Seumur hidupnya, Jen tidak pernah merasa kesulitan dalam apapun. Seorang anak tunggal dari keluarga berada membuat Jen tak perlu bekerja terlalu keras untuk mencapai keinginannya.
Apa yang Jen inginkan maka tak lama dia akan mendapatkannya. Kedua orang tua Jen juga akan selalu mengusahakan apapun untuk memenuhi permintaan anak mereka satu-satunya. Hal ini terkadang membuat Jen lupa, lupa bahwa segala sesuatu yang terlihat sempurna, bukan berarti dia memang begitu adanya. Kecacatan yang tidak tampak justru lebih menyakitkan ketika kita sadar bahwa apa yang terlihat nyatanya bukan seperti itu. Dan itulah yang Jen alami.
Memiliki segalanya, membuat Jen hidup dalam topeng kala menduduki tahtanya. Pewaris perusahaan yang digadang-gadang akan memiliki kesuksesan di masa depan membuat Jen hidup tak hanya untuk ekspetasinya sendiri, namun juga dalam sangkar ekspetasi orang lain. Jen bahkan tak lagi ingat kapan ia memiliki impian, kerena sibuk menjadi sempurna untuk mimpi-mimpi orang-orang terdekatnya.
Jen terbentuk sebagai lakon dalam perjalanan hidupnya. Seperti aktor yang memainkan peran, Jen tak bisa secara gamblang menunjukkan emosinya dihadapan orang lain.
Kesempurnaan yang orang lain nilai padanya, membuat Jen tak pernah lagi merasa apa itu ketulusan, bahkan dari ayah dan ibunya sendiri. Hanya Agni lah yang mampu meruntuhkan tembok kokoh yang ia bangun. Jen selalu bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama gadis mungil itu. Agni adalah seorang perempuan yang dekat dengannya tanpa maksud, dia berada disisi Jen karena dia memang ingin berada di sana. Tapi semua berubah ketika Jen menjadi kalut hanya karena kenyataan baru yang dia tak pernah bayangkan ada diantara mereka. Agni yang menyimpan rasa, Agni yang menyukai ya, Agni yang diam-diam cinta membuat Jen tak lagi dapat berpikir jernih dan justru memilih mendepak gadis itu untuk menghilang dari hadapannya.
Dalam renunangannya yang tak berkesudahan Jen bahkan tak sadar ketika kursi di depannya sudah diisi seseorang,
"You look awfull dude!" Jen terkesiap sesaat, sebelum mendengus malas pada orang dihadapannya ini.
"Jadi, kenapa lo minta gue ke sini?" orang itu berucap lagi, ketika mendapati Jen yang masih enggan bersuara, dan hanya diam mengaduk latte-nya asal.
"I was fucked up." Jen mengucap kering, matanya menampilkan emosi kesedihan dan penyesalan.
Hara, orang yang sejak tadi menjadi lawan biacar Jen, mengangguk pasti—menjawab sarkastik, "I can see it," tentu saja Hara merasakan ketidak berdayaan Jen, lihat saja penampilannya hari ini yang terlihat bukan Jen sekali, bahkan kantung mata Jen sudah terlihat sangat mengerikan, apakah lelaki ini terjaga semalaman—pikir Hara.
"don't tell me ini ada hubungannya sama hunting kemarin?" Jen mendongak cepat menatap lawan bicaranya, namun tak lama kembali mengalihkan pandangannya. Tanpa konfirmasi dari Jen, Hara jelas tau apa jawabannya.
"Gue hampir ngamuk ke elo kemaren dude, lo tau? Gue ngerasa Alka udah mulai nyaman berdua sama gue dan tiba-tiba Agni datang dan nyeret Alka ngajak cabut. Sial! " ucapan Hara jelas menampar telak Jen, kembali teringat bagaimana Agni pergi menjauh dari cafe setelah berdebat dengannya. Bahkan Agni langsung mengajak Alka pulang menggunakan taksi karena enggan bersama satu mobil dengan Jen.
