'My heart hidden inside
Tells me to reveal it
on that day, no matter what
How could I tell the story
Lock me up in your two deep eyes
Whisper to me in silence
The story untold shown through the lips
You and I awkwardly face each other
This moment that's strange yet familiar
Let's be together
On this endless night'
~BGM : Raiden x, Chanyeol EXO ft LeeHi & Cahngmo-Yours~
HR-V hitam menembus jalanan Bandung dengan kecepatan sedang. Jalanan agak legang tidak macet namun juga tidak terlalu lapang, Hara masih fokus dengan stir kemudinya, dan tiga penumpang dalam mobilnya sibuk dengan dunianya masing-masing.
Tak ada yang berniat memecah keheningan, diam merupakan wujud rasa bingungan canggung yang sama mereka rasakan. Membiarkan suara radio menjadi satu-satunya yang mengambil alih dan pemecah keheningan. Sesekali bibir mereka ikut bersenandung mengikuti alunan musik, lirih—tidak kencang, seakan suara itu hanya mampu didengar oleh mereka yang membuka mulut.
Sebenarnya beberapa kali Hara mencuri pandang lewat kaca spion dalam mobil, memerhatikan Alka yang terlihat sangat manis hari ini dengan rambut pony tail dengan jepit kecil bemotif daisy di sisi kepalanya. Outfit mereka juga matching satu sama lain—blue jeans dengan kaus putih hanya berberda warna sneakers yang digunakan, Alka biru langit sedang milik Hara abu-abu, namun keduanya tetap tampak serasi bila diperhatikan, seperti couple yang berniat pergi kencan. Sejujurnya tadi saat Hara menjemput Alka didepan kos perempuan itu, Hara juga sempat terkesima sesaat, lucu saja ketika melihat outfit mereka tampak serasi walau tak pernah merencanakannya bersama. Alka sendiri juga tampak terkejud sepersekian detik, sebelum kembali ke wajah dinginnya yang sangat akrab Hara jumpai beberapa waktu belakangan ini.
Memikirkan hal seperti ini membuat hati Hara tergeletik nyaman, apakah ini pertanda bahwa semesta memberikan restu padanya.
Semoga saja.
Tak jauh beda dengan Hara, Jen juga melirik Agni yang tampak fokus menatap jalanan Bandung dengan antusias. Meski berusaha menahan diri dan sibuk mengotak-atik Leica M-240 miliknya, nyatanya iris hazel itu tak ingin lepas menatap objek favoritnya di mobil ini—walau yang diperhatikan tampak tak sadar dan tak peduli.
"Kita sampai." ujaran tenang Hara membuat ketiganya tersentak dari kegiatan masing-masing. Setelah mematikan mesin mobil, Hara mengajak ketiganya turun.
Tujuan mereka kali ini adalah jalan Barga. Sebenarnya tak bisa dibilang kalau ini tujuan ketiganya, karena nyatanya hanya Hara dan Alka yang berdiskusi akan tempat. Agni dan Jen yang awalnya tidak berencana ikut, dan jadi penumpang gelap hanya mangut-mangut begitu menyadari di mana mereka menampakan kaki.
Jalan Barga adalah salah satu jalan utama di Kota Bandung yang sudah ada sejak jaman Hindia-Belanda. Jalan ini adalah jalan yang terkenal dan juga menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan saat berkunjung ke kota Paris Van Java.
Pagi ini meski bukan weekend ternyata Braga tetap ramai akan pengunjung, karena memang jalan ini menawarkan segalanya—bangunan-bangunan bersejarah bergaya Eropa, cafe-cafe yang tak hanya menyajikan makanan yang enak namun juga tempat yang dikonsep menarik, street food yang menyajikan makanan berkonsep modern dan tradisional, juga pusat perbelanjaan yang jelas disukai para traveler.
