ku sebut dan kedua saat kamu diganggu preman. Aku membantumu saat itu. Coba ingat-ingat lagi. Jika aku tidak salah waktu itu kamu lebih muda beberapa bulan. Aku pikir kamu pun juga baru bekerja di sini kan?"
Jenny hanya bisa menganggakan mulut saat dia dengar orang di depannya tahu dia baru bekerja. Benar, dia jelas bukan sembarang orang.
Lalu di saat yang sama Jenny juga berusaha mengingat rentetan kejadian yang orang tersebut jelaskan. Seperti yang dibilang orang itu. Harus bisa.
Yes, akhirnya Jenny pun membebelakan mata.
"Ah, aku ingat. Kamu gadis kecil kulit hitam yang kotor itu, kan?"
Kata-kata Jenny membuat Regi tersenyum setengah memaksa. Bagaimana bisa orang di depannya memanggil ia gadis kecil berkulit hitam yang kotor?
Tidakkah ada panggilan yang lebih baik?
Dari sekian banyak scene, kok malah ingat yang buruk?
"Astaga, apa yang ku katakan?" kata Jenny sambil menutup mulutnya.
Sungguh, dia sama sekali tidak berniat mengatakan itu. Jenny tidak sengaja. Sekarang akan bagaimana?
Toh sudah terlambat.
"Tidak masalah, yang penting kamu ingat aku saja. Mudah-mudahan tidak salah menyebutku anak kecil kotor dan hitam. Tapi perasaan aku tidak kotor, cuman galak."
Setelah mengatakan itu, Regi berbicara lagi.
"Ngomong-ngomong, kamu ada di divisi apa?"
"Aku?" kata gadis itu masih menunjuk dirinya sendiri.
Seketika Regi ingin memukul sesuatu. Mungkin kepala orang itu akan menjadi target yang bagus. Biar nyambung otaknya. Tapi tidak, dia tidak akan pernah melakukan itu.
"Aku bekerja di bagian divisi Manajemen. Apa aku bisa bekerja di bagian itu," katanya sambil menundukkan kepala.
Hal itu spontan membuat Regi penasaran. Apa yang mengganggu pikiran wanita itu hingga dia menunduk?
"Wah, kamu tidak suka bagian yang kamu dapat ya? Oh, ayo kita duduk sebentar. Tenang aja, nggak akan lama kok. Toh sudah waktunya istirahat," ucap Regi yang meraih tangan Jenny.
Sedangkan orang tersebut tidak bisa berbuat apa-apa, terlebih saat Regi menggenggam erat tangannya.
Sementara itu, pertemuan dengan 'teman masa kecil' membuat ia lupa hal yang buat otak pusing tujuh keliling. Semua hal buruk yang terjadi padanya terlupakan saat orang itu bertemu Jenny.
Ada perasaan berbeda ketika Regi bertemu orang tersebut.
"Terus?" tanya Regi saat mereka duduk diam.
Posisi nyaman.
"Aku..., aku mengalami kesulitan dengan bidang apapun yang aku ambil. Kemampuanku kurang tetapi keberuntunganku cukup baik. Ya, meskipun aku hanya menjadi karyawan terkecil di divisi tersebut. Tapi aku sangat bersyukur."
Regi manggut-manggut pertanda paham. Lalu tak lama setelahnya ia pun berucap.
"Tenang, aku akan memandumu saat kau merasa sulit. Oh ya, kita kenalan dulu. Sekarang kamu pasti sudah melupakanku. Jadi perkenalan namaku Regianis biasa di panggil Regi. Aku pegawai baru, lebih tepatnya sekretaris presdir," kata Regi sambil mengulurkan tangan.
Jenny menatap dengan kagum ke orang di depannya.
Sementara itu, seseorang tengah menatap lurus ke arah kedua orang tersebut.
Hancurkan, itulah sesuatu yang dipikirkan oleh orang tersebut. Mudah.
"Kau akan habis, sayang. Ku pikir lebih bagus melibatkan teman lama."
Gerand bersmirik.
*****