Sejak tadi Agni berusaha abai pada notifikasi ponsel-nya. Tak hanya menghindari ibunya, Agni juga malas membalas puluhan yang dikirim oleh Jen, tak cukup mengirim pesan—beberapa kali Jen juga menelepon. Yang Agni tak habis pikir kenapa juga Jen berusaha keras Menghubunginya. Kalau laki-laki itu hendak membalas masalah yang terjadi di antara mereka seperti yang sudah-sudah Agni benar-benar sudah sampai pada titik. Artinya enggan kembali membuka obrolan kalau ujungnya berakhir tak mengenakan seperti yang terjadi di pertemuan terakhir mereka.
Mengenai bundanya, Agni juga sudah lelah terus-terusan di tekan oleh sesuatu yang berlawanan dengan hati nuraninya. Sang ibu masih saja tidak bisa menerima hobinya yang berkecimpung di dunia fotografi. Tiap kali mereka mengobrol di telpon, sang ibu secara tersirat berharap bahwa putrinya keluar dari ukm foto dan fokus pada kuliahnya saja.
Padahal ibunya selalu suportif kalau itu menyangkut hobi sang adik yang gemar menggeluti olahraga basket. Tapi kalau sudah untuk hobi anak perempuannya sang bunda tak pernah benar-benar memberikan dukungannya. Ayahnya pun hanya bisa bersikap netral tidak mendukung namun juga tidak menyuruhnya berhenti.
Merasa jengkel karena sedari tadi handphonenya terus berbunyi karena orang yang sudah jelas si abaikannya itu tidak menyerah, Agni langsung menyambar kasar meskipun masih berusaha untuk tidak mengumpat kasar. "HALO.." katanya penuh penekanan.
Begitu Agni mengangkat telpon darinya, Jen langsung bernapas lega, karena usahanya tidak sia-sia.
"Akhirnya lo angkat juga telepon dari gue." ujarnya senang, tak dapat menyembunyikan rasa bahagia yang dirasakannya saat ini.
"Yah menurut lo aja gimana?" Agni berucap malas, namun menunggu-nunggu sebenarnya apa yang ingin di sampaikan laki-laki itu, sampai harus menerornya dengan telepon dan pesan yang tiada henti sejak semalam.
"...." kendati Jen masih belum menjawab rasa penasarannya, Agni tetap setia menempelkan ponselnya ditelinga, takut-takut ada percakapan yang akak dilewatinya, kalau dia lengah sedetik saja.
Sudah semenit berlalu sejak keheningan di antara keduanya, Agni dapat mendengar Jen yang mendesah panjang, "Elo gak baca pesan gue?" begitu katanya ketika tau Agni yang bahkan tidak tau tujuan dari perbincangan mereka kali ini. Padahal Jen sudah mengirim banyak sekali pesan, nyatanya memang gadis itu bukan hanya tidak menganggapinya—namun juga alergi untuk sekedar mengintip isi pesan darinya.
'ah jadi lelaki itu melakukan sudah lebih memberitahunya di pesan'. Bukan apa tapi memang Agni sangat besar enggan membuka room chat milik Jen, takut saja kalau tiba-tiba jarinya mengetikkan balasan yang akan disesalinya nanti. Ingat Agni sedang berusaha move on, meminimalisirkan komunikasi juga merupakan syarat yang penting.
"Gak." begitu akhir dia menjawab, lagi pula memang itu kenyataannya, kalau Jen tidak terima—Agni juga tidak akan mempermasalahannya.
Lagi-lagi Agni dapat mendengar helaan napas dari bibir pria bermata indah itu, sudah tentu Jen pasti mengumpatinya dalam hati, tapi masa bodoh—Agni tak peduli juga kalau Jen harus marah.
"Lo masih inget Aslan?" pertanyaan Jen membuat raut wajah Agni semakin kecut, kenapa pula harus membahas Aslan, salah satu temannya yang pindah karena kasus pembulian dulu.
"Sumpah ya Jen, kalau lo emang mau basa-basi gue gak ada waktu..!" jawaban ketus Agni membuat Jen pusing bukan main. Masalahnya maksud yang disampaikan akan aneh kalau tidak melalui proses basa-basi dulu. Jadi tolong jangan terus menyudutkannya hanya karena Jen bingung juga bagaimana menyampaikan maksudnya.
