Jeon Jung Ki mendengar kalimat menenangkan hatinya dengan suara berat dan masuk ke dalam indra pendengarannya sangat ramah.
"Maaf, Kak." Jung Ki tahu seberapa berat yang Tae Woo alami sejak mereka mulai dekat dan Jung Ki mau menerima pria sempurna seperti Tae Woo. "Aku tahu kau kesulitan dengan hubungan ini, tapi begitu banyak masalah yang ada di sekelilingku membuat ku sadar jika hubungan ini ada maka akan lebih banyak masalah terus datang."
Tangan kecil milik Jung Ki menatap ponsel yang ada di genggaman tangannya, Jung Ki menghela nafasnya berat. "Ada begitu banyak cara untuk bahagia, Kak. Jika memang dengan cara seperti ini aku hanya bisa memberinya, kau hanya butuh menunggu."
Jung Ki memilih berjalan menjauh menuju tempatnya, kembali bekerja setelah selesai makan malam bersama Ji Min. Pria itu menunggu dengan sabar sebagaimana Jung Ki datang menuju Ji Min dengan beberapa note oesnaan pelanggannya.
"Lima kopi hangat dengan kafein rendah," ucap Ji Min meminta Jung Ki untuk menyiapkannya. "Aku akan membuatkannya, Kak." Ji Min menganggukkan kepalanya pelan setelah berhasil mengatakan semua pesanan baru dan menunggu beberapa lagi.
"Kau baik-baik saja?"
"Siapa yang kau telfon?" tanya Ji Min saat melihat pergerakan hati-hati Jung Ki sesaat setelah mereka selesai makan malam dan memilih menghubungi seseorang. "Bukan urusanmu, Kak. Itu privasiku," jawab Jung Ki membuat Ji Min merasa sedikit tidak sopan dan tertawa canggung mendengar jawabannya.
"Apa kau memiliki pacar? Kau semakin sibuk dan menelfon seseorang setiap selesai makan malam. Makan siang atau makan malam aku bisa membiasakan diri melihatmu, tapi mengerti seberapa kau melakukannya terlalu sering dan baisa. Aku hanya ingin tahu," minta Ji Min tidak memaksa tadi pria itu secara halus hanya ingin tahu sejauh apa hubungan antara Jung Ki dengan seseorang yang menelfon atau yang ditelfonnya.
"Itu privasi, Kak." Lagi-lagi Jung Ki memilih menjawabnya jauh lebih menyenangkan dari sebelumnya jika pria itu juga tahu caranya memperlakukan dengan baik. "Jung Ki, kita berteman sudah cukup lama. Dan sudah sangat lama juga aku mengenalmu, apa harus seasing itu untukku tahu siapa kau dan bagaimana hidupmu?"
"Karena itu lah aku berusaha menjelaskan jika semua itu tidak seharusnya kau tahu, Kak. Aku jika tidak pernah ingin tahu dimana kau tinggal, dan untuk apa saja uang gajianmu selama lima tahun bekerja bersamamu," ucap Jung Ki dengan lantang karena dia berhasil menyelesaikan ucapannya berbicara dengan lancar sepanjang dia berbicara terlalu panjang untuk pertama kalinya.
"Itu karena kau tidak bertanya padaku," aku Ji Min kesal sebab Jung Ki sendiri yang tidak bertanya soal dirinya terlalu jauh sampai-sampai Ji Min juga merasa tidak terlalu dekat dengan lria lebih muda darinya itu. "Aku tidak bertanya karena aku tahu jika infomasi privasi seperti itu tidak seharusnya aku tanyakan."
"Singkatnya seperti itu saja, Kak." Jung Ki mendorong kelima pesanan pelanggan itu, dan memberikannya pada Ji Min untuk menyelesai pesanan pelanggannya guna membungkam mulut cerewet pria lebih muda dari Jung Ki namun lebih pendek darinya.
"Cintai pekerjaanmu, Jung Ki. Nyamankan rekan kerjamu juga Jika kau tidak bisa melakukannya, kau tidak akan pernah memiliki uang untuk hidup, bukankah roda kehidupan memang seperti itu?" tanya Jung Ki seraya membalikkan tubuhnya sebab pria itu harus bersih-bersih sedikit dengan peralatan yang dia pakai untuk membuat begitu banyak pesanan untuk hari ini. Ji Min datang lagi, kali ini lebih serius.
