Chereads / BUCKET LIST / Chapter 14 - Bab 13 The Truth

Chapter 14 - Bab 13 The Truth

'Every time that I swear it's over

It makes you want me even more

You pull away and I come in closer

And all we ever stay is torn'

~BGM- Astrid S-Hurts So Good~

Walau belum memasuki jam makan siang tapi cafe dengan nuansa retro ini cukup ramai akan pengunjung. Aroma bubuk kopi tercium menguar ke seluruh penjuru ruangan juga wangi khas vanilla dan butter cream yang menjadikam cafe ini terkenal akan dessertnya.

Sesungguhnya Jen hanya memilih asal ketika menarik tangan Agni mengikutinya untuk mencari tempat mengisi perut, tapi sepertinya dia membawa gadis itu ketempat yang tepat. Agni adalah pecinta makanan penutup yang sebenarnya tidak terlalu disukainya, Jen bukan tipikal pecinta makanan manis, tapi ntah mengapa kesukaan Agni adalah sesuatu yang ingin dia usahakan.

Mereka duduk berhadapan di meja paling pojok belakang tepat disamping jendela besar yang memperlihatkan aktivitas manusia diluar—keduanya masih diam dalam hening walau makanan yang dipesan sudah tersedia di hadapan keduanya. Segelas cappucino untuk Jen dan matcha latte milik Agni. Agni juga memesan sepotong tiramisu sebagai pendamping. Duduk berhadapan dan menikmati makanan seperti ini adalah moment langka untuk keduanya, sudah sangat lama mereka melakukan hal yang dulunya tampak seperti rutinitas. Kecanggunan jelas yang mendominasi keadaan saat ini, bahkan untuk sekedar mencicipi hidangan yang ada mereka masih menunggu satu sama lain memulai lebih dahulu.

"Lo bilang laper, tapi bahkan lo gak pesen apapun kecuali itu ?" Agni memecah keheningan dan menunjuk gelas cappucino yang sekarang sedang diseruput oleh Jen—yang akhirnya mulai menyantap pesanannya yang tidak lagi hangat.

"Tadi laper, sekarang udah enggak." jawaban asal Jen tak pelak membuat Agni mendengus, lalu memotong tiramisunya asal dan memasukannya dalam mulut—mencoba meresapi rasa pahit kopi bercampur manis cream keju yang menguar dari setiap gigitan yang memanjakan lidah. Dessert asal Italia ini memang selalu jadi pilihan utama ketika Agni menemukannya dalam buku menu.

"Ag gue perlu ngomong.!" ucapan penuh tekad Jen berhasil mengalihkan atensi Agni yang kini menatapnya lekat. Iris keduanya berdua—keduanya sama-sama tenggelam dalam perasaan yang tidak bisa digambarkan. Jen bahkan melihat pantulan dirinya sendiri dalam jernih onyx milik Agni—sebegitu dalamnya dia tenggelam dan rasanya enggan untuk melepaskan.

Agni lah yang lebih dulu mengalihkan tatapannya sedang Jen masih termenung tak melepaskan irisan itu barang sedetik. Walau mengatakan ingin berbicara namun wajah Jen menunjukan ekspresi yang lebih dari sekedar rumit—Agni sampai tak bisa membaca apa yang ingin dibicarakan oleh pria dihadapannya ini.

"Gue mau minta maaf." lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulut Jen, Agni menghela napas seakan sudah tidak kaget namun juga jengah, kenapa laki-laki ini selalu meminta maaf dan menuntutnya untuk menjawab permintamaafan itu.

"Minta maaf kenapa ?" Agni balik bertanya retoris, membuat Jen mencerna dan berpikir kembali, apakah kesalahannya terlalu banyak hingga Agni mempertanyakan kata maaf ya selalu dia ucapakan.

"maaf untuk semua semua yang udah gue lakuin ke elo Ag, sorry karena gue udah nyakitin dan buat lo hancur. Gua gak akan ngelak atas ke'brengsekan' gue, tapi gue bener-bener gak bisa kalau lo ngejauh kayak sekarang."

Agni berusaha mangkir ketika melihat wajah itu mengatakannya dengan tatapannya —yang jujur terlihat menyedihkan dan meperlihatkan kerapuhan, Agni tak ingin menjadi jahat, tapi luka nya juga belum sembuh untuk bisa dengan senang hati menerima dengan mudah keberadaan laki-laki itu disekitarnya— memaafkannya pun rasanya sulit.

