Chapter 3 - 3. Pria Aneh

'Oke. Aku tidak peduli pada pria gila ini. Yang terpenting sekarang: aku harus keluar dari sini. Aku takut dia akan melakukan hal buruk padaku. Otaknya pasti sudah rusak!' Pikir Grace.

"Ba-baiklah." Gadis itu mengangguk. Lalu ia menunjuk pintu yang tadi digunakan pria gila itu untuk masuk. "Ini benar pintu keluar, 'kan?"

Pria itu mengangguk, "Ya. Itu pintu menuju ke hutan."

Grace tersenyum kecut. Hutan apanya? Rumah ini berada di kawasan pantai kota yang tidak ada hutannya sama sekali.

Lalu dengan cepat, Grace mengambil langkah dan membuka pintu tersebut.

"Hei! Apa kau gila..!?" Bentak pria itu. Namun, ia segera terhenti dan tubuhnya mematung, layaknya si gadis kurang ajar yang juga tengah membatu bagai baru saja melihat kedua mata Medusa.

Grace memutar tubuhnya untuk menatap pria yang dari tadi bicara ngelantur. Tangannya menunjuk lemah pada apa yang ada di balik pintu yang sekarang telah terbuka, berusaha mengkonfirmasi pada pria itu bahwa ia juga menyaksikan hal yang sama.

Mereka tidak percaya pada apa yang mereka lihat. Di balik pintu tersebut hanya ada dinding bata. Ya, itu adalah dinding yang ditempeli pintu. Tidak ada ruangan, apa lagi hutan. Hanya tumpukan bata merah yang disemen menjadi sebuah tembok. Itu terlihat seperti pintu lelucon.

"Ba-bagaimana bisa?" Gumam Grace sambil meraba dinding bata tersebut.

"Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba ada dinding di sini?!" Pria itu juga langsung menghampiri pintunya.

Mereka berdua mendorong-dorong dinding tersebut dan bahkan berusaha mengetuknya. Namun, itu adalah dinding sungguhan yang sangat kuat.

Grace tidak mengerti. Jelas-jelas pria itu keluar dari pintu ini. Meski pandangannya sempat kabur, Grace cukup waras untuk bisa melihatnya benar-benar muncul melalui pintu yang sama. Ini adalah pintu yang tadi diketuk-ketuk dari luar!

"Kau!" Pria aneh itu langsung menunjuk Grace. "Apa kau penyihir?!"

"Apa?! Maaf, Tuan, tapi mana mungkin aku penyihir?!" Sahut Grace. Lalu ia memegangi kepalanya. "Astaga… apa akulah yang sudah gila? Apa kepalaku terbentur dan sarafku ada yang putus?" gumamnya.

"Kau sangat tidak bermartabat. Aku benar-benar akan menjatuhkan hukuman untukmu dan keluargamu." Ucap pria itu geram.

Grace hanya menatapnya tidak percaya. Namun, ia tidak menggubris pria itu lagi, lalu berbalik untuk mencari jalan keluar.

"Hei! Mau ke mana kau?" Pria itu mengikuti Grace.

"Tentu saja keluar dari sini," Jawab Grace. Namun ia sangat kesulitan karena kakinya yang terluka seakan mustahil untuk melangkah dan terasa amat sakit.

Pria itu menatap Grace dari belakang. Ia melihat kaki gadis itu yang terus mengeluarkan darah. Karenanya, ia menjadi merasa kasihan padanya.

'Jika ia benar seorang penyihir, seharusnya ia bisa menyembuhkan kakinya sendiri. Tapi kenapa itu tidak ia lakukan? Haruskah aku membantunya?'  Pikir pria itu.

Grace tidak tahan lagi. Begitu kakinya melangkah lebih banyak, ia merasa seakan tulangnya semakin bergeser hingga ia langsung terhuyung kehilangan keseimbangan. "Hua!"

Kedua mata Grace mengerjap beberapa kali. Ia tidak jadi terjatuh karena seseorang menahan tubuhnya. Ya, pria itu. Ia tengah memegangi lengan dan pinggangnya.

Grace menoleh dan matanya seketika bertemu dengan sepasang manik biru kristal yang bersinar di dalam bingkai teduh dan tegas, seakan tatapan itu menyihirnya untuk menjadi lumpuh.

"Kakimu terluka parah. Aku akan membantumu keluar dari sini," Suara baritone dan dalam pria itu sungguh menggetarkan jantung Grace. Ia hanya bisa mengangguk tanpa sadar.

Pria itu menoleh ke sana ke mari, menyisir setiap sudut ruangan bobrok itu hingga matanya menemukan sebuah pintu reot yang terbuat dari kayu yang terhalang oleh sebuah meja teh.