"Haruskah ku tutup saja sekarang, Jung Ki?" tanya Ji Min dibalik punggung Jung Ki dimana dia sedang mencuci peralatannya tanpa suara. "Masih ada dua menit lagi, jadi ku rasa, tunggulah sebentar lagi, Kak." Jung Ki masih sibuk membersihkan beberapa peralatan yang dia pakai, Ji Min memilih mengambil lap untuk membersihkan meja yang setidaknya ada satu noda tetesan pada area meja atau bahkan mengepelnya dengan asal untuk malam ini.
"Aku akan menutupnya," ucap Ji Min saat dia baru saja akan memulai membersihkan beberapa meja dan juga mengepel lantai, Jung Ki menjawab dengan deheman dan suara kecil.
Limabelas menit lebih menyelesaikan pekerjaan mereka masing-masing, baik Jung Ki atau Ji Min keduanya mulai mengistirahatkan tubuhnya walau duduk.
"Ayo pulang," ajak Ji Min saat keduanya mencopot celemek yang mereka gunakan masing-masing membuat Jung Ki mengelap keringat di dahinya sebentar. "Terimakasih atas kerjasamanya, Kak Ji Min." Jung Ki mengatakan hal yang sama pada Ji Min bahkan saat hari ini mereka sedikit ada salah paham kecil.
"Ya, terimakasih juga atas kerja kerasmu, Jung Ki." Mereka mulai saling tersenyum dan mengambil tas mereka masing-masing untuk pulang. "Kuncinya siapa yang memegangnya hari ini?" tanya Ji Min memulai saat keduanya sudah mematikan lampu dan menutup caffe tempatnya bekerja berdua saja.
"Aku akan memegang satu cadangannya, aku tidak yakin jika besok bisa berangkat lebih awal, Kak." Tangan putih bersih milik Jung Ki menengadah meminta kunci cadangan caffe tempatnya bekerja jika saja suatu masalah benar-benar terjadi tanpa dia inginkan.
"Pukul delapan, jangan begadang dan langsung pulang, Jung Ki." Ji Min memberi sedikit arahan pada rekan kerjanya jika dia tidak bisa membuat pelanggan menunggu tanpa Jung Ki, si barista caffe tempatnya bekerja atau mungkin sebaliknya.
Jung Ki juga bukan pelayan caffe yang ramah dan baik yang bisa berbicara dengan sopan pada setiap pelanggannya atau banyak bicra hal manis.
Pria itu memang manis, tapi bodoh juga jika harus bersikap manis pada orang lain. "Aku akan mengusahakannya, Kak." Ji Min menganggukkan kepalanya, dia mengambil sepedanya dimana dia memilih menggoes ke arah jalan jalur sepeda untuk cepat sampai ke rumahnya.
"Aku pamit, jaga dirimu sampai di rumah, Jung Ki!" Ji Min menghilang setelah berteriak diperempatan jalan, Jung Ki terkekeh begitu menyadari jika pria itu sangat beruntung memiliki rekan kerja semanis Ji Min.
Sebab, selama lima tahun bekerja bersama juga Ji Min terlalu ikut campur dan kekeh dalam pendirinya bertanya tanpa menerobos masuk.
Pria itu tahu sopan, walaupun terkadang tidak dengan aoa yang sebenarnya terjadi. Setidaknya tiga tahun terakhir ini mereka mulai terbuka, dan sedikit-sedikit ini Jung Ki mulai berbicara banyak hal walaupun bukan soal keluarga dan hubungannya.
"Terimakasih Kak Ji Min." Jung Ki memilih menaikan masker wajahnya dan menaikkan juga penutup kepala pada jaketnya untuk berjalan berlawanan arah untuk pulang ke rumah paman dari ibunya.
"Aku harus pulang cepat, setidaknya agar aku bisa tidur lebih awal atau agar aku bisa tidur dengan nyenyak malam ini." Langkah kakinya mulai melebar dan beejalan cepat walaupun malam hari ini tidak hanya dirinya saja yang baru saja pulang bekerja atau mengakhiri pekerjaannya.
"Kau dimana sekarang?" tanya seseorang dari panggilan telefon sepupu laki-lakinya sebab pria itu baru saja menjauh dari tempat bekerjanya. Jung Ki memelankan langkahnya sebab dia tidak bisa terlalu lama memelankannya. "Ada apa, Kak?" tanya Jung Ki sedikit memelankan langkahnya siapa tahu jika pria itu juga membutuhkan bantuan untuk membeli seusatu karena Jung Ki masih di perjalanan pulang.