"Kita siapin dulu kamera masing-masing sebelum mulai jalan" kata Hara sebelum mereka turun dari mobil, ketiganya mengangguk patuh sebelum mengekuarkan kamera masing-masing dari dalam tasnya.
Meyusuri jalan Braga, keempatnya sibuk mengabadikan objek yang ada, konsep foto hari ini adalah street photography— mengabadikan foto secara candid untuk menampilkan unsur murni dan jujur dari foto yang dihasilkan. Tugas pertama mereka tidak lah sulit tidak juga mudah karena street photography seringkali sukar dibedakan dengan photography human interest ataupun potrait photography. Jadi mereka harus bisa membedakan terlebih dahulu seblum siap mengambil objek gambar dalam lensa kamera.
Alka berjalan beriringan dengan Agni, sesekali keduanya melempar tertawa dan tampak asyik dengan obrolan yang tidak Hara mengerti meski dia sudah berusaha mencuri dengar, beberapa kali Alka menanyakan tentang kegunaan tombol kamera sony a6500 milik Agni yang dipinjamnya untuk hunting foto hari ini. Melihat hal ini Hara berdecak kesal—harusnya hari ini menjadi harinya dan Alka, tapi keberadaan Agni disini sungguh membuatnya tersingkir dengan mudah. Seakan dia hanyalah makhluk tak kasat mata yang tidak penting keberadaannya disana.
Hara menyikut Jen yang sedang asik mengabadikan objek dengan serius—bangunan tua bergaya Eropa yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi pertokoan, Jen menengok kesal karena merasa terganggu dan hampir saja mengumpat sebelum Hara mengkode lewat ekor matanya—meminta Jen memperhatikan dua orang gadis yang sibuk didepan sana—tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini.
"What ?" tanya Jen yang masih tidak mengerti.
"Gue ngajakin lo kesini bukan buat asyik sendiri sama dunia lo.!" Jen mendengus mendengarnya, Hara semakin berdecak karena melihat Jen kembali acuh dan memalingkan badannya—memebelakanginya kembali.
"AUW..WHAT THE.." Jen merasa akan mengalami gegar otak ringan setelah kepalanya digeplak Hara dengan tenaga yang tidak main-main. "What are you fucking doing man ?" bisiknya setelah sadar menjadi tontonan orang disekitarnya.
Hara nampak santai meski pelototan Jen tak kunjung sirna dari wajahnya, oke dia akui kalau dia memang serius saat mengeplak kepala temannya dan sejujurnya dia sedikit merasa bersalah.
"Sorry, tapi lo harus singkirin Agni !" katanya mengambaikan muka Jen yang masih memandangnya tajam.
"Gue--Alka, lo--Agni" Hara berusaha menguraikan lagi maksud perkataanya tadi, setelah melihat raut bingung yang ketara milik Jen. Jen mengehela napas lelah, "Gue pengen,but we had a fight last night" jelasnya tanpa menoleh ke arah Hara.
Kaki ini gliran Hara yang menghela napas, "Bukannya lo emang berantem tiap ketemu, dari dulu juga gitu kan ?" ujaran Hara membuat Jen tersadar, benar apa yang dikatakan Hara, sejak dulu Jen dan Agni selalu ribut dan tampak sangat bertolak belakang, kendati keduanya bersahabat dekat dan tak terpisahkan, nyatanya mereka sering kali berdebat masalah-masalah sepele. Tetapi sekarang keadaan sudah jauh berbeda, kalau dulu keduanya akan berbaikan cepat, sekarang tidak lagi— dan Jen tak ingin Agni menjadi semakin jauh.
Menjadi asing dan tidak dia kenali lagi. Sungguh Jen tidak berharap seperti itu.
Hara yang melihat Jen tampak linglung, mencoba memancing emosinya untuk melihat kejujuran perasaannya, "Lo nyerah ?" tanya Hara dengan seringai menyebalkan di wajahnya.