"Jen sejujurnya gue butuh lebih dari sekedar kata maaf dari lo, gue bahkan butuh lebih dari sekedar penjelasan dari lo. Gue juga butuh alasan—alasan yang buat lo nyakitin gue sebegitunya dulu." jabawan Agni membuat Jen membeku di tempat. Seperti siap dan tidak siap untuk memberikan penjelasan. Kenapa Jen harus menjadi linglung ketika dirinya sendiri yang selalu memaksa Agni untuk berbicara dan mau mendengarkannya.

Jen masih diam, mulutnya sesekali terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian dia urungkan. Agni hanya merasa bahwa dia harus mendengarkan kalau benar-benar lepas dari jeratan laki-laki ini. Benci yang bersarang dihatinya justru menjadi pemicu paling telak yang membuatnya susah lupa akan sosok Jen, jadi dia sudah memutuskan untuk mencoba mendengarkan kalau itu bisa menjadi alasannya terlepas dari belenggu masa lalu yang terus mengikatnya tanpa sadar hingga saat ini.

"Gue--gue.." Agni masih diam mendengarkan memerhatikan Jen yang bahkan saat ini tak berani menatapnya seperti tadi—bola mata laki-laki itu bergerak liar seakan akan ingin cepat terlepas dari percakapan ini. Agni sendiri lebih batu lagi, dia tidak akan lari—meski Jen mencoba kabur sekalipun, akan dia paksa Jen membuka mulutnya, dia harus bisa menyelesaikan saat ini juga, karena Agni sudah muak berada dalam situasi yang sama beberapa kali tanpa hasil—

"Gue gak tau Ag.. jujur gue sayang sama lo, selalu—sejak dulu lo salah satu orang yang penting untuk gue—" Jen menjeda ucapannya, mungkin topik ini bukan hanya berat untuk Agni tapi juga untuk Jen dan Agni tak pernah sadar akan hal itu, selama ini dia bertindak sebagai korban dan Jen adalah makhluk yang pantas untuk dihakimi. "—tapi gue juga gak tau kenapa saat itu, i was fucked up. I--I can't contol my self to not hurt you. You always know Agni, everyone around me always looks at me like they wanted something from me. There's nobody sincere Agny, only you—" Agni membeku ditempatnya, penjelasan ini bukan lah yang pernah dia pikirkan akan keluar dari mulut Jen. Padahal Agni sudah bersiap kalau-kalau Jen mengatakan dia jijik dengan perasaan yang Agni miliki untuknya. Dia lebih siap dengan makian atau apapun itu dibanding Jen yang terlihat rapuh dan menyedihkan.

"dan saat itu lo ngomong kalau lo punya rasa untuk gue—" Jen menarik napasnya berat berbanding dengan Agni yang menahan napas—seolah tau apa yang akan Jen utarakan selanjutnya, "pernyataan lo bikin gue mempertanyakan segala perlakuan lo ke gua selama ini, membuat gue mempertanyakan ketulusan lo ? dan pada akhirnya yang menang adalah pemikiran buruk gue, yang berpikir kalau lo gak ada bedanya dengan mereka, lo..tau lo juga punya maksud dalam setiap kebaikan lo dan itu yang gak bisa gue terima.." ucapan parau.

Tangan Agni sudah terkepal sempurna di bawah meja, mendengar penjelasan Jen membuat dirinya mendidih, bagaimana bisa laki-laki mempertanyakan ketulusan Agni untuknya disaat Agni menjadikannya pusatnya, orbitnya, semestanya.

"Lo konyol." Hanya itu yang bisa Agni katakan meski banyak yang ingin ia ungkapkan semua hanya bisa tertahan di tenggorokannya tanpa bisa dia ucapkan lantang. Atau mungkin Agni kehabisan kosa kata yang tepat untuk memgungkapkan kekecewaanya mendengar penuturan Jen.

"Ag--"

"Gue--gue selalu abai sama semua perkataan orang yang selalu mempertanyakan keberadaan gue di deket lo. Mereka mengahakimi bahkan memberi penilaian gak berdasar untuk persahabatan kita dan lo tau Jen, gue berusaha gak peduli. Gue berusaha bodo amat tapi bisa-bisanya lo.." Jen bisa merasakan emosi disetiap kata yang Agni lontarkan, tidak—sungguh Jen bukan bermaksud playing victim dia hanya ingin Agni mengerti akan tindakannya dulu. Jen menyisir rambutnya kasar, ingin menatap tapi takut menyelami onyx itu yang jelas menunjukkan kekecewaan.

