Chereads / Berawal dari Satu Malam / Chapter 23 - 23 Menjengkelkan!

Chapter 23 - 23 Menjengkelkan!

"So, what happen?"

Yang bertanya itu adalah Rein. Dari empat orang disana, hanya Rein yang masih bisa berucap walau masih tercekat.

Kalau gak tahu wajar sih bertanya.

Sementara itu, Redis terlihat datar. Bukan masalah uang yang ia pikirkan untuk membiayai acara nikahan Rey sebagai hadiah, Kalau saja mereka benar-benar lepas kendali.

Akan tetapi berpikir soal bagaimana bisa kedua orang yang saling membenci tersebut berciuman?

Adakah yang namanya suka dalam satu kali napas berhembus?

Semudah balik telapak tangan?

Terlebih lagi saat lihat wajah keduanya. Tak nyaman, mirip orang ketahuan berbuat mesum. Emang bener sih.

Fiks, ekspresi begitu, tanpa harus berpikir panjang, sudah jelas keduanya melakukan ciuman tersebut secara sadar dan suka rela.

Bukan terpaksa.

Lantas, sejak kapan seorang Redis Sanjaya pusing-pusing oleh hal tersebut?

Pusing Redis khusus teruntuk berkas kantor.

Berbelit-belit, yang jelas Redis tak terima. Makanya sekarang ia diam. Setelah yang ia alami, presdir tersebut tak ingin melakukan apapun. Termasuk bicara.

Biarkan mereka bicara, Redis tinggal dengar dan duduk manis. Anggap sebagai sebuah pemberontakan.

Redis saking kesalnya, marah ke diri sendiri. Ia mengumpat.

"Khilaf," cicit Meri pelan.

Rein sontak membulatkan mata, kok?

Pada akhirnya itulah jawaban yang terdengar. Setelah sekian lama berdiam diri akhirnya Meri berhenti bungkam mulut.

"Kau bilang apa?"

Rein kaget, ciuman panas ke orang yang dibenci kok khilaf.

"Oh ya oke, gak apa-apa," ujar Rein akhirnya.

Ia paham, jangan judge Meri aneh-aneh, nanti yang ada tambah malu.

Sang sahabat mungkin sedang mengekspresikan diri. Entahlah, pokoknya sejenis itu deh. Yang penting Meri tidak dalam kondisi terpaksa, itu sudah lebih dari cukup.

Tak ada yang harus dipermasalahkan lagi–untuk sekarang. Nanti Rein akan bicara lebih lanjut.

Mungkin juga marah-marah...?

Tak ada yang tahu.

"Oke, kami pulang," ujar Redis.

Ia masih datar, lengkap dengan tangan yang dilipat khas gaya ia yang biasanya. Dagu diangkat tinggi-tinggi.

Mau bagaimana, Redis sudah rindu pekerjaan kantor disamping hari pernikahan sudah dekat. Game batal, oleh sebabnya lebih baik pulang. Redis pusing. Mencium Rein bukan pertama kalinya tapi rasanya aneh.

Damn it.

Malam-malam masih sempat kerja?

Gak kok, Redis hanya berurusan sedikit lalu itupun bukan berkas-berkas.

Ponsel Redis berbunyi. Siapa sih yang nelepon malam-malam?

Si empu sontak mendengus.

Setengah hati plus misuh-misuh, Redis lihat layar ponsel. Niat orang itu bukan untuk mengangkat panggilan tapi mendiamkan ponsel.

Ganggu.

"Kenapa?" Rey bertanya, sang atasan natap layar ponsel intens.

Ingin mendiamkan ponsel tapi gak jadi.

"Ayo pulang," ujar Redis lirih. Lebih tepat disebut bergumam ke diri sendiri.

Seseorang yang menelpon adalah tuan Sanjaya. Pasti mau ceramah atau sesuatu yang lain.

Ah..., entahlah. Satu hal yang pasti, Redis harus pulang sekarang.

"Eh, cepat sekali. Tunggu sebentar, aku akan mengambil kue yang ku buat. Walaupun tidak banyak kalian bisa memakannya."

"Tidak perlu, ayo Rey."

Kok, Rein diam seperti patung.