Jen kembali menatap Hara tak santai, agaknya tersinggung dengan pertanyaan yang Hara lontarkan, "What do u mean ?" matanya memincing tajam tak suka kalau perjuangannya diremehkan.
Ternyata pancingan Hara berhasil, lihat kilatan emosi yang dipancarkan oleh Jen hanya karena satu kalimat tanya yang Jen lontarkan tadi.
"Ya lo nyerah untuk berjuang ? Inget Jen gimana Agni ke lo dulu itu gak ada apa-apanya dengan apa yang lo lakuin untuk dia sekarang" perkataan Hara telak menampar sudut hati Jen yang paling dalam—dan benar apa yang dikatakan oleh Hara adalah fakta, selama ini Agni sudah berjuang untuk hubungan persahabatan mereka, sedangkan Jen justru sibuk dengan dunianya untuk menghindari Agni.
Tanpa banyak kata Jen mengalungkan kembali kamera yang sedang digenggamnya ke leher. Menuju ke arah seseorang yang tampak acuh dengan dunianya dan fokus pada kamera analog merek ditangannya. Tanpa basa basi Jen mengakungkan lengannya ke bahu Agni, belum sempat Agni memprotes—Jen sudah menyeretnya menjauh dari Alka yang hanya bisa mengerutkan keningnya heran. Hara ikut tercegang ditempat, tak meyangka aksi provokasinya tadi membuahkan hasil melebihi ekspetasi yang dipikirkannya.
"Lepas.!" Agni berujar ketus, tapi sepertinya hal itu tak dihiraukan oleh Jen yang masih setia merangkulnya erat.
Agni masih meronta, berusaha melepaskan rangkulan Jen yang seenaknya, "Lo apa-apan sih.!" makinya dengan suara melengking. Bukannya takut dan melepaskan, Jen justru meraih jemari tangan Agni dan menggengamnya erat, "ikut gue.!" katanya tegas. Pada akhirnya Agni menyerah dan membiarkan dirinya diseret entah kemana.
Setelah keduanya menjauh Hara mendekati Alka sepertinya masih syok dengan kejadian barusan.
"Gimana udah dapat gambar bagus ?" tanya Hara basa-basi. Alka tersentak sesaat—sedikit kaget dengan kedatangan Hara tiba-tiba. Rasanya dia ingin pergi menyusul Agni yang sudah dibawa kabur oleh Jen. Ketika meminta Agni untuk menemaninya hari ini, Alka tidak pernah terpikir bahwa Hara juga akan membawa Jen ikut serta. Saat tau Jen ikut keduanya sudah sepakat untuk saling melindungi dan menjauhkan diri dari Hara serta Jen, karena itulah sejak tadi mereka berusaha abai pada dua laki-laki ini. Siapa yang meyangka akan ada plot twist di mana Agni di bawa kabur oleh Jen tanpa bisa Alka cegah.
"lumayan tadi juga diskusi sama Agni" Hara mengangguk paham, lalu Hara menundukkan kepalanya—mencoba mengintip bidikan yang masih setia Alka perhatikan dilayar lcd kameranya.
"Coba lihat" Alka bisa merasakan napas Hara yang hangat ditengkuknya—membuatnya sedikit meremang dan gelisah. Alka mencoba memberi jarak—terlalu dekat dengan Hara bukanlah kondisi yang menguntungkan untuk jantungnya yang mulai berdebar keras,"Ehem.."
Deheman Alka membuat Hara tersadar akan tindakannya—jujur saja dia bukan bermaksud modus atau apa, tapi tubuhnya bergerak sendiri seolah hal itu adalah hal yang lumrah untuk dilakukannya. Sepertinya bukan hanya hatinya yang tidak pernah melupakan gadis itu, tapi juga kinerja otaknya yang masih bergerak autopilot jika itu menyangkut Alka.
"Sorry" katanya kikuk terlihat sekali salah tingkah. Berusaha mentralkan keadaan, Alka menyerahkan kameranya untuk di lihat Hara.
