Kini Rico berada di tempat di mana dia bisa merasa sedikit tenang. Rico berada di sebuah tempat berteduh di dekat danau. Udaranya sangat sejuk, sehingga membuat Rico betah berlama-lama berada di sana. Ternyata Rico tidak sendirian, dia ditemani oleh seorang wanita cantik nan sexy. Dan yang pasti wanita itu bukanlah Cinta, melainkan wanita yang selalu ada untuknya dari sejak dia kecil. Siapa lagi kalau bukan Dinda.
Dinda dengan setia menemani Rico yang sedang memiliki banyak fikiran. Dinda tahu saat ini Rico sangat membutuhkan kedamaian, jadi Dinda membawanya ke tempat tersebut.
"Rico, ada apa? Ceritalah!" titah Dinda.
"Cerita? Apa yang harus aku ceritakan?" ucap Rico berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Padahal meskipun Rico tidak berbicara padanya, Dinda tetap tahu dari perubahan sikap Rico yang sekarang lebih sering murung sendirian.
"Sudah lah, aku tahu kok, kamu sedang ada masalah. Aku ini sahabatmu, jadi aku tahu betul sifatmu," terang Dinda.
Rico masih tetap terdiam, dia belum ingin berkata jujur kepada Dinda, sahabatnya.
"Mau cerita ga?" tanya Dinda.
"Enggak! Orang ga ada apa-apa, kok," bohong Rico.
"Terserah deh, aku bosen maksa kamu terus. Hmm ... bagaimana kalau sekarang kita pergi jalan-jalan saja?" tawar Dinda.
"Ke mana? Males ah," ucap Rico.
"Jangan jadi pemalas, dong. Ga baik tahu," kesal Dinda.
"Ya udah, kita mau ke mana emangnya?" tanya Rico.
"Ke mana aja, yang penting bikin senang," terang Dinda.
Dinda pun menarik paksa tangan Rico dan membawanya pergi dari tempat tersebut.
"Apa sih. Main tarik-tarik aja," kesal Rico.
"Ya abis, kamu susah banget diajak perginya. Jadi aku tarik aja sekalian," tutur Dinda.
"Dasar, sangat-sangat menyebalkan," ucap Rico.
"Ga usah lebay!" tegas Dinda.
"Hehe ... iya deh iya," turut Rico pada akhirnya.
Mereka berdua pun kini telah berada di dalam mobil yang sama. Dinda mengemudikan mobilnya pelan, sangat pelan sampai membuat Rico bosan.
"Hmm ... jadi ga nih? Lama banget dah, bosen aku, Din," keluh Rico.
"Berisik deh, udah diem aja, ngeluh mulu. Sakit nih kuping," kesal Dinda.
"Iya terserah kamu saja, Dinda," pasrah Rico.
"Nah gitu dong, nurut sama aku," senang Dinda.
"Dinda, apa aku boleh bertanya padamu?" tanya Rico. Saat ini Rico sudah mulai serius. Tatapan matanya juga sudah sangat lekat. Terfokus ke satu arah.
"Tanya? Tanya apa? Tanyakan saja langsung. Biasanya juga begitu, kan," ucap Dinda.
"Apa kamu pernah merasa jatuh cinta padaku?" tanya Rico dengan begitu serius. Seketika itu juga Dinda langsung merasa kaget. Secara tiba-tiba saja dia langsung mengerem mobilnya secara dadakan. Dinda menjadi begitu gugup.
"Apa maksud kamu, Rico? Aku tidak mengerti sama sekali," bohong Dinda.
"Ayolah, Dinda. Apa susahnya hanya menjawab pertanyaanku itu. Apa kamu pernah jatuh cinta padaku?" ucap Rico yang mengulangi kembali pertanyaannya.
'Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba saja Rico bertanya begitu padaku? Apakah aku telah memperlihatkan pada Rico bahwa aku jatuh cinta padanya? Uh ... masa sih? Padahal aku ngerasanya biasa aja kok, tapi kenapa bisa begini, ya? Eh tapi, bahkan aku juga bingung pada diriku sendiri, apa iya yah aku jatuh cinta sama Rico? Eh ... enggak, enggak, enggak! Ya ga mungkinlah aku jatuh cinta sama sahabatku sendiri. Itu rasanya mustahil. Aku tidak akan mungkin jatuh cinta padanya. Iya, ga mungkin'. Batin Dinda.