Ia melepas Grace perlahan, lalu melangkah ke depan pintu tersebut dan mendorong meja tehnya. Kemudian, ia membuka pintu itu dan tersenyum. "Ini adalah tangga,"

Kedua alis Grace terangkat. "Benarkah? Berarti itu adalah jalan keluar. Pintu keluarnya ada di atas,"

"Baiklah. Ayo kita cepat naik," Pria itu menghampiri Grace dengan wajah sumeringah. Lalu ia menyadari bahwa tidak seharusnya ia bersikap sesantai ini pada gadis asing yang baru saja ia temui. Ia bahkan masih mencurigainya sebagai seorang penyihir.

Pria itu menatap wajah lembut yang berada di bawah lehernya. Kedua mata coklat hazel itu entah mengapa bagai menghipnotisnya selama dua detik meski mereka tengah berada di ruangan dengan cahaya minim. Ia segera mengerjap untuk mengembalikan kesadarannya.

"Permisi," Ucapnya sebagai ijin untuk membopoh gadis itu, karena ia harus menghormati wanita dan tidak sembarangan menyentuh mereka - siapa pun itu.

"Tidak apa," Jawab Grace pelan.

Ternyata benar. Meski terlihat sangat suram dan benar-benar kotor, tangga itu adalah jalan keluar dari ruang bawah tanah itu. Tangga tersebut mengarah ke lantai atas, melalui dapur, lalu ke aula mansion, di mana pintu utama berada.

"Ah... Syukurlah... Kita selamat. Itu pintu keluarnya," Grace menunjuk sepasang pintu besar tertutup yang memiliki ukiran-ukiran rumit. Cahaya matahari menembus celah-celah retakan pintu tersebut.

"Aku tidak yakin kita bisa keluar sekarang. Mungkin saja serigalanya sudah sampai ke atas. Aku kehilangan pedangku saat melawan mereka, jadi akan cukup sulit untuk melindungi kita berdua," Ucap pria itu.

Grace berdehem. "Jalan ke atas sini sangat sulit. Tidak mungkin mereka sudah naik." Jelasnya dengan senyum kecut.

'Cara menghadapi orang gila adalah dengan berpura-pura gila.' Ucapnya dalam hati.

Lalu mereka melangkah menuju pintu tersebut dan membukanya. Angin laut seketika bertiup kencang menerbangkan rambut panjang Grace. Sementara, pria yang masih memeganginya, kini tertegun diam.

"Itu mobilku. Aku baru ingat sepertinya aku meninggalkan ponselku di dalamnya," Grace menunjuk mobil yang terparkir di pinggir jalan.

"Tu-tunggu dulu!" Pria itu tidak mau melangkah.

Wajah Grace kembali melemah seakan nasibnya buruk sekali. Apa lagi yang salah dengan pria ini?

"Ini tidak benar… Ini... di mana?" Tanya pria itu dengan setengah bergumam sambil mengamati sekeliling. Perlahan, ia melepaskan gadis yang sedang ia bopoh.

"Tuan, tunggu sebentar. Kau harus tenang..." Ucap Grace perlahan-lahan.

Pria itu langsung menatap Grace dengan kening mengkerut. "Ini di mana? Kau membawaku ke mana?"

"Aku tidak membawamu ke mana-mana. Kita ada di Kota Dorbern. Kau harus tenang. Aku akan mencari bantuan, oke? Percayalah padaku,"

Pria itu menatap Grace dalam-dalam - pada kedua manik coklat hazelnya yang meneduhkan. Entah mengapa, itu membuat rasa cemasnya perlahan sirna.

Akhirnya pria itu mengangguk. "Baiklah. Tolong segera cari bantuan. Aku harus kembali ke istana secepatnya."

"Te-tentu. Jangan khawatir," Jawab Grace. "Sekarang, aku minta tolong padamu untuk membantuku berjalan sampai ke mobil. Yang ada di sana," Ia menunjuk mobilnya lagi.

"Mobil? Benda itu bernama mobil?"

Grace mengangguk dengan senyum tipis terpaksa. "Benar. Tolong bawa aku ke sana. Oke?"

Kening masih mengkerut dan mata terus memperhatikan sekeliling, pria itu kembali membopoh Grace menuju sebuah benda besar aneh yang bernama mobil.

Sampai di depan pintu mobil, Grace segera membuka pintunya dan menyambar ponselnya yang benar tertinggal di kursi penumpang. Cepat-cepat, ia menghubungi ambulans. Ia mengatakan bahwa kakinya patah dan juga menginformasikan lokasinya saat ini.

Setelah menutup panggilan, Grace melirik pria yang masih berdiri di depannya. Pria itu terus memperhatikan sekitar, seakan ia adalah warga asing yang diterlantarkan di sebuah negara yang tidak ia kenal tanpa sepeser pun uang. Namun, satu hal yang Grace kembali sadari lebih jelas adalah pria itu memiliki ketampanan di luar nalar.

"Apa yang kau lakukan? Kapan kita meminta bantuan? Kenapa tempat ini aneh sekali?" Tanya pria itu tiba-tiba.