Chereads / Berawal dari Satu Malam / Chapter 27 - 27 Kedatangan Membawa Petaka

Chapter 27 - 27 Kedatangan Membawa Petaka

"Rein, kenapa, kok wajahmu kayak baju gak disetrika sebulan? Coba deh cerita."

"Kamu juga, itu wajah kenapa lecek?" Rein bertanya balik.

Jikalau ada yang berpikir soal orang mengenaskan plus nelangsa, Rein dan Meri adalah dua orang yang tepat. Cucok marucok. Dua sahabat itu seperti sudah janjian galau berjemaah.

Ironis.

"Pak Rey nyuruh aku cari gaun untuk jadi pengiring pengantin nikahan kalian. Katanya ini perintah bukan permintaan. Terus aku juga harus buat ulang berkas yang hilang kemarin. Salah sendiri sih, aku ceroboh. Berkas sendiri jatuh ke tempat sampah. Untung otakku gak ikut nyemplung."

Boring, Meri seperti orang habis baterei. Butuh asupan energi kehidupan.

Rein natap aneh, oh..., ia connect.

"Maksudmu, berkas kamu hilang. Oh..., karena itu kamu nelpon aku."

Mumpung ada meja, Meri jatuhin kepala disana deh. Ia mangut-mangut. Wajah khas orang depresi.

"Em yang itu. Dasar berkas ngeselin, aku sudah bekerja keras merawatnya, dianya malah pergi gitu saja."

Rein hanya berekspresi seadanya. Akhir-akhir ini tingkat diksi Meri sudah melebihi Rein yang seorang novelis dan penerjemah buku.

Berlebihan, kayak pakai majas. Bagus tuh jadi penulis puisi. Tiada angin tiada hujan, orang itu pun tiba-tiba natap Rein intens. Si empu sampai terlonjak kaget.

"Oh sekarang giliran kamu, cepat ceritain? Perlu aku buatkan kue donat lagi?" tanya Meri ke sahabatnya itu.

Saat Rein galau atau terjebak masalah, baik hal kepenulisan ataupun yang lain, sebagai contoh ketika ide dan imajinasi yang lagi remang-remang, maka orang itu bisa menghabiskan 30 buah kue donat sekaligus. Lengkap jenis minuman super aneh yaitu cokelat dicampur jeruk nipis.

Anehnya, gak pernah keracunan itu orang.

Kalau individu lain sih kemungkinan sudah tepar, berbeda dengan Rein yang memang selera minumannya ekstrem.

Gila, kan?

"Aku jadi ambassador Samira Corp. Mereka buat event writer world."

"Brurr..."

Untung Rein tidak sedang berada di depan Meri melainkan di samping. Kalau di depan, harus rela mandi dua kali. Basah-basahan oleh semburan jus yang Meri minum.

Padahal kan bukan lagi ke dukun, pakai acara sembur-semburan segala.

"What!"

"Mer, jangan berlebihan bisa gak sih?" gerutu Rein saat Meri bicara air liurnya muncrat sedikit ke wajah Rein.

Jorok, itulah kata yang tepat menggambarkan seorang Meri. Sayangnya mereka sudah jadi teman dekat sejak berada dalam kompleks perumahan yang sama.

Untuk itu Rein sudah terbiasa dengan segala sifat 'ajaib' Meri.

Perempuan yang tak suka rawat tubuh dan penampilan. Kalau gitu mana bisa punya pacar. Terlebih lagi dengan aktivitas yang hanya sebatas kantor dan Rein doang.

Ck, ck, ck.

Baru saja Meri ingin berucap, sudah lebih dulu terdengar suara telepon. Ponsel Rein memang tak mengeluarkan suara, akan tetapi ada suara getaran.

"Wait, orang sibuk memang sering di telepon," ujar Rein, ia meraih ponsel, menempelkan benda persegi tersebut ke telinga.

Meri cuman datar. Jarang-jarang sih Rein bersikap dan bicara aneh, kalau sudah begitu, jadi berkali-kali lipat menyebalkan.

Untuk beberapa waktu ke depan, Meri hanya jadi seorang pendengar setia sambil makan kue, mata fokus ke laptop.

Begitu tuh derita sebagai karyawan perusahaan besar, mau bagaimanapun harus bisa memposisikan dan mengatur diri agar tetap bisa menyelesaikan berkas kantor yang tak ada habisnya.

Bahkan lagi kumpul dengan teman sekalipun.

Nyambil, sambil menyelam minum air.

So, Meri tak benar-benar jadi pendengar setia.

[Apa, sekarang? Tapi Pak, saya kan belum siap-siap. Apalagi Meri, dia gak ada hubungannya dengan rencana aneh Bapak.]

Sontak Meri melihat Rein saat orang itu menyebut namanya. Apa-apaan, kenapa dia yang gak tahu disebut-sebut?

Harus dengar baik-baik nih.

[Ya Pak, gak bisa gini dong. Memangnya Bapak pikir kami robot?]

Robot, apalagi sih?

Tok. Tok. Tok.

