"Aku berniat baik lho. But it's oke, kalau kalian nolak, aku gak akan maksa. Aku tersinggung sih, kan sudah meluangkan waktu. Sampai jumpa."
Rein tak mengerti isi pikiran orang tersebut. Tadi terlihat kesal tapi sekarang nyerah begitu saja.
Bukan menyerah sih, lebih tepatnya melunak. Bagaimana bisa?
Mental kerupuk?
Sekarang Rein merasa aneh. Terlihat sok jual mahal padahal aslinya ia orang yang cukup terbuka. Untuk orang yang berniat baik, tulus dan ia kenal tentunya. Bukan sembarang orang.
Oh, lebih baik Rein biarkan Radit pergi. Tak masalah, kan?
Habis Rein gak nyaman. Itu adalah situasi terburuk.
"Eeh Pak. Kita mau kok ikut Bapak."
Seketika itu juga Rein langsung melihat Meri. Mudahnya ia bilang setuju?
Oh c'mon, God, lord, apalagi...?
Rein spontan tanpa ekspresi dengar yang sahabatnya bilang. Ini ceritanya mereka lagi main bisik-bisikan ya.
Meri kasih Rein pengertian biar tak salah paham padanya. Dengar dan jalani dulu, setelahnya lihat yang terjadi kedepan.
Eits..., don't think about bisik tetangga, rumput tetangga dan segala macam yaitu serumpun, beda kok.
"Orang dihadapan kita saat ini CEO perusahaan besar lho Rein. Bukannya modus ataupun cari kesempatan dalam kesempitan, caper dan sejenis. Tapi kita harus nurut. Kalau tidak, ada badai besar."
Rein bingung, sejak kapan sahabatnya bisa bicara hal yang mengandung arti kiasan, mana berbelit-belit. Rein yang seorang novelis aja jarang.
Eh kalau dipikir-pikir perkataan Meri benar--dari beberapa aspek.
Seakan pasrah, Rein pun hanya menganggukkan kepala. Oke, nurut jangan cari perkara.
Lari dari masalah saat ada celah beda dengan lari dari kenyataan. Tinggal ikut alur.
"Sudah selesai bisik-bisiknya?"
Redis menatap malas, ia hanya diam lihat kedua orang tersebut?
Soal gaya sih gak tanggung-tanggung, tangan dimasukkan ke saku biar terlihat cool.
"Hahaha Pak, saya tidak menyangka selera humor Anda lumayan."
Rein yang seorang novelis dan penerjemah, tapi kenapa Meri yang tak jelas?
Harusnya dialog tersebut lebih tepat Rein yang ucapkan. Ia punya kepribadian fleksibel dan seorang novelis. Sedangkan Meri adalah anak kantoran yang tentunya punya kepribadian kaku...?
Entah ada atau tidak hubungannya, yang jelas begitulah.
Radit tersenyum menanggapi perkataan Meri. Orang itu jelas salah tingkah.
"Baik Pak, ayo berangkat," ujar Rein akhirnya.
Harus ada seseorang yang menyudahi. Kalau tidak, bukannya berangkat yang ada mereka akan terus disana sampai lumutan.
Harus gercep.
"Ayo."
Kalimat tersebut makin buat imajinasi buruk Rein traveling kemana-mana. Yang jelas Rein merasa ada yang salah.
Saat dalam mobil, Rein dan Meri duduk di bangku belakang. Radit yang tidak ingin rencananya gagal harus rela jadi sopir pribadi.
Memang ya, rencana dan perjuangan itu butuh pengorbanan.
Untuk mengurangi tingkat kejanggalan, Radit sempat memprotes. Biar natural gitu.
"Kalian mau kemana?" tanya Radit.
Bagus, sekarang Radit sang CEO benar-benar terlihat seperti sopir sungguhan. Bedanya Radit memakai kata 'kalian' bukan 'mbak' ataupun 'nona.'
"Perusahaan Sanjaya Corp, untuk Rein Aletta Corp."
Rein hanya diam dan memperhatikan, gak niat melakukan apapun. Keterdiaman Rein tertutup oleh gerak-gerik Radit.
Ini presdir kesambet apa mau merepotkan diri nganterin mereka?
"Kalian pasti sibuk. Oh Rein, setelah dari kantor kau ingin pergi kemana?"
Ramah, bakat Radit bukan sekedar buat kesal tapi bercengkrama ringan. Gak seperti Redis yang apa-apa formal mulu.
"Tidak kemanapun."
Wah, itu doang toh?
Rein tak bersikap diluar hal yang ia pikir. Bahkan untuk cuek sekalipun. Ia ilfeel ke Radit, ya sudah perlakukan buruk saja.
Perut Rein disenggol Meri, pura-puranya sih memperbaiki letak duduk.
"Sssttt Rein, kamu kok cuek banget?"
Done, masih bisik-bisik. Interaksi keduanya tak lepas dari pengamatan Radit. Dasar perempuan tanggung.
"Aku lagi penelitian. Sudah, jangan banyak bicara."
Tanpa Rein dan Meri tahu, interaksi keduanya buat Radit tersenyum. Bukan apa-apa, Radit hanya ngerasa lihat sesuatu yang lucu dan unik.
