Jen beberapa kali memukul setirnya keras, membunyikan klakson terlalu sering, bahkan memaki beberapa pengendara yang sebenarnya tidak sepenuhnya salah.
Suasana hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bagaimanapun ingatannya melayang tentang dirinya yang harus meninggalkan Agni seorang diri di kafe demi seorang tamu tak diundang yang Aslan tau ada di gedung apaetemennya saat ini.
Ketika menerima telepon dari ibunya, Jen tidak pernah berpikir bahwa perempuan itu nekat mendatanginya ke Bandung. Meski status di antara mereka membuat perempuan itu berhak, tapi Jen tidak pernah rela membuat Agni kembali menatapnya bengis setelah ini.
"Sialan..!"
****
Begitu tiba di gedung apaetemennya, Jen menuju lobi karena tau persis perempuan itu—Lavinka—menunggunya di sana. Dan persis seperti yang dia pikirkan, Lavinka ada disana, dengan dengan dress hitam berlengan balon—duduk dikursi yang tepat berada di samping jendela besar.
"Jen...." katanya beseru nyaring, setelah sadar akan keberadaan Jen. Lavinka dengan segera berlari kecil ke arah Jen, lalu memeluk Jen erat. "Aku kangen..." ujarnya berbisik manja, tapi Jen masih enggan menanggapi, bahkan pelukan sang gadis juga dibiarkannya begitu saja, Jen malas membalas tapi juga tidak berusaha melepaskan.
Begitu sadar tak ada gubrisan dari Jen, Lavinka melonggarkan pelukannya namun tanggannya masih mencekal kedua lengan Jen, enggan untuk benar-benar menjauh.
"Jen kamu marah?" Lavinka bertanya dengan gurat sedih, mau tak mau Jen sedikit merasa bersalah, bagaimanapun dia lah antagonis yang sebenarnya, gadis ini hanya salah satu pemain dengan watak yang tak baik, namun sayang harus terjebak dengan ketidaktegasan Jen atas perasanya sendiri.
Jen menarik tangan perempuan itu, untuk ikut ke unit miliknya. Meski banyak yang ingin laki-laki itu utarakan pada Lavinka, tetapi mencari tempat yang lebih privat adalah pilihan yang tepat.
Ketika memasuki unit milik Jen, Lavinka masih enggan berjauhan dengan laki-laki itu, bahkan setelah mereka sudah berada di ruang tamu unit Jen, Lavinka justru semakin agresif memeluk Jen dari belakang, "Kamu marah beneran karena aku ke Bandung?" Katanya kembali bertanya.
Jen mendesah berat, lalu melepas paksa tanya Lavinka yang melingkar erat di perutnya, lalu berbalik menghadap perempuan itu dengan tatapan yang terkelibat oleh emosi, "What do you want Lavinka..? Gue udah pernah bilang kalau elo mau kesini, lo harusnya hubungi gue dulu...Not my mom.!" Jen berujar dingin. Meski dia sudah berusaha berkata sesantai mungkin, mulutnya tetap mengeluarkan intonasi yang ketara dengan kemarahan di dalamnya. Jen bahkan bisa melihat gadis itu sedikit ketakutan, lihatnya dari geraknya yang spontan mundur beberapa langkah menjauhinya.
"Aku kangen..." Lavinka berujar pelan, "Kamu bahkan udah gak ngehubugin aku lama Jen, a month. No, more than that. Kalau dulu aku masih bisa samperin kamu rumah, sekarang kita jauh...Jadi mau gak mau aku harus ke sini." Lavinka menjelaskan sedih.
Sulit untuknya yang sudah minim menerima afeksi Jen sebelum mereka memulai hubungan jarak jauh kini harus kembali menahan sedih kala laki-laki semakin tampak acuh pada hubungan mereka berdua. Status pacaran yang mereka jalin, tak membuat laki-laki menjadi hangat, justru menjadi semakin sulit di jangkau.
"Lain kali lo tetep harus hubungi gue dulu kalo mau ke sini." Jen mengucap tegas. Tak berusaha menjelaskan keabsenan dirinya yang tak pernah berusaha berkomunikasi, tapi Jen bisa apa, dia sulit untuk melepas tapi juga tak pernah benar ingin mempertahankan. Jen selalu tau bahwa dirinya bajingan yang egois, membuat dua orang perempuan sakut hati karena ulahnya. Tapi Lavinka adalah yang terbaik menurut versi keluarganya, dan Jen sang anak penurut tak mampu membuat protesan untuk menentukan pilihannya sendiri.
Nenek Jen pernah mengatakan padanya, bahwa Lavinka adalah gadis yang serupa dengan ibunya, cantik, keibuan, pintar masak, ramah dan anggun. Sosok yang kelak dirasa mampu menjadi pendamping hidup Jen, meski awalnya keberadaan Lavinka hanyalah alat untuk Jen menyakiti hati Agni. Dan Jen tidak pernah memprediksi bahwa membawa Lavinka ke pertemuan keluarga adalah awal mula ketidaknerdayaannya untuk memperjuangkan perasannya.
Sejak awal Jen tidak pernah tau apa yang membuat neneknya tidak menyukai sosok Agni, meskipun perempuan itu sudah lama bersahabat dengannya, dan sudah sering ada di acara besar keluarganya, tapi neneknya dengan ketara menunjukkan ketidaksukaanya, bahkan ketika Jen menegaskan hubungan mereka hanya bersahabat.
"Iya aku gak akan gitu lagi.. I'm sorry babe.. Maafin.."
