Sangat sulit bisa mencintai Kim Jung Ki bahkan untuk nalarnya saja Kim Tae Woo sama sekali tidak yakin jika dia akan berhasil melakukan apa yang dia inginkan sampai akhir.
Menua bersama dengan pria yang dia cintai atau bahkan lebih dari itu. Pria yang selalu menemaninya setiap malam, sebelum tidur cukup larut dan mulai bertemu setiap hari karena Kim Tae Woo hanya bisa melakukan hal yang sama.
Seseorang pasti akan jengah, Kim Tae Woo mendekati Jeon Jung Ki dua tahun lebih, pria itu menerima cinta Kim Tae Woo juga baru satu tahun terakhir.
Hanya saja Kim Tae Woo sedikit lelah, bukan bosan, Tae Woo tidak bisa bosan pada cintanya. Pria itu terlihat sangat mencintai Kim Tae Woo, memang. Hanya saja yang membuat Tae Woo sedikit lelah gaya berpacaran yang Jeon Jung Ki inginkan.
Tae Woo tidak bisa melakukan apa yang hanya Jeon Jung Ki lakukan saja. Satu tahu sudah terlalu melelahkan jika hanya bertemu setiap Tae Woo datang ke tempat kerjanya, menemani sebentar, mulai menelfon dan membalas pesan setiap malam hanya sebentar dan sebelum tidur.
"Dimana dia?" tanya Tae Woo yang melihat ponslenya saat jam sudah mulai memperlihatkan jika sekarang pukul dua pagi, tapi prianya masih tetap tidak mengabarinya sama sekali.
"Apa dia dalam masalah?" tanya Tae Woo lagi saat dia tidak mendalat panggilan atau setidaknya pesan dari pacarnya.
Tae Woo menghela nafasnya berat, pekerjaannya sudah selesai dari pukul satu tadi, dia sengaja belum tidur karena ingin berbicara dengan Jeon Jung Ki hari ini.
Sedikit peedebatan sejak tadi siang dan setelah makan malam tadi membuat Tse Woo merasa Jung Ki sedikit mendapat masalah.
Sebenarnya pertengkaran seperti ini sudah seirng terjadi, Tae Woo yang beberapakali mengatakan jika dia tidak akan selamanya bertahan debgan keegoisan Jung Ki. Namun biasanya setelah berdebatan itu, pembicaraan makan malam sudah menjadi biasa, tidak ada marah sama sekali.
Berbeda dengan malam ini yang terlihat lebih sunyi. Makan malam terjadi perdebatan, dan pagi ini masih belum mendapat pesan dari Jeon Jung Ki.
(Kau dimana? Apa belum pulang dari tempat kerjamu?)
(Jawab pesanku, aku bisa mengantarmu karena sekarang kau sudah selesai bekerja kan?)
Tae Woo mengirim pesan pada Jung Ki sebab dia benar-benar tidak merasa dia butuh, hanya saja beberapa dari rasa khawatir Tae Woo terkadang berlebihan.
Drtt....
Getar ponsel dari Tae Woo mulai mengalihkan perhatian pria itu, Tae Woo mendapat balasan dari Jung Ki secara beruntun.
(Maaf baru membalas pesanmu, Kak Tae Woo. Aku baru saja sampai rumah, dan aku baru selesai mandi.)
(Bisa bicara besok saja? Aku kelelahan, dan sangat mengantuk juga. Terimakasih makan malamnya, Kak Tae Woo.)
(Selamat malam, mimpi indah untuk Kak Tae Woo dariku. Ayo sama-sama mengistirahatkan tubuh kita, Kak. Aku tahu kau lelah juga.)
(Tolong jangan bergadang lagi, aku mencintaimu.)
Hanya balasan sesepele ini saja Tae Woo merasa begitu lega, setidaknya ada komunikasi, dan Jung Ki tahu benar apa yang Tae Woo butuhkan. Pria itu tersenyum pelan dan membalas pesan dari Jung Ki hanya dengan selca dirinya tanpa menggunakan baju.
[Gambar.]
(Aku akan tidur, mimpi indah sayang.)
Setidaknya Jung Ki membaca pesan terakhir dari Tae Woo, dan kali ini pria itu merasa bisa lega dan tidur dengan nyaman setelah mendapat pesan dan kabar dari Jung Ki.
Tae Woo merebahkan dirinya, dia tidur di apartemen dekat kantornya. Sengaja, bahkan luas kantor dan apartemen milik Tae Woo hanya berjalan lima menit jika berjalan kaki, menggunakan mobil hanya dengan dua menit perjalanan.