Sontak mata kedua sahabat tersebut beralih ke pintu. Siapakah gerangan orang yang tiba-tiba berkunjung?

Tut, bunyi pertanda telepon dimatikan. Alhasil Rein natap kesal benda elektronik ditangannya.

Tahu siapa yang menelepon, yup. Orang itu adalah Redis Sanjaya yang tak punya perasaan.

"Kenapa, ada apa?" Meri bertanya bertubi-tubi.

Wajah berubah panik. Jangan-jangan maling. Meri ceritanya lagi mode orang lemot.

Tanpa menghiraukan perkataan Meri sahabatnya, Rein berjalan menghampiri sumber suara.

Nasib banget sih. Dia dikacangin. Ck.

"Rein, tungguin."

"Sssttt," ujar Rein sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir.

Meri?

Menatap bingung sang sahabat, orang itu natap aneh, siapa tamu mereka sampai Rein bersikap begini?

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan pintu semakin keras terdengar. Pasti ada orang jahat dari balik pintu.

Habis terkesan tak sabar.

Tanpa membuang banyak waktu Meri langsung turun tangan.

Siapa yang berani meneror ketenangan mereka?

Sini biar Meri pelintir lehernya.

Lihat, Meri pastikan orang-orang kurang kerjaan itu menyesal!

Loh, kalau maling atau orang jahat gimana?

Tenang..., Meri orang yang tak terduga. Walaupun itu orang jahat sekalipun, Meri punya rencana tersendiri.

"Mer!"

Terlambat, seseorang yang berada dibalik pintu terkena pukulan telak Meri. Yang tersisa hanyalah tatapan horor dari sang korban dan ringisan tertahan Rein.

Kalau Meri?

Dia terkejut bukan main. Seseorang yang ia pukul adalah..., Rey!

Apa hajat orang itu datang lagi?

Tak cukupkah perintah dan pertemuan canggung keduanya di perusahaan?

Lebih tepatnya Meri yang canggung setengah mati. Kalau Rey sih biasa-biasa aja.

Hello, setelah 'tak sengaja' berciuman, kedua orang itu masih bersikap seolah tak terjadi apa-apa?

Tentu tidak!

Terutama Meri, ia benar-benar malu!

Rey sih, B aja tuh.

Tepat dibelakang Rey, ada tiga orang yang menatap Meri. Dua orang ngeri dan satunya lagi datar bak triplek.

Dalam hati orang datar tersebut bergumam, untung aja aku nyuruh Rey yang buka pintunya. Kalau aku, pasti sial.

"Semuanya masuk, aku sudah dipukul jadi tak akan terjadi hal yang buruk lagi," kata Rey, ia menerobos, sengaja menabrakkan tubuhnya kuat-kuat ke Meri.

Orang itu tentu saja terhuyung. Walau bagaimanapun Rey kan laki-laki.

Meri serba salah. Mata mengerjap lamat-lamat. Tidak, harus ada sesuatu yang perempuan itu lakukan. Entah apapun itu yang jelas harus ada.

Sedetik setelahnya Meri tarik lengan Rey agar orang itu berhadapan langsung dengannya. Belum sempat Rey memprotes ataupun melepaskan diri, perempuan itu sudah lebih dulu menarik sang sekretaris untuk ikut bersamanya.

Rein serba salah, sejak kapan Meri seberani itu ke orang luar?

Ditarik lho. Terus dibawa masuk.

Biar Rein tebak, tujuan Meri pasti dapur. Sebab, pukulan perempuan itu tepat mengenai wajah Rey. Dari pencahayaan lampu aja terlihat jelas wajah Rey membiru.

Memang ya, pukulan Meri tak bisa dianggap main-main. Pakai tenaga badak.

"Ehem, tolong urus perempuan itu. Cepat dan jangan buat aku kecewa."

Eh, apalagi nih!?

Urus yang bagaimana!?

Jangan macam-macam, Rein pun bisa kok kayak Meri. Pukul habis orang-orang yang mengganggunya!

Sayang, pas dikamar Redis kok kayak mati kutu. Ada yang mikir kesana gak?

Ck, ck, ck.

"Ya apa-apaan ini? Kalian jangan macam-macam atau aku pukul. Biar begini-begini aku juga bisa lho beladiri," sungut Rein. Tampang diposisikan segarang mungkin, biar orang-orang itu nyalinya ciut.

Terdengar suara decakan. Tangan bertengger manis disaku celana.

"Rein jangan gila, cepat urus. Kalau orang itu berani macam-macam biar aku yang turun tangan."

Gini nih, gak bisa dibiarin. Harus Rein urus tuntas!

Enak aja Redis memperlakukan dia kayak barang. Rein yang berkacak pinggang. Enak aja, harus kasih pelajaran hidup!

"Memangnya Anda siapa, Pak. Saya sendiri, Anda yang harusnya jangan berlebihan."

Seketika itu suasana berubah mencekam.

A sih yang diperdebatkan oleh kedua orang tersebut?

Satu hal yang pasti, Rein gak bisa diam terus. Redis keterlaluan!

Mata Rein berkilat marah.

*****