Setelah melihat hasil jepretan Alka, Hara tampak puas— "Bagus..rasanya gambar ini benar-benar hidup" pujinya jujur membuat senyum Alka merekah tanpa bisa dia hindari.
Hara tidak mengira kalau Alka bisa memotret seprti ini, dulu saat mereka bersama memang Alka ancap kali menemaninya berburu objek dikala senggang. Alka juga terlihat tertarik dan antusias saat Hara mengenalkannya dengan dunia fotografi— Hara mengajarinya beberapa teknik dasar dan mengenalkannya cara menggunakan kamera digital juga analog yang dimilikinya, namun gadis itu masih tampak canggung dan lebih memilih memotret menggunakan kamera ponsel pintar—itulah mengapa Hara terkesan dengan gambar-gambar hasil jepretan Alka yang tampak indah, bahkan ketika dia menggunakan kamera milik orang lain.
"Makasih" Alka berkata tulus masih dengan senyum hingga iris hitam dibalik kacamatanya menyipit. Hara terkesima sesaat lalu ikut tertular senyuman Alka dan tanpa sadar tangannya bergerak mengusak kepala Alka dengan gemas.
Tindakan spontan Hara membuat Alka membeku sesaat, namun juga urung menyingkirkan usapan dikepalanya—biarlah, untuk sesaat biarlah Alka mengingat lagi bagaimana rasa hangat yang dulu sempat menjadi sumber bahagianya.
****
"Jadi..lo mau ngomong apa sampe harus nyeret gue seenak jidat.?" tanya Agni yang saat ini berdiri menyilangkan tangannya— menatap bengis lawan bicaranya. Dia tidak pernah berhasil menebak apa yang dipikirkan laki-laki dihadapannya ini yang selalu berbuat seenaknya.
"Sini duduk dulu, lo gak cape dari tadi marah-marah." Jen berusaha menarik lengan Agni untuk duduk di sebelahnya, namun lagi-lagi tangannya ditepis keras dan dihadiahi pelototan tajam, khas Agni sekali.
"Gue gak butuh duduk.!" geramnya kesal.
"Stubborn"
"Apa lo bilang..!" Agni memekik nyaring tak terima dirinya dikatai keras kepala oleh oleh yang menurutnya lebih keras kepala darinya. Jen tidak menyangka kalau suaranya yang serupa bisikan tadi bisa di dengar oleh perempuan itu, apakah tadi dirinya berucap cukup nyaring atau memang pendengaran Agni yang luar biasa, apapun itu Jen tidak terlalu menyesal kata-katanya didengar, melihat gerutuan Agni adalah hiburan yang tak mau dia lewatkan.
"Duduk.!" Jen berujar tegas menatap Agni dengan mata memincing tajam—hal selalu digunakannya dulu untuk membuat Agni menuruti kata-katanya—semoga saja hal ini masih bisa dia gunakan sekarang.
"Idihhh..Siapa Lo merintah-merintah gue..! MR SOK PERFECT.!!" tidak seperti prediksi Jen, Agni nyatanya sudah kebal dan kembali membantah tegas.
Jen yang melihat reaksi Agni menjadi ikut kesal. Jen bangkit dari duduknya—menghadap Agni dengan mata mengintimidasi yang dominan, hingga nyali Agni menciut seketika, seingatnya Jen tidak pernah menatapnya seseram ini kecuali dulu saat...
Kemudian Agni teringat—pada dasarnya Jen adalah tipikal orang yang memliki ego tinggi, juga sikap otoriter yang tak terbantahkan. Jen bukanlah tipikal orang yang menerima bantahan serta penolakan dalam bentuk appapun. Ketika seseorang tidak mengikuti apa yang dia perintahkandan harga dirinya terluka—Jen akan melakukan berbagai hal sampai apa yang dinginkannya tercapai.