"sorry"
".... " Hara menatap Jen ngeri, seorang Jen meminta maaf bukan sesuatu yang bisa membuat mu senang, justru terlihat mengerikan ketika laki-laki ini bersikap tidak seperti dirinya sendiri. "owowww.. Don't sorry me man, what wrong with you.. It's that really bad?"
"Gue cuma minta maaf, reaksi lo berlebihan" Jen mendecih pelan sebelum menyeruput latte-nya yang sudah ia aduk ratusan kali.
"Yeah, i just--you know?? Surprise—"
"I can see it," Jen mencibir, meng-copy nada bicara milik Hara.
"Sialan", umpatan Hara justru membuat Jen tertawa puas.
Hara mendesah lega, setidaknya sohibnya tidak benar-benar menjadi makhluk melankolis seperti yang dikhawatirkan.
"Gue mau nemuin lo sama seseorang" ucapan Jen jelas membuat Hara melotot dan menatap tak senang, apa-apan itu, bukannya Jen tau dia sedang mengusahakan cintanya pada Alka saat ini.
Jen yang diberikan tatapan tidak bersahabat, ikut mendelik, "What's wrong with you're ugly face?"
"Gue gak minat, lo tau gimana gue ke Alka sialan..!"
"What?" Jen masih tidak habis pikir dengan sahabatnya ini, kenapa harus sesinis itu padanya, jelas dia tidak melakukan apapun disini—dan Jen lebih dari sekedar tau kalau Hara hanya mencintai Alka tanpa harus diingatkan lagi.
"Gue emang mau lo ketemu sama seseorang, look orangnya lagi jalan ke sini sekarang" Hara bungkam tak membalas apa-apa. Namun dari rahangnya yang mengeras dan tangannya yang dikepalkan di atas meja, Jen sadar laki-laki sedang menahan emosi—yang Jen masih tak habis pikir kenapa Hara harus marah.
Hara sudah akan melempar meja ini pada Jen, sebelum suara ringan seseorang menyapa keduanya,
"Hey bro, sorry gue sibuk di dapur." seseorang laki-laki dengan pakaian seperti seorang koki menarik kursi di samping Jen sebelum duduk di sana.
Jen yang melihat raut bingung sahabatnya, tersenyum miring—sepertinya Hara salah menangkap maksud Jen yang bekrta hendak mengenalkannya pada seseorang.
"No, it's okay Man. Cafe lo juga lagi rame gue liat-liat" jawab Jen ringan dan matanya berpendar mengamati suasana Cafe berkonsep industrial minimalis milik temannya ini.
Sang koki melepaskan kancing teratas dari pakaiannya, sepertinya pakaiannya membuatnya merasa sedikit sesak,
"Kalo weekend emang gue gak dikasih jeda buat istirahat sih bro." jawab sang koki jenaka. Hara masih clueless dengan yang terjadi di depannya, pikirnya Jen mau mengenalkannya dengan seorang gadis dengan tujuan-tujuan seperti mencomblangkan—tapi sekarang bahkan yang duduk di hadapannya ini seorang laki-laki berpakaian koki yang diperkirakan Hara memiliki hubungan dengan Cafe ini. Hara masih betah memerhatikan dua orang yang sibuk bertukar sapa dihadapannya yang bahkan seperti melupakan keberadaannya di sini, Hara yang sibuk meneliti sang koki ikut berdenyit samar—laki-laki asing ini tampak begitu familiar diingatkannya, namun lagi-lagi Hara gagal menangkap siapa kiranya orang ini.
Ketika laki-laki tak sengaja menangkap keberadaan Hara yang sedang intens menatapnya, wajahnya terlihat terkejut menatap tak percaya, dan Hara hanya bisa memberi senyum canggung karena tertangkap basah sedang memperhatikannya.
Laki-laki itu kemudian berdiri heboh, dan memekik kecil, "Lo.. Lo Hara kan?"