"Hey ... kok malah bengong sih. Jawab dong pertanyaanku tadi," ucap Rico.
"Apa sih? Pertanyaan yang mana coba? Aku ga ingat," bohong Dinda.
"Hm ... anda berbohong! Sudahlah Dinda, untuk apa berbohong seperti itu? Aku yakin kamu pasti masih ingat jelas dengan pertanyaanku itu. Orang aku juga bertanya baru saja kok," ujar Rico.
"Tapi aku sungguh tidak mengingatnya," kekeh Dinda.
'Aduh ... ini hati kenapa jadi tidak karuan gini ya? Aku jadi deg-degan. Ya ampun ... jangan sampai deh aku jatuh cinta sama Rico. Aku ga mau hal itu terjadi. Malu banget kalau sampai bener aku jatuh cinta sama dia. Bersikaplah senormal mungkin, Dinda. Jangan perlihatkan pada Rico bahwa saat ini kamu begitu gugup'. Batin Dinda.
"Ayolah, Dinda. Please, katakan padaku yang sebenarnya saja," titah Rico setengah memohon.
"Aku ... aku ... ya ga mungkinlah, Ric. Ga mungkin aku cinta sama kamu. Udah ah, ga usah ngada-ngada. Ga mungkin aku cinta sama kamu. Apalagi aku kan tahu bagaimana sikapmu itu. Kamu kan seorang playboy. Cuih, mana sudi aku sama kamu. Yang ada aku tiap hari makan hati. Kalau hati ayam sih enak, ini mah hati sendiri. Di mana enaknya coba. Ga usah ngarep aku cinta sama kamu," tutur Dinda. Meski bibirnya berkata seperti itu, tapi entah mengapa hatinya seolah tak terima dengan ucapannya sendiri.
"Serius kamu ga cinta sama aku?" selidik Rico. Rico pun lalu mulai mendekatkan wajahnya ke dekat wajah Dinda. Seketika itu juga Dinda langsung dibuat gugup tak karuan. Dan tanpa sadar hatinya tiba-tiba berdebar. Jantungnya juga berdetak lebih cepat dari biasanya.
'Uh ... ini kenapa dengan hati dan juga jantungku? Ayolah, bekerja samalah denganku. Kenapa kamu berdetak begitu cepat wahai jantung. Kamu juga nih, kenapa kamu berdebar hatiku? Aku ga cinta sama si Rico. Titik! Ga ada kata cinta untuk Rico'. Batin Dinda.
Wajah Dinda sudah semakin memerah dibuatnya. Rico yang melihat itu, dia sudah tidak kuat lagi untuk menahan tawanya. Sontak saja tawa Rico langsung pecah.
"Ahaha ... haha ..." tawa Rico. Dinda yang melihat Rico tertawa sampai terbahak-bahak, dia jadi merasa keheranan. Lalu dia pun langsung saja bersikap polos. Dinda langsung menyentuh kening Rico dan juga pipi Rico dengan punggung tangannya.
"Heh ... apa yang kamu lakukan?" tanya Rico yang langsung menyingkirkan tangan cinta di wajahnya.
"Enggak panas kok padahal," ucap Dinda.
"Apa yang panas?" bingung Rico.
"Ya itu, kening dan juga pipi kamu ga panas," ucap Dinda polos.
"Lah, ya emang ga panas. Siapa juga yang bilang panas?" kesal Rico.
"Ya aku kirain kamu kerasukan sesuatu tadi, Ric. Kirain aku kening dan pipimu akan panas karena kerasukan," celetuk Dinda.
"Wis ... kalau ngomong suka sembarangan. Ck, ga pernah dijaga dulu. Ya ga mungkinlah aku kerasukan Dindong," cicit Rico yang langsung menekan kening Siska menggunakan jari telunjuknya.
"Ih ... kan aku bilang juga cuman tebakan loh. Ya siapa tahu aja kamu beneran kerasukan. Kan ga ada yang tahu. Hehe," ucap Dinda.
"Tebakanmu itu selalu melantur. Ga baik kamu kayak gitu. Buang kebiasaan burukmu itu," ucap Rico.
"Dih ... kan kamu juga yang ngajarin aku kayak gini. Haha," tawa Dinda.
"Eh iya, ya. Ahaha," lanjut Rico.