"Jika ada masalah besok, tolong jangan ikut menyudutkanku untuk kali ini," ucapanya membuat Jung Ki menyatukan alisnya bingung sebab dia tidak tahu bagaimana harus mengatakannya lebih jelas. "Apa kau pergi minum lagi, hari ini?" tanya Jung Ki mempertanyakannya jika pria itu baru saja membuat masalah dengan teman-temannya atau bahkan pada ayahnya sendiri.
Paman Jung Ki terlalu baik, tapi setidaknya tidak dengan anak laki-lakinya yang keterlaluan berengsek atau anonim dari itu sebaliknya. "Itu bukan urusanmu, Jung Ki."
"Setidaknya aku hanya ingin mengatakan, jika ayahku menghubungimu untuk sesuatu yang penting tolong ikuti saja."
"Setidaknya sampai kau tahu situasi dan kondisi untuk menyelesaikannya dengan aman, maka kau boleh memberiku sedikit peringatan. Kau mau membantuku kan, Jung Ki?" tanya pria itu mendesak Jung Ki untuk membantunya baik secara paksa atau tertekan pula.
"Kak, kau berlebihan. Aku bukannya akan mendapat masalah kepercayaan dari paman saja jika kau akan memberikanku sebagai umpan. Jika botol minum di kamarmu seperti minggu lalu aku bisa membantu menjelaskannya. Tapi jika kau bermain di club malam, aku tidak akan bisa membantumu," jelas Jung Ki yang sudah ketakutan lebih dulu jika dia tidak bisa melakukan apapun karena alasan dari anak laki-laki pamannya.
"Kau tinggal di rumahku, Jung Ki. Bagaimana bisa kau tidak bisa menolongku saat keluargaku yang memberimu kehidupan yang lebih nyata pada dasarnya." Jung Ki menelan ludahnya yang terasa begitu pahit. Kenyataannya terlalu memukulnya, dan siapa yang perduli juga jika itulah yang sebenarnya terjadi.
"Kak, tolong jangan bawa-bawa masalah itu juga, perusahaan yang sedang paman pegang juga milik peninggalan ayah dan ibuku. Jika tanpa perusahaan itu, aku dan kalian semua juga sudah menjadi gelandangan yang kotor, Kak." Seseorang tertawa dibalik pembicaraan serius antara Jung Ki dengan Ji Hoon.
"Lalu kau akan menyalahkan ayahku dengan kinerjanya?" tanya Ji Hoon sedikit lebih mengeraskan suaranya sebab dia membenci hal yang sama dimana Jung Ki mulai membahas perusahaan milik peninggalan keluarganya.
"Maafkan aku, Kak." Ji Hoon memutar bola matanya malas tanpa suara, namun kali ini pria itu justru melakukan hal yang lebih serius lagi kali ini.
"Tidak ada yang bisa dimaafkan, jika kau mati meledak di tempat yang sama dimana kedua orang tuamu juga meninggal, seharusnya juga kau tidak merusak keluargaku dan mengambil ayahku, Jeon Jung Ki." Ji Hoon terlihat sangat marah sebab Jung Ki tahu seberapa baik pamannya terhadapnya, tanpa dia sadari juga sebenarnya dia juga sangat merepotkan siapa saja walaupun orang-orang yang bermaksud baik padanya tapi tidak semua dengan orang-orang yang membenci sebab Jung Ki mendapatkan bantunnya.
"Maafkan aku, kak Ji Hoon. Apa yang harus ku lakukan untuk menebus kesalahanku hari ini?" tanya Jung Ki terlihat sangat merasa bersalah walaupun setiap beberapa kali Park Ji Hoon anak pamannya membhat masalah, Jung Ki juga harus membuat kesalahan yang lebih fatal agar kemarahan pamannya teralihkan dari memarahi Ji Hoon berakhir mengkhawatirkan atau marah pada Jung Ki.
"Jangan pulang malam ini sampai besok," ucao Ji Hoon memberikan sanksi tegas pada Jung Ki bahkan saat dirinya sendiri yang membuat masalah karena ketahuan mabuk di club malam bersama teman-temannya. "Jika aku tidak pulang--"
"Tidurlah dimanapun, aku tidak perduli." Ji Hoon memutuskan sambungan telefonnya secaa sepihak membuat Jung Ki merasa tertekan. Dia membuka pengait masker penutup wajahnya karena frustasi.
"Apa aku harus mengandalkanmu kali ini?" tanya Jung Ki pada barang yang dia pegang setelah dia keluarkan dari saku celananya.