Baru kali ini Rein terasa ditolak. Biasanya oke-oke aja kok. Habis, orang itu tak pernah berhubungan lebih ke siapapun. Hidup Rein normal.

Antara ia dan Meri.

Tanpa mengatakan apapun Redis menarik tangan Rey. Membuat mulut cerewet Rey bersuara layaknya toa.

Ini kenapa dia ditarik-tarik?

Kayak ada bencana alam.

Sementara itu Meri terlihat datar. Apa yang mereka harapkan, kedua orang itu ingin pergi. Ya sudah.

Justru bagus, daripada keduanya menganggu...?

Maksudnya kedatangan mereka menganggu we time berkualitas Rein dan Meri. Ah tidak, pokoknya begitulah.

Em..., sikap Meri tidak seperti orang yang habis berciuman panas. Tak salah tingkah sedikitpun.

Selepas kepergian Rey dan Redis.

"Ayo tidur, kalau aku sih harus nulis dulu."

"Rein..., hidupmu hanya untuk menulis dan menerjemahkan ya?"

Meri berdehem sebentar, lihat-lihat rumah Rein untuk menghindar bertatapan si pemilik.

"Oh ya Rein..., maaf," ujar Meri lagi.

Terdengar lirih, namun masih terlihat biasa. Gak salah tingkah.

"Kenapa minta maaf?"

Rein fokus ke handphone.

Cacat, Rein adalah tipe orang yang fleksibel, bisa fokus terhadap banyak hal walaupun sedang bekerja. Walau terkadang tak terlalu berjalan baik sih.

Gimana orang bagi-bagi titik fokus?

Sedikit yang bisa. Hasil tak maksimal.

"Aku..., jujur aku gak tahu soal yang tadi. Semua terjadi begitu saja. Kami..., cuman coba-coba."

What!?

Rein langsung beralih ke Meri, sejak kapan anak ini coba-coba soal ciuman?

Udah geser otaknya!?

"First kissmu diambil orang itu Meri sayang. Kamu gak berpikir menyerahkan diri kan? Kamu boleh aja tersinggung, tapi aku ingin bilang, aku gak percaya dengan orang seperti mereka. Sayangnya aku terjebak. Oleh sebab itu gak bisa milih dan bertindak sesuai yang aku mau. Lalu kamu, gak boleh sampai terjebak sepertiku. Jangan bodoh," ujar Rein dalam satu tarikan napas.

Ia harus kasih wejangan ke anak nakal seperti Meri. Udah dongkol. Ini anak bikin sakit mata lihat dia ciuman. Saling mencercap lidah. Ya Tuhan.

Meri cemberut dengar saran Rein, itu anak teganya gak ketulungan.

"Memangnya kamu mau apa, tak ingin dapat pertanggungjawaban. Ini termasuk keajaiban lho, pak Redis yang cuma tahu berkas-berkas kantor mau nikah sama kamu. Kalau soal aku, jangan terlalu dipikirkan, aku jaga diri kok."

Rein mengusap rambut kasar, ucapan Meri mengingatkannya pada alasan klasik Redis buat ia jadi batu permata di luar dan batu kerikil di dalam.

Status, cover, nama baik dan pencitraan!

"Dia terpaksa Mer. Kamu pikir status itu cukup? Nanti kalau aku diduain sama berkas kantor gimana. Lebih baik gak nikah aja kalau gitu."

Meri pun sontak meringis. Kasihan.

Dalam sudut hati yang lain juga berpikir hal baru. Seperti bagaimana pernikahan keduanya kalau berakhir dengan hubungan diatas kertas.

Lalu sekarang, kenapa ia sendiri bersikap seperti perempuan murahan. Oke, harus Meri akui, ia menyesal.

Memang ya, penyesalan itu selalu berada di akhir.

"Pak Redis katanya tak berperasaan. Kamu harus hati-hati."

Meri masih menundukkan wajahnya. Sementara itu Rein fokus ke ponsel.

"Em. Sudah ya, aku gak bisa nulis kalau kita bicara terus."

"Iya."

Setelah itu tak ada apapun yang terjadi. Semua berjalan sebagaimana mestinya.