"Gue bilang duduk Agni.!" Agni sudah akan memprotes lagi tindakan semena-mena makhkuk culas dihadapannya ini sebelum merasakan cengkraman erat kedua bahunya, Jen dengan cepat memutar tubuhnya dan memaksanya duduk.
"Masih seenaknya kayak dulu." cibir Agni yang dianggap angin lalu oleh Jen, bukannya tersinggung Jen justru dengan santai duduk disebalahnya dengan mata masih memandang Agni tajam sebelum kemudian menjadi lebih santai.
Agni meraskan tidak ada gerak-gerik laki-laki ini akan membuka suara, justru yang dia lihat saat ini Jen sibuk mengetikkan sesuatu diponselnya ntah pada siapa, Agni tidak peduli, saat ini pikirannya hanya fokus untuk cepat kembali ketempatnya tadi dan menyelamatkan Alka dari Hara, itulah yang harusnya dia lakukan sebagaimana permintaan sahabatnya itu.
"Lo mau ngomong apa sih ?" Agni bertanya lagi tak sabar, awas saja kalau Jen masih mencari-cari alasan seperti tadi, ingatkan dia untuk menendang tulang keringnya lalu kabur dengan cepat.
"Lo laper gak ? Gue laper.., Jadi kita cari makan.!" Alis Agni menukik mendengar jawaban absurd Jen, umpatan sudah ada diujung lidahnya, sebelum tertelan kembali dan hanya bisa dia teriakan dalam hati, kalau Agni tidak sadar dia sedang dikeramaian sudah keluar seluruh jenis makian yang dia pelajari selama hampir 18 tahun dia hidup di dunia.
"Please Jen jangan bikin gue emosi" ujarnya geram—tangannya terkepal berusaha meredam emosinya yang meluap-luap.
Jen terkikik dalam hati melihat Agni yang sudah kesal—mukanya bahkan sudah memerah sampai ketelinganya, "Gue ngajakin lo makan Agni, bukan ngajak lo berantem kenapa lo jadi emosi ?" katanya santai, berpura-pura bodoh dan tidak mampu membaca situasi. Emosi Agni sudah samapi diubun-ubun—tapi meladeni Jen juga bukan opsi yang bagus jadi dia memilih beranjak dari duduknya—
"Whatever. Gue cabut" baru Agni akan berjalan, Jen sudah meraih tangannya lagi, kali ini dengan lembut. "Please Ag, gue laper banget—lo tau kan kalau gue laper gue bisa emosi"
Mendengar kata-kata Jen, Agni seolah diseret kembali ke masa lalu—saat di mana dia dan Jen tak terpisahkan, laki-laki itu selalu meminta dirinya untuk menemaninya dalam kegiatan apapun yang dilakukannya. Mereka selalu terlihat bersama dalam kesempatan apapun, membuat orang berspekulasi macam-macam mengenai hubungan keduanya. Tapi sekali lagi Agni juga diingatkan kalau semua itu hanya kamuflase yang dibuat laki-laki ini, berakting bahagia lalu kemudian menghempasnya layaknya sampah.
"Please" Jen memohon lagi setelah melihat Agni hanya diam. Seharusnya menolak ajakan Jen bukan perkara sulit untuk Agni, tapi lihatlah kepalanya yang justru mengangguk mengiyakan.
Dan sekali lagi Agni kembali disadarkan kalau ego yang dia pertahankan akan selalu kalah dengan rasa yang sudah berusaha keras di kubur, Jen masih jawara dalam hatinya, tempat itu masih mutlak milik Jen sampai saat ini tidak peduli seberapa dalam luka yang torehkan laki-laki itu.
Agni harus berjuang keras untuk benar-benar menggeser Jen dari sana, karena mempertahankan Jen sama dengan membuka luka yang berusaha di sembuhkan—dan Agni sudah tidak butuh rasa sakit itu datang lagi.
Tidak akan lagi.