Jen tersadar dari lamunannya, bahkan dia juga sadar bahwa perempuan itu kini justru sibuk menggoyang-goyangkan lengannya manja. "Fine, elo udah makan?" pada akhirnya Jen menyerah dengan emosinya, hati kecilnya tidak sejahat itu untuk terus mendiami Lavinka. Meski terkenal sebagai bajingan yang suka memainkan hati perempuan, Jen Masihlah seorang manusia yang punya iba dan rasa tak tega. Atau bisa dibilang sisi kemanusiaan yang lumrah ada pada setiap insan sekejam apapun orang itu.
Mendengar pertanyaan Jen yang sarat akan perhatian, jelas membuat Lavinka girang bukan main. Dengan cepat dirinya menggeleng dan mempoutkan bibirnya, membuat gestur lucu kepada sang pacar.
"Tinggu di sini gue buatin sesuatu."mata Lavinka kian menunjukkan kebahagian yang bertuni hari ini. Meski masakan Jen bukan yang terbaik yang pernah dia rasakan, tapi masakan dari Jen selalu menjadi favoritnya sepanjang masa.
Tak menunggu respon Lavinka, Jen menuju dapur apartemennya dan mulai mengeluarkan bahan dari kulkas untuk diolah. Dia memang bukan expert tapi setidaknya kudapan Jen masih bisa membuat orang jatuh hati pada masakannya. Mungkin sekarang dia akan membuat pasta, menu yang paling sering dia buat belakang ini.
Tak lama dia melihat Lavinka datang menyusul.
"perlu bantuan?" tanyanya sembari melihat bahan-bahan yang sudah Jen siapkan di meja.
"No need, elo duduk aja disana," tunjuk Jen pada kursi meja makan yang tak jauh dari dapur, "nanti kita makan sama-sama."
Lavinka tersenyum manis mendengarnya, sebelum menuruti kata-kata Jen yang memintanya duduk dikursi, Lavinka membubuhkan kecupan singkat di pipi laki-laki itu.
Dan Jen, yang terlalu terkejut tak mampu berkomentar banyak, sekali lagi saat hatinya berteriak menolak, logikanya kembali menahan Jen untuk memberontak.
****
"You're cook always sayang.." Lavinka menatap Jen sumrimgah.
"Thanks Lav, glad you loved it." Jen membalas dengan senyum tipis. Jen selalu bahagia kalau ada seseorang yang memuji hasil kerja kerasnya. Seperti yang Lavinka lakukan barusan. Meski perempuan itu suka memberikan pujian padanya— hanya untuk mencari muka—tapi kali ini Jen tak bisa mangkir bahwa pujian barusan tulus memang apa yang dirasakan olehnya.
"Thanks udah mau masakin, aku selalu takjub sama masakan kamu. Bikin aku minder." satu lagi hal baik dari perempuan ini, meski memiliki watak menyebalkan, Lavinka tak pernah lupa mengucapkan maaf dan terimakasih padanya untuk hal-hal kecil. Sesuatu yang simpel tapi kerap dilupakan orang lain, karena dianggap tidak penting.
Tapi meski sudah mengenal sosok Lavinka cukup dekat dan meski Jen tau bahwa Lavinka tidak seburuk yang dikatakan teman-temannya. Tetap saja hati Jen tidak bisa merasakan apapun untuk perempuan ini. Hatinya tak pernah senyaman saat bersama dengan Agni.
"Kemarin, aku ketemu sama temen-temen geng kamu, mereka masih sedih karena kamu milih untuk kuliah di sini dan ninggalin mereka di sana."
"Kita bukan bocah yang apa-apa harus bareng dan gak bisa pisah." Jen selalu sensitif saat keputusannya membuang kesempatannya untuk kuliah disalah satu Universitas terbaik di Jakarta justru dia korbankan, dan lebih memilih kuliah di kampusnya yang sekarang di ungkit orang lain.
"hmm... Tapi bukan cuma mereka Jen yang kecewa, aku juga kecewa.. Padahal kita bisa satu kampus, tapi kamu malah milih pergi kesini." ujar Lavinka terus terang.
Mendengar perkataan gadis ini, rahang Jen kembali mengeras. Sudah ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia menelan kembali kata-katanya dalam hati.
'Karena yang buat gue nyaman ada disini' rapalnya dalam hati.
"Apa karena Agni ada di sini?" tanya Lavinka tepat seolah dapat membaca pikiran Jen.
Mendapat pertanyaan yang seolah dapat membaca isi hatinya, membuat muka Jen memucat tanpa bisa dia kontrol, buku-buku jarinya sudah memutih di bawah meja makan, mencoba menahan emosinya yang selalu naik, kala topik sensitif ini dibuka kembali.
"What do you mean Lav?" laki-laki itu berujar dingin, tapi Lavinka juga tak lagi mampu menaham rasa penasaran yang mengganggynya setiap malam.
"I know Jen, kamu juga udah benci sama Agni.", "Aku juga tau temen-temen kamu gak pernah ada yang suka sama aku, Evan, Daryl, Arka, mereka selalu bilang kamu ke Bandung karena Agni, meskipun aku sadar itu gak mungkin bener, tapi aku gak bisa gak kepikiran." Jelas Lavinka panjang lebar.
'Brengsek'
Dalam hatinya, Jen tak henti menyumpah-serapahi teman-temannya yang sialan itu. Bagaimana mungkin mereka mengungkapkan hal terlarang itu pada Lavinka. Setelah ini ingatkan Jen untuk membuat perhitungan pada mereka bertiga.
"Jen itu gak bener kan?" Lavinka bertanya kembali, matanya sorot akan permohonan. Tapi jawaban Jen setelahnya telak menamparkan sampai ke ulu hati.
"Kalau yang meraka bilang itu benar, elo mau gimana?" untuk sesaat Lavinka bahkan melihat bibir Jen yang melengkung, memberikannya senyuman miring mengerikan.