"Lo ngeraguin gue juga Jen ? Iya ?? Lo ngeraguan persahabatan kita !?" suara Agni naik satu oktaf—matanya berkilat marah bahkan mungkin Agni tak sadar kalau air matanya luruh membasahi dua pipinya meski tak lama karena Agni menghapusnya kasar.

"Lo tau Jen ? Bahkan setelah lo pacaran sama SAHABAT gue sendiri gue masih dukung lo, karena diatas perasaan gue ke elo gue lebih menghargai persahabatan kita yang udah kita jalin lama, tapi bisa--bisanya lo ? Lo brengsek." Agni menekan di kata 'sahabat', menyindir perbuatan Jen dan Lavina yang seakan menusuknya dari belakang. Lavina sahabat yang sangat dipercayainya dan dijadikannya tempat berkeluh kesah mengenai Jen, justru dialah yang menyebarkan semua kisahnya pada orang lain, semuanya tanpa sisa.

"Lo tau Ag..Lo tau soal masa lalu gue tentang keluarga gue jadi harusnya lo—"

"Harus apa ?" potong Agni cepat. "Gue harus ngertiin lo dan segala trauma lo ? itu yang lo mau ??" Jen terkejud menatap nyalang Agni yang menampilkan raut terluka ketara, bukan skenario ini yang diinginknnya ketika mengajak Agni membahas masa lalu, dia hanya ingin menjelaskan dan meluruskan segalanya, kemudian Agnibakan mengerti seperti yang sudah-sudah dan mereka kembali seperti dulu.

"Kenapa ? Lo sadar gak sih kalau lo egois banget Jen, bukan gue yang nyatain perasaan gue ke elo, bukan gue tapi pacar lo—Lavina, yang lancang kasih tau semuanya sama lo..Gue bahkan gak tau apa-apa dan tiba-tiba lo maki lo mau gue gimana Jen, ngomong !!" Jen terpaku ditepatnya, bukan dia tidak ingin menjawab atau membalas perkataan Agni, tapi Jen tidak tau harus mengatakan apa. Apapun yang Agni katakan benar, traumanya bukan alasan untuk semua perlakuan buruknya. Sejak kecil Jen dikelilingi oleh orang-orang yang memberikannya apapun itu namun semuanya seolah punya maksud untuk setiap perlakuan baik mereka terhadap Jen. Jen terpaksa menjadi sempurna untuk menyenangkan sekitarnya, Jen bahkan tak bisa menjadi dirinya sendiri dihadapan orang lain, sekalipun itu orang tuanya sendiri, hanya dihadapan Agni dia bisa jujur.

Hanya Agni dan itulah yang membuatnya menyesal pernah menyakiti wanita ini tanpa ampun.

Agni yang melihat Jen hanya terpaku— mendecih disela-sela isak tangisnya, kalau bisa dia ingin memaki laki-laki ini, tapi semua rasanya percuma dan buang-buang tenaga. Sampai saat inipun Agni masih bingung kenapa dirinya sulit untuk menghapus laki-laki egois ini dari hatinya—Agni hanya perlu satu alasan untuk mencintai Jen, tapi seribu alasan bahkan tak mampu membuat perasaannya itu berubah jadi benci.

"Ag.." Jen berusaha meraih tangan Agni yang terkepal diatas meja, meski langsung ditepis oleh sang empu. "Gue tau rasanya apapun yang keluar dari mulut gue gak bisa lo percaya, tapi lo harus tau Ag, gue bener-bener mau kita kayak dulu lagi Ag." Agni tersenyum sarkastik, sebelum kata-katanya membuat Jen luluh lantak seketika, "Gak pernah ada kita Jen, sejak dulu gak pernah ada."

****

"Agni kemana sih, kok wa aku gak dibalas. Di read aja enggak." gerutu Alka lebih pada dirinya sendiri, sudah beberapa waktu terlewat dan mungkin hampir setengah jam sejak Agni diseret paksa oleh Jen dan belum kembali sampai saat ini. Hara yang sejak tadi mengekor dibelakangnya ikut penasaran kemana sebenarnya Jen membawa Agni, meski jujur agaknya dia merasa bahagia memiliki moment berdua dengan Alka.