Pria itu sudah mandi, dia segar dan akan tidur. Mandi keramas pukul satu pagi adalah kesukaanya. Baru saja akan menutup matanya Tae Woo mendapat telefon dari seseorang di malam hari seperti ini.
Alis Tae Woo menyatu sempurna begitu melihat bukan Jung Ki yang menelfonnya dijam seperti ini. "Ada apa ibu menelfonku?" Tae Woo terlihat bingung saat mendapat telfon dari ibunya, pria dewasa itu memilih untuk mengabaikan panggilan dari ibunya dan membiarkan panggilannya mati dengan sendirinya.
Tangan Tae Woo mengambil ponselnya begitu ibunya tidak menelfonnya, tangannya bergerak cepat untuk menelfon sepupunya kali ini. Tae Woo tidak perduli jika dia mengganggu waktu istirahat Hoo Sik. Tae Woo sama sekali tidak perduli.
"Hallo?" sapa Tae Woo saat panggilannya langsung dijawab oleh Hoo Sik dengan cepat. "Ada apa? Kau menggangu jam istirahatku, Tae Woo." Pria tadi memutar bola matanya malas.
"Dimana sekarang kau kak?" tanya Tae Woo sebab dia ingin memastikan jika Hoo Sik bukanlah orang yang sama yang mengadu pada ibunya jika dia tidak pulang hari ini.
"Di rumahmu," jawab Hoo Sik mengatakan pada Tae Woo sedang sedikit menguap karena dia baru saja akan tertidur dengan nyaman di kamarnya.
"Dimana kau?" tanya balik Hoo Sik sebab dia belum mendengar pintu kamar sampingnya terdengar terbuka. "Apartemen," jawba Tae Woo singkat membuat Hoo Sik menghela nafasnya berat.
"Ada apa kau menelfonku malam-malam seperti ini?" tanya sadar Hoo Sik karena Tae Woo tidak biasanya menelfonnya pukul dua pagi.
"Ibu menelfonku," ucap Tae Woo mengatakan kenala dia menelfon Hoo Sik. "Lalu?"
"Kau mengadu pada ibu jika aku tidak pulang hari ini?" tanya Tae Woo langsung mengatakan lada Hoo Sik karema sejujurnya Tae Woo sama sekalu tidak nyaman saat Hok Sik sengaja ikut campur terlalu jauh didalam masalah keluarganya.
"Itu bukan aku," jawan Hoo Sik dengan jujur yang dia bawa, namun Tae Woo terlihat tidak percaya dan tertawa kecil seakan-akan mengejeknya.
"Jika bukan kau siapa lagi, Kak? Hanya ada kau di rumahku, bagaimana bisa orang lain mengatakannya," balas Tae Woo dengan jawaban tidak bersahabat membuat Hoo Sik hanya bisa menghela nafasnya berat.
"Tae Woo dengarkan aku."
"Seharusnya kau yang mendengarkanku, Kak." Pria itu sepertinya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja, dan Hoo Sik hanya bisa menjelaskan sejelas-jelasnya jika dia tidak bermaksud untuk itu.
"Tae Woo, mau sampai kapan kau selalu menuduhku yang tidak-tidak?" tanya balik Hoo Sik sebab dia tidak butuh semua itu. "Aku tidak menuduhmu," jawab Tae Woo ingin membela dirinya sendiri dnegan semua yang dia miliki.
"Lalu sekarang?"
"Bukankah itu kau?" tanya balik Tae Woo membuat Hoo Sik merasa terbebani dengan tuduhan Tae Woo tanpa bukti. "Aku langsung masuk kamarku tadi, dan aku tidak melihat ada bibi di ruang tamu atau di rumah keluarga."
"Aku tidak tahu ibumu tahu jika kau tidak pulang, walaupun pada kenyataannya kau memang selalu tidur di apartemen sejak tiga tahun yang lalu, itu bukan alasan apakah aku yang mengatakannya."
"Ibumu tahu putranya tidak pulang, dan ibumu menelfonmu juga itu hal yang wajar. Bibi mengkhawatirkanmu, Tae Woo." Tae Woo memutar bola matanya malas mendengar penjelasan dari Hoo Sik sebab dia tidak begitu perduli dengan suaranya juga.
"Ku kira kau di sana sudah cukup, apa aku harus pulang juga?" tanya balik Tae Woo pada Hoo Sik membuat pria lebih dewasa dari Tae Woo terlihat kebingungan. "Apa maksudmu?"