Hiburan.
"Cuek banget sih Rein. Kamu kesal ya aku gak manggil kakak ipar lagi?"
Tak masuk akal. Siapa yang mau dipanggil kakak ipar?
Yang ada Rein enek. Bawaannya kepengen muntah.
"Tidak," ujar Rein singkat, padat dan jelas.
Suasana mendadak hening, Radit merasa sudah tak ada lagi yang harus ia lakukan. Cukup sampai situ dulu. Tak masalah, permainan sesungguhnya akan dimulai.
Orang pertama yang turun adalah Meri. Ia menatap Rein harap-harap cemas. Tak apa-apa Rein hanya berdua dengan Radit?
Parno, iya!
Radit adalah orang asing yang tiba-tiba bersikap baik, patut dicurigai. Kalau bukan ada udang dibalik batu mau ngapain coba?
Rein kan calon kakak ipar, yang Rein bilang Radit dan Redis gak akrab.
"Hati-hati, kalau dia macam-macam tendang alat vitalnya."
Meri berkedip sebentar. Itu adalah jurus ampuh untuk para lelaki nakal.
Rein ngangguk. Easy kok.
"Santai, aku bukan penculik nona-nona. Jangan berdrama seperti ini," celutuk Radit.
Kedua orang itu jelas tak sadar kalau interaksi mereka tertangkap penuh oleh inderanya.
Oke, Meri tak harus terlihat buruk, ia berdehem sebentar kemudian tersenyum ramah.
"Terima kasih atas tumpangannya Pak. Permisi."
"Sama-sama," jawab Radit.
Tak lupa tersenyum yang semakin buat wajah tampan seorang Radit Samira bersinar.
Dalam mobil.
"Rein, kau menyukai kak Redis?"
Rein yang dapat pertanyaan tersebut mengerjap lamat-lamat. Gak masalah juga sih, yang harus ia lakukan tinggal jawab.
Tak boleh dibawa sulit.
"Bukan urusanmu," seloroh Rein.
Aish, ternyata tak semudah yang ia pikir, harus pakai taktik nih.
"Ck kakak ipar. Aku cuman nanya lho, jawaban kakak ipar kok cuek terus, benci aku toh?"
"Tuh tahu," gumam Rein dalam hati.
Masih hangat yang terjadi antara keduanya. Radit adalah orang yang menyebalkan.
"Maaf, tapi memang beginilah aku. Tidak terlalu ramah dengan orang yang baru dikenal."
Pada akhirnya Rein berucap. Alasan ia cukup masuk akal.
"Kalau begitu kita jadi teman. Bagaimana, mau tidak?"
"Kau merencanakan sesuatu?" tanya Rein.
Langsung to the point. Sadari tadi ia tahan, sekaranglah saatnya.
Radit tersentak. Oh, ia langsung dapat tanda gawat darurat. Wow.
"Why, menurutmu aku buruk. Aku kan bersikap biasa, wajar keluarga itu akrab?"
Pertanyaan Rein dibalas Radit pertanyaan pula. Radit pikir Rein tak terlalu bisa mengendalikan dirinya. Terkesan ceplas-ceplos. Cepat terpancing dan terseret arus keadaan.
Bukan arus listrik dan air...
Cobalah pahamin diksi unik terkesan anehnya author.
Oke, kembali ke Rein dan Radit.
"Lupakan, aku hanya kurang terbiasa ke orang baru yang tiba-tiba ingin ngajak berteman. Padahal tanpa harus diajak pun, kalau sudah benar-benar berkeluarga, hubungan akan berjalan sebagaimana mestinya. Ngalur."
Rein memutar mata malas, kentara benget sih rencana buruknya Radit.
"Eh jangan salah kakak ipar, bukan, maksudku Rein. Ada banyak hubungan keluarga yang tidak normal. Mereka saling benci satu sama lain"
"Kayak gak asing. Jadi tuan Radit, biar ku tebak. Hubungan Anda dengan keluarga tuan Redis kurang baik?" Rein bertanya to the point.
Biasanya orang yang tiba-tiba bicara begitu mengalami hal yang ia ucapkan. Sebatas perkiraan, namun yang ada dalam pikiran Rein adalah ikut memancing.
Semua yang ia lakukan adalah proses.
Proses yang sama-sama ingin menjebak. Kedua orang tersebut berperang dingin. Jangan kira Rein tak tahu maksud tersembunyi Radit.
Oh begini, Radit sontak datar. Apa-apaan, dia tak mungkin kalah.
Kalah saat posisinya bahkan sangat beruntung.
Korban tak bisa membalik keadaan begitu mudah.
Untuk itu, lihat yang akan Radit Samira perbuat. Kesempatan ini adalah milik Radit, bukan Rein.
Orang lain itu hanyalah perempuan malang yang terjepit keadaan. Terpaksa masuk ke hidup keluarga Sanjaya. Dari sanalah justru hal buruk mulai.
Apa yang bisa Rein harapkan dari Redis yang gila kerja?
Tak ada!
"Now, looked me, Rein!" batin Radit, ia ia siap membalas.
'Yang akan menyesal dan kalah itu, Anda, Rein yang malang!'
*****