"Aku udah coba hubungin Jen juga, tapi masih belum dapat balasan." Hara menjelaskan bahkan tanpa diminta. Alka hanya menghela napas—pasrah dan agak marah namun juga khawatir. Bisa-bisanya Agni meninggalkannya berduaan dengan Hara disaat dia meminta wanita itu ikut dengan alasan dia tak ingin pergi berdua saja dengan laki-laki yang masih memamerkan senyum maut dan setia berdiri disebalahnya.

'awas aja nanti' rapal Alka dalam hati.

"gimana kalau kita cari aja ?" Hara membuka suara lagi, menawarkan opsi yang menurut Alka boleh juga juga dijalankan. Lebih baik mereka pergi mencari daripada harus terus menunggu seperti orang bodoh. Anggukan Alka membuat Hara senang bukan kepalang, yah setidaknya dia bisa jalan berdua dengan Alka menyusuri jalan Barga ketimbang berdiam diri dan diacuhkan oleh Alka. Yap, sejak tadi Alka hanya sibuk dengan kamera dan ponselnya. Hara seperti transparan alias tidak terlihat keberadaanya padahal mereka berjarak kurang dari 1 meter.

"Lo tau masalah Jen sama Agni ?" tanya Hara basa-basi setelah mereka berjalan menyusuri jalan setapak demi menemukan keberadaan dua makhluk yang hilang kabar itu. Alka menoleh sekilas ke arah Hara sebelum kembali menatap lurus kedepan dan mengangguk samar setelahnya.

"Gue juga bingung kenapa mereka berdua bisa asing banget sekarang, padahal dulu kemana-mana selalu bareng untuk kayak pengantin baru aja" celetukan Hara sukses membuat atensi seratus persen mengarah padanya, Hara bisa melihat ada raut terkejud dan penasaran dalam obsidian itu.

"Yah mereka emang deket banget dulu," Hara menerawang, mengenang pada masa-masa saat dia masih mengeyam bangku pendidikan sekolah menengah di Jakarta. Saat itulah dia mengenal Jen dan Agni. Lebih tepatnya Jen yang mengenalkan Agni padanya. Keduanya adalah sahabat yang sangat dekat, di mana ada Agni di situ ada Jen begitupun sebliknya. Jadi Hara agak meyayangkan hubungan keduanya yang saat ini bersekat, seakan ada tembok besar yang mengahalangi keduanya. Miris. Tapi tak jauh beda dengannya dan Alka. Mereka yang dulunya saling merengkuh kini justru berusaha mendorong menjauh.

Melihat gerut wajah Hara yang menatapnya sendu Alka mengernyitkan dahinya, "Kenapa ?" tanyanya bingung. Hara hanya menggeleng samar sembari tesenyum kecil. Membuat wajah Agni tampak tak puas tapi berusaha dia enyahkan. Keduanya kembali berjalan dalam diam, mata Hara berpendar hingga netranya menangkap sesuatu diseerang jalan—

"Al...Al" Hara menarik-narik kaos yang Alka kenakan dengan semangat, Alka baru akan memprotes marah ketika Hara menunjukkan sesuatu yang membuat matanya menampilkan binar bahagia.

"Ice cream..! "pekiknya senang, Hara ikut tersenyum kala mengingat Alka yang selalu bersemangat ketika itu menyangkut Ice cream. Moodbooster nomer wahid untuk perempuan ini dan Hara selalu mengingatnya sampai hari ini

"Ayok..!" kali ini gilaran kaosnya yang ditarik paksa, Alka mengajaknya tanpa bertanya ba-bi-bu terlebih dahulu, sungguh sejak dulu kastanya selalu dibawah ice cream—makanan yang menjadi favorit banyak orang ini.

"Kamu mau rasa apa ?" Hara memekik dalam hati, rasanya mereka seperti sedang berkencan sungguhan. Senyum Hara belum luntur, sedang Alka sudah tak sabar menanti jawaban begitu juga dengan si penjual ice cream itu—sangat terlihat dari wajahnya.

"HARA..!" Alka menyerukan nama Hara setengah berteriak tepat dihadapan pemuda itu, membuat Hara mengejapkan matanya kaget, kemudian sadar bahwa dia sudah bertindak bodoh hanya karena nostalgia masa lalu, ck.

