Chereads / Rumit (satu pria dua wanita) / Chapter 16 - Bab. 16. Manfaat yang Sudah Dimangsa

Chapter 16 - Bab. 16. Manfaat yang Sudah Dimangsa

Pagi-pagi sekali, seperti biasa, Jimi dan teman-temannya bersiap untuk berangkat kerja. Namun, yang beda kali ini adalah seringai di wajah Jimi. Dia tampan lebih semangat, lebih ceria dan juga lebih berseri dari kemarin.

Ternyata, yang membuatnya seperti itu karena semalam berhasil menggaet nomor Anita, perempuan cantik nan seksi yang bekerja di sebuah bar. Bahkan, wanita berambut lurus sepinggang itu sudah mengundangnya untuk datang ke bar.

Tentu saja, semua itu langsung membuat gairah sebagai lelaki over normalnya meningkat. Jimi tak mau menyia-nyiakan kesempatan berharga yang lewat di depan mata. Apa pun itu, asalkan bisa membuatnya puas lahir batin, dia sikat.

Belum lagi soal karyawan perempuan yang katanya akan masuk hari ini. Jimi kian semangat mempertampan penampilan tubuh juga rambutnya. Padahal, kalau sudah masuk dapur, tetep aja yang kecium itu aroma bawang-bawangan.

"Tumben!" sindir Ali yang baru saja selesai memakai sepatunya di teras. "Kemarin masih masam aja mukanya. E, sekarang cerah begitu. Kek udah menang lotre."

"Bisa aja, lu. Perasaan, tiap hari gue begini. Ganteng-ganteng manis!" Dengan PD-nya, Jimi menjawab sambil berdiri. Dia lebih dulu selesai memakai sepatu. "Buruan, dah."

"Sabar kali. Biasa juga datang telat lu, Bang."

"Ye, berubah dong. Masa begini terus idup. Semangat, dong. Buat gue juga tentunya!"

"Iya-iya. Ini juga udah selesai," timpal Ali sambil berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya. Lalu berseru, memberitahu temannya yang lain kalau dia akan berangkat lebih dulu.

Melesat, keduanya pun meninggalkan kontrakan. Membelah jalanan pagi, yang udaranya masih terasa begitu segar. Sekilas, Jimi seperti melihat Hani. Tetapi buru-buru dia tepis, karena tak mungkin kekasihnya itu ada di kota metropolitan.

Padahal, yang dilihatnya itu adalah nyata. Hani memang ada di kota metropolitan. Bahkan, akan bekerja di tempat yang sama dengannya di restoran Nusantara.

Sebab jarak kontrakan ke restoran dapat ditempuh dengan berjalan kaki, Hani dan teman-teman barunya itu berjalan kaki. Sekalian menghafal jalan, juga menghirup udara segar. Sementara nanti, sepulang dari restoran, mereka memutuskan untuk naik angkutan umum.

"Buat orang baru sepertiku, rasanya tetep jauh, ya?" Ada tawa di ujung bicara Hani, saat mengomentari jarak yang dikatakan teman-temannya lumayan dekat.

"Pastilah. Tapi, kalau udah biasa, rasanya deket banget, kok. Malah nggak kerasa capek sama sekali. Iya, nggak, Gaes?" tanyanya pada yang lain. Teman-temannya pun mengangguk serempak.

"Oh, iya. Emang kalian udah kerja berapa lama di sana?" Hani berjalan lebih dulu, mendahului mereka sambil melangkah mundur.

"Aku tiga tahun. Kalau Ema sama Mika baru setahun," timpal Gea, yang sedari Hani datang memang lebih banyak bicara. "Tapi, yang lebih senior lagi mah Rani, Tati sama Ira, tuh. Mereka nggak jauh beda dengan si Jimi. Betah kerja di resto sampe lebih lima tahun. Cuma, Jimi dan Ali jauh lebih beruntung karena diangkat jadi asisten koki. Pinter masak, sih soalnya."

"Wow!" Hani kembali berjalan maju, dengan menyejajarkan langkahnya dengan mereka. Pura-pura kagum, karena sudah tentu dirinya itu tahu banyak mengenai Jimi.

"Makanya, pas kemarin dia godain anak baru, ceweknya langsung kepincut. Eh, malah keluar lagi. Sayang banget padahal. Tapi salah sendiri mau-maunya diajak kencan sama laki orang. Ahaha!" timpal Ema, dengan riangnya.

"Dan, aku yakin, si Jimi bakal godain Hani!" Mika tak kalah riang saat menyambar. Membuat Hani akhirnya menangkup mulut, menahan tawa.