Hingga matahari terlihat ke permukaan, pertanda malam sudah berganti shift. Belum terang kok, baru mau nyapa. Kalau sudah, benar-benar siang.

Sekarang masih pagi. Ingat dan catat, masih pagi!

Baik Rein dan Meri siap dengan segala rutinitas di pagi hari. Mereka adalah orang gesit.

Tinggal berangkat kerja setelah itu beraktivitas. Hari ini Rein berniat pergi ke perusahaan untuk menyerahkan naskahnya. Nah yang Rein tulis akhir-akhir ini naskah di flatform bukan naskah buku.

Kalau naskah buku sih sudah selesai. Jadi hanya tinggal tugas menerjemahkan buku yang belum.

"Rein kita naik bus yuk. Aku lagi malas naik sepeda."

Kedua orang itu memiliki sepeda yang bisa dipakai kalau-kalau ketinggalan bus. Atau seperti sekarang, saat tak ingin naik salah satunya. Bisa tukar-tukar.

Kenapa bukan motor?

Biar sehat, kan sekalian olahraga.

Rein setuju. Hubungan Rein dan Meri sudah seperti saudara kandung. Ibarat Rein surat Meri perangko.

Tin. Tin. Tin.

Siapa?

Rein mengerjap bingung lihat sebuah mobil mewah berhenti tepat dihadapan mereka.

Kok berhenti?

Secara kan, Rein ngerasa gak mungkin ada yang menjemputnya.

Redis?

Rein bahkan tak berharap banyak dari orang tersebut. Redis hanya menjadikan Rein keterpaksaan. Rein butuh posisi jelas, oleh karena itu tak bisa memilih.

Pupus, gak bakal ada harapan.

"Siapa itu?"

Rein tak menghiraukan pertanyaan Meri, matanya senantiasa lihat seseorang yang akan keluar dari mobil tersebut.

Saat si pengemudi keluar, wajah Rein sontak tanpa ekspresi, bak triplek. Orang itu adalah Radit dengan senyum congkaknya.

Oh no, maksudnya..., ramah bukan congkak. Cuman dari sudut pandang Rein, tetap aja itu senyum meremehkan.

Rein negatif thinking.

"Halo, good morning."

"Ada apa Tuan, Anda kemari tidak mungkin hanya untuk bilang selamat pagi, kan?"

Meri menyikut perut Rein saat dengar orang tersebut bicara begitu. Kasar dan tidak sopan. Radit orang besar lho Rein.

Pangeran berkuda putih, nah kudanya mobil. Bukan onta atau kuda putih yang di dongeng-dongeng itu.

"Kakak ipar..., jangan julit dong. Kita kan calon keluarga. Ups, maksudku Rein." Radit kasih penekanan pada kalimat 'Rein.'

Ini nih yang buat Rein kesal. Terlebih lagi Redis mendekat kearah mereka.

"Kalian butuh tumpangan. Aku datang kesini sengaja jemput kalian, tolong jangan menolak ya, aku sudah meluangkan waktu lho."

Senyum Radit ia pasang unlimited, sesekali menyurai rambut berponi belah duanya.

"Maaf Pak, memangnya siapa yang minta Anda meluangkan waktu. Bukannya Bapak orang sibuk?"

Kali ini orang yang bertanya itu adalah Meri. Toh benar, aneh rasanya saat CEO dari perusahaan Samira Corp tiba-tiba menjemput mereka.

Itu terlihat seperti ada udang dibalik batu. Pasti ada yang tidak beres.

Sementara itu dalam sudut hati yang paling dalam, Rein bergumam, 'ini nih baru temanku.'

Yang tadi gak usah dipikirin, yang penting sekarang sudah bagus otaknya Meri.

"Apa yang kalian pikirkan mengenaiku?" tanya Radit terdengar tajam plus tanpa ekspresi.

Kesal, ia tersinggung.

Kalau Rein terlihat seperti ingin memukul sesuatu.

Hey, lihatlah wajah congkak tersebut. Ingin nawarin bantuan kok maksa?

Kalau orang gak mau tinggal ditinggal. Katanya sibuk.

Cih. Kasih pelajaran nih biar sadar.

*****