"Coklat." Alka menganguk paham, lalu menyampaikannya pada sang penjual—matanya kembali menelisik laki-laki disebelahnya masih mempertahankan senyum lebarnya itu. Kenapa Hara terlihat sangat bahagia ? apa karena ice cream ?Yah kalau Alka ingat lagi memang Hara sama sepertinya yang sangat menyukai makanan dingin ini, meski tidak semaniak dirinya juga.

Setelah mendapatkan ice cream, keduanya berjalan ke arah bangku yang tak jauh dari sana untuk menikmati dengan santai begitu usulan modus dari Hara yang tidak Alka sadari.

Sedang asyik menikmati ice cream rasa vanilla di tangannya, Alka dibuat terkejud saat usapan jempol Hara dia rasakan di sudut bibirnya.

Baru sadar akan tindakannya sendiri, Hara buru-buru menarik tangannya dari wajah Agni—"Sorry.. tadi ada sisa ice creamnya disitu" tangan Hara masih terpause diudara. Alka meringis kepalang malu dan hanya bisa mengangguk patuh tapi tak mampu menyembunyikan pipinya yang bersemu. Membuat Hara yang memerhatikan merasa bahagia dan melayang untuk kesekian kalinya. Hari yang indah-pikirnya.

"Al...kita kan udah dapat beberapa foto hari ini, menurut aku pribadi beberapa udah layak buat kita seleksi untuk tugas dari klub, tapi kita masih ada proses sortir dan edit. Mau ketemu lagi kapan ?" tanya Hara to the point, kali ini dia bukan sekedar modus, meski tetap point modus tak bisa dihilangkan dari ajakannya barusan namun dia sadar bahwa waktu pengumpulan foto adalah sebentar lagi, jadi sudah tentu mereka harus cepat mensortir dan mengedit hasil foto raw hari ini. Hara masih memperhatikan Alka yang terlihat berpikir keras, apakah dia terlalu memaksakan kehendak, apakah Alka masih belum nyaman berada disekitarnya, baru Hara akan membuka mulut lagi Alka lebih dulu mengintrupsi..

"Minggu gimana ?" Hara mengangguk-angguk seperti seekor puppy lengkap dengan cengiran bahagia diwajahnya, "besok aku ada janji sama Agni, Tia dan Fey" lanjutnya menjelaskan. Hara semakin bahagia.

"Tapi aku boleh request sama kamu gak Al ?" Alka menatap dengan raut tanya, namun pada akhirnya tetap meng'iyakan, "Boleh" jawabnya sedikit gamang.

"Kali ini berdua aja ya, gak usah bawa Agni."

"kamu keberatan ya karena hari ini aku bawa Agni ? kamu gak suka ada Agni ?" rentetan pertanyaan dari Alka membuat Hara bingung harus bereaksi seperti apa, kalau harus jujur jelas dia sangat amat keberatan, tapi tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya, bisa-bisa Alka akan kembali membentang jarak kalau seperti ini.

"Gak..! gak..! " bantahnya, "Bukan gitu Al, bukan aku gak suka kalau ada Agni, tapi kamu tau kan kalau ini tu kompetisi. Kayak yang Seth bilang foto-foto nanti akan diberi penilaian terus pemenangnya bakal dapat reward dari senior kita"

"Tapi aku sama Agni gak mau berkompetisi, masalah menang kalah kita gak mau ambil pusinh, kita saling bantu." mati kutu sudah Hara setelah mendengar penuturan lugu dari Alka, lalu harus seperti apa lagi alasan yang busa dibuatnya.

"Tapi aku berkompetisi dengan Jen, Al. Kita bikin taruhan untuk tugas ini.!" kebohongan itu mengalir lancar dari mulut Hara, mulutnya merapal maaf dalam hatinya karena berkali-kali menjual nama sohibnya itu demi kelancaran pdkt season dua yang di lakukannya sekarang.

"kalian ngapain sih pake taruhan segala.?" Hara bersyukur kebohongannya diterima baik oleh Alka. Kadang dia bersyukur karena Alka yang begitu polos dan lugu.

"Namanya laki-laki Al" lanjut Hara berbohong.

"Yaudah deh" ucap Alka pasrah. Jen sudah akan berteriak kalau dia berada dilapangan luas yang sepi, tapi tidak mungkin aksinya dilayangkan disini.

"oke berdua ya" kata Hara sekali lagi meyakinkan.

"Iya..Berdua" Alka pasrah, dan Hara merasa menang sekali lagi.