"Lupakan saja," jawab Tae Woo tidak memperjelas maksud dan tujuan dia mengatakannya. "Aku tidak akan pulang," jawab Tae Woo mengatakan pada Hoo Sik jika dia tidak akan pulang ke rumah dalam waktu dekat atau memang dia sudah nyaman.
"Kenapa kau mengatakan padaku?" bingung Hoo Sik sebab pria itu justru mengatakan padanya mengenai keinginannya. "Tolong katakan pada ibuku jika kau tidak akan pulang," sambung Tae Woo mengulang ucapannya sebab dia tidak begitu yakin dengan tujuannya.
"Bukankah kau mengatakan padaku jika ibumu menelfon? Kenapa tidak kau sendiri saja yang mengantakan pada ibumu?"
"Aku sibuk, dan sedang tidak ingin berbicara dengan ibu juga." Hoo Sik memutar bola matanya malas, pria itu sama sekali tidak ingin ikut campur dengan keluarga adik dari ibunya. Namun secara tidak langsung Tae Woo sendiri yang menarik paksa Hoo Sik untuk melakukan itu dengan hasil akhir yang sama jika Tae Woo benci ibunya lebih percaya dan bangga kepada Hoo Sik daripada dirinya.
"Lalu aku harus apa?" tanya balik Hoo Sik tidak ingin disalahkan lagi oleh adik sepupu laki-lakinga kali ini. "Katakan saja seperti itu," paksa Tae Woebuat Hoo Sik lagi-lagi terdesak.
"Katakan pada ibu untuk jangan menelfonku juga, dia menggangguku." Sambungan telefon Tae Woo dengan Hoo Sik terputus. Pelakunya adalah Tae Woo, pria itu memutuskan sambungannya sepihak.
(Kau itu anak laki-lakinya, kenapa kau bisa mengatakan tentang orang tuamu padaku? Itu tidak baik, Tae Woo.)
Hoo Sik mengirimi Tae Woo pesan tertulis melalui ponsel, Tae Woo membacanya langsung tanpa niat ingin membalasnya.
"Kau tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk, Kak. Jadi jangan sok menasihatiku," balas Tae Woo dengan bicara, pria itu memilih mengabaikan pesan dan panggilan masuk dari ibunya dan memilih tidur.
Tidak ada Jung Hoo Sik, tidak ada Jeon Jung Ki, tidak ada Kim Tae Woo. Pria itu hari ini hanya ingin tidur nyanyak dengan caranya sendiri.
"Mimpi indah Tae Woo, kau hanya butuh istirahat untuk menjalani harimu yang lebih berat dari kemarin untuk besok."
"Ayo istirahat dan bekerja keraslah esok hari." Tae Woo mengambil susu hangat miliknya yang hampir mendingin, pria itu sudah terbiasa meminum susu sebelum tidur satu gelas, dan meminum air mineral satu gelas juga.
Selesai dengan rutinitas sebelum tidurnya Tae Woo memilih mengistirahatkan malam harinya. Walaupun dia butuh waktu setidaknya lima sampai tujuh jam untuk beristiahat pria itu sangat menikmati hari-hari sibuknya.
Tae Woo semakin bertanggung jawab dan bersemangat semenjak menjadi satu sama lain pemilik dengan Jung Ki. Hidupnya lebih berwarna walaupun dirinya dengan ibunya sama sekali tidak akur.
Keesokan harinya Tae Woo terbangun dengan wajah yang sangat segar, ponselnya bergetar karena seseorang mengiriminya spam beberapa kali.
Tae Woo berniat mengambilnya, pria itu sedikit merenggangkan tubuhnya setelah tidur. Melihat pesan itu bukan dari Jung Ki Tae Woo hanya menatapnya malas.
Tangannya tetap membuka pesan itu walaupun terasa sangat berat.
/Apa-apaan kau Kim Tae Woo!!!/
/Pulang dan tidurlah di rumah atau apartemen milikmu di samping perusahaan ayahmu akan ibu robohkan besoknya./
/Ngomong-ngomong soal ibu yang tidak boleh menghubungimu, aku ibumu dan kau anakku. Jadi tarik ucapanmu sebelum kau menyesal, Kim Tae Woo./
Pria itu hanya bisa memutar bola matanya malas tanpa bicara. "Ibu tidak tahu saja jika dilahirkan juga bisa membuat seseorang merasa sangat menyesal."