Mereka tak tahu, kalau dia dan Jimi sudah berhubungan layaknya suami-istri istri tanpa diketahui siapa pun.

***

Selesai meeting pagi yang isinya beberapa kalimat penyemangat dan doa bersama, koki dan asistennya yang sudah tentu menjadi salah dua penyebab melejitnya penjualan di restoran, milik seorang pengusaha bernama Wiliam ini langsung bekerja. Satu per satu dari mereka mengerjakan tugasnya masing-masing.

Jimi membersihkan ikan, sementara Ali memasukkan sayur-mayur ke dalam ruang khusus untuk penyimpanan bahan makanan.

Selesai membersihkan ikan, Jimi yang penasaran dengan karyawan baru di restoran tempatnya bekerja itu memutuskan untuk keluar barang sebentar, dengan alasan kebelet buang air besar. Lantas, begitu berjalan menuju toilet, pandangannya mengedar, melihat ke sekeliling.

"Di mana, sih? Kok, nggak kelihatan!" rutuknya, setelah sampai di toilet.

Diam sebentar agar tak dikira bohong, Jimi membasuh wajahnya sambil bercermin. Lalu menggerak-gerakkan wajahnya itu ke sisi kiri dan kanan, menilik ketampanan dengan percaya diri yang tinggi.

"Siapa pun itu, gue yakin, dia pasti kepincut sama ketampanan gue!" katanya, sambil tertawa renyah. "Tapi, gue harap sih dia perawan atau janda sekalian. Bukan gadis rasa janda."

Lebih dari lima menit dia di toilet, Jimi pun kembali keluar untuk mengintai suasana di dalam restoran yang memang belum dibuka itu. Dan, betapa terkejut dia saat mendapati Hani ada bersama teman-teman wanitanya.

"Hani?" Jimi mengucek mata. Berulang kali, karena tetap tak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. "Kok?"

"Woi!" Ali menepuk pundaknya dari belakang. Membuat Jimi seketika terperanjat kaget sambil berbalik.

"Lu!" rutuknya sambil menoyor Ali. "Jantung gue, udah mau copot sekarang berasa mau loncat."

"Dih! Kenapa?" Ali menoyor balik.

"Noh! Liat noh ke sono!" titah Jimi sambil menunjuk ke arah di mana sekumpulan cewek sedang mengobrol sambil mengelap meja bersama Ucok dan Baim.

"Itu temen-temen kita, kan? Ngapa emang?" Ali belum terpikir soal pegawai baru yang juga ada di sana.

"Iya. Gue tau! Tapi itu, loh. Cewek yang rambutnya dikuncir itu, loh. Liat nggak?*

"Oh ... itu!" tunjuk Ali. Jimi mengangguk. "Barusan gue ke sana. Katanya, dia pegawai baru yang kemarin diceritain manajer kita itu, loh. Ingat?"

"Jadi bener, dia pegawai baru di sini?"

"Iya. Ngapa, sih? Mo lu godain lagi? Dih! Gak kapok emang, bikin si Siti keluar dari sini kemarin."

*Ah, elah. Auk, dah. Kita ke dapur lagi ajalah, Li."

Jimi langsung menarik Ali, menggusur temannya itu ke dapur tanpa diketahui Hani kalau kekasihnya itu baru saja mengintip. Dalam hatinya Jimi bingung, kenapa Hani bisa kerja di sana? Kapan Hani melamar kerja? Kenapa dia nggak ada bilang? Dan, apa maksudnya melamar kerja di restoran yang sama dengannya.

Namun, karena waktu sudah memasuki jam sibuk, Jimi pun melupakan masalahnya sejenak, tanpa berniat keluar dari dapur untuk beristirahat di ruang ganti seperti biasanya. Dia belum siap bertemu Hani, tapi lebih tepatnya takut kalau sampai Hani sudah cerita banyak tentang hubungannya pada teman-teman yang bersamanya di depan.

"Pantes dia bilang lagi beres-beres baju! Telepon mulu pula dari kemarin. Astaga! Dia emang benar-benar nekat," gumamnya seraya mendengkus kesal.

Baru juga mendapat mangsa baru kemarin malam. Tahu ada Hani di sini, dia pasti susah bergerak.

"Sial!" umpatnya, sambil memukul telapak dengan kepalan tangan sendiri. Lalu berbalik menghadap meja wastafel, sebelum akhirnya dia mencuci tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul empat. Sudah waktunya Jimi pulang, tetapi dia tak mau berpapasan dengan Hani di depan.

"Sial kenapa, Bang?" tanya seorang perempuan, yang sukses membuatnya seketika terpaku.