"Denger dulu Ag, elo bisa gak sih gak emosi terus?" Jen bertanya ringan dari seberang, tak tau saja muka Agni sekarang sudah tertekuk masam. Kalau-kalau Jen ada di depannya pasti sudah Agni cakar sejak tadi wajahnya. Agni pikir Jen merasa bersalah atas kejadian tempo hari di kafe dan berniat meminta maaf padanya. Karena meskipun Agni enggan membahas perihal masa lalu dengan Jen, nyatanya hati kecil Agni masih menginginkan laki-laki itu untuk berjuang untuk mendapatkan maaf darinya.
"Ya emang kenapa si sama Aslan?" tanya nya sok galak, sementara Jen terus mengelus dadanya berusaha sabar.
Jen mencoba berdiskusi dengan otaknya, berusaha merangkai kalimat yang sekiranya tidak membuat gadis itu terus melempar kata-kata sinis padanya, meskipun sebenarnya Jen sudah tau resikonya ketika memutuskan untuk menelepon Agni. "Aslan ada di Bandung Ag, kemarin gue sama Hara ke kafe dia di sekitar Juanda, dia pengen ketemu lo, makanya gue mau tanyain elo mau gak ketemu dia?" kata Jen hati-hati, namun sampai beberapa detik dirinya belum menerima jawaban apapun, baru saja mulutnya terbuka ingin mengatakan susuatu—teriakan Agni dari seberang membuat Jen hampir melempar ponselnya sendiri.
"ASLAN DI BANDUNG.?!" Agni yang baru sadar dengan informasi dari Jen, sampai lupa dengan imagenya yang harus menjadi perempuan cool dihadapan Jen. Berusaha menetralkan dirinya sendiri. Agni menarik napas beberapa kali. Baru kemudian kembali menanyakan kebenaran informasi yang diterimanya barusan. "Elo serius kan Jen.. ? gak boong kan lo..? Awas aja kalau boong..!!" Agni berusaha menampilkan suara garang seperti tadi, tapi sepertinya dia gagal, terbukti dari kekehan ringan yang keluar dari mulut Jen. Sungguh Agni ingin menggelamkan dirinya saja.
"Jadi gimana lo mau ketemu dia gak?" tanya Jen jail. Oh jelas Agni mau sekali bertemu dengan Aslan. Salah satu teman laki-laki yang cukup dekat dengannya dulu, seperti Jen dan Hara.
"Kasih tau gue di mana alamat kafenya, ntar ku samperin ke sana.!"
"Kata siapa elo bisa ke sana sendiri, kalo lo mau ketemu Aslan berarti lo setuju pergi bareng gue"
HELL NO
Rules apa itu yang mengharuskan Agni untuk pergi bersama Jen kalau mau berjumpa dengan Aslan. Sumpah mati Agni jelas menolak ide konyol yang sungguh.sangat.tidak.masuk.akal.tersebut.
"You must be kidding me..!"
"Oh off course no babe, Thats the rules, elo punya pilihan ikut atau enggak, it's up to you." kenapa Agni bisa merasakan Jen sedang menyeringai di sebrang sana, dan apa-apaan itu memanggilnya babe sejenak jidat, dia pikir Agni akan baper.
"Fine, gue bisa cari tau sendiri atau gak gue bakal tanya Hara..!!" balasnya tak mau kalah.
"You know what babe, gue bisa tutup semua informasi untuk gak sampe ke elo, dan Hara it's not a big deal, seriously Agni, Hara it's on my side, believe it or not.!" Harusnya Agni sudah terbiasa mendengar kalimat sombong plus menyebalkan dari bibir Jen, mengingat sudah sangat lama dirinya mengenal laki-laki itu, tapi tetap saja mendengarnya saat ini di saat kondisi hatinya tak baik-baik saja jelas emosi Agni sudah sampai ke ubun-ubun.
Rasanya dia harus berteriak, atau Agni bisa positif gila kalau harus menahannya semenit saja, di lemparkannya ponselnya asal ke atas kasur, lalu Agni berteriak tiga kali sekuat tenaga untuk melepaskan segala penat, kesal, dan emosi yang sudah ia tahan-tahan sejak dua hari yang lalu.
Jen yang mendengar Agni berteriak, bukannya takut—tawanya justru lepas membayangkan ekspresi yang Agni pasang saat berteriak kencang tadi.
"Fine, kapan lo bisa bawa gue ke sana..!"