Hara yang masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi hanya bisa mengangguk bingung karena sang koki jelas mengenalkan, berarti memang bukan hanya tampak familiar namun Hara benar-benar mengenal laki-laki ini. Tapi ingatan Hara lagi-lagi tak membantu sama sekali.
"Gue Aslan, lo pasti lupa." laki-laki itu berbicara dengan senyum yang masih belum lepas dari wajahnya.
"Gue selalu pengen ketemu sama lo dan Jen lagi, dan akhirnya gue bisa berterimakasih sama kalian lebih proper."
Jen yang melihat raut wajar bingung ketara Hara, mencoba membantu menjelaskan, "Lo inget gak? Waktu kita SMP ada anak yang dirundung, terus kita tolong sampe babak belur waktu itu." Hara mengangguk-angguk tak yakin, otaknya masih berusaha mengulik-ngulik masa-masa SMPnya di Jakarta dulu.
"Si mata empat?" tanyanya tak yakin.
"akhirnya lo inget juga, gue selalu mau berterimakasih sama lo dan Jen karena tanpa lo berdua gak mungkin gue bisa kayak sekarang." Aslan mengucap haru, wajahnya selalu tampak berkaca-kaca kalau dipaksa mengingat masa-masa kelamnya dulu. Menjadi korban buli di usia muda membuat Aslan hampir melakukan percobaan bunuh diri. Beruntung hal itu digagalkan oleh Hara dan Jen yang kebetulan memergoki aksi nekatnya di rooftop sekolah mereka dulu.
Jen dan Hara juga membantu Aslan mengungkapkan aksi perundungan yang dilakukan oleh kakak kelas mereka pada Aslan, hal ini pula yang membuat Jen dan Hara sering kali terlibat perkelahian hingga membuat wajah keduanya babak belur. Namun ketika mereka mulai dekat satu sama lain, orang tua Aslan memilih memindahkan anaknya ke Bandung untuk memulihkan traumanya.
"Lo... Beda banget" hanya kalimat singkat yang mampu terucap dari bibir Hara. Sesungguhnya pertemuan dengan Aslan adalah sesuatu yang tak pernah Hara duga. Aslan adalah seseorang yang pernah ditolongnya di masa lalu, Hara sudah lupa jujur saja. Namun saat ingat dulu ia dan Jen pernah berlaku heroik untuk menolong orang lain rasanya Hara tampak sedikit senang dengan kenyataan itu.
"Setelah pindah ke Bandung, gue berusaha keras untuk sembuh dari trauma, gue juga diminta untuk gak menjauh dulu dari orang-orang di masa lalu gue makanya gue gak hubungi kalian lagi setelah gue pindah. Tapi setelah gue dinyatakan sembuh, ternyata kontak kalian sudah gak aktif—gue sempet ke Jakarta, tapi gue cuma ketemu sama Jen—"
"Lo udah gak di Jakarta waktu itu." Jen memotong, ikut menjelaskan pada Hara.
"Gue seneng banget waktu Jen bilang lo juga ada di Bandung" senyum tulus Aslan masih belum lepas sedari tadi. Bertemu dengan dua orang yang berperan penting dalam perubahan hidupnya membuat Aslan bersyukur dan bahagia di waktu bersamaan.
Hara yang melihatnya ikut tertular dan juga mengulas senyum tulus, dirinya benar ikut senang melihat transformasi dari Aslan yang dulu pada dirinya yang sekarang, Aslan tak hanya terlihat baik diluar namun laki-laki itu juga tampak baik di dalam, tidak seperti dulu—Aslan tak pernah berani menatap lawan bicaranya, selalu tampak tidak percaya diri, tapi sekarang Aslan bahkan tampak dipenuhi aura positif. "Lo beneran jadi koki sekarang." kata hara, mengingat Aslan pernah sekali membeberkan cita-citanya itu saat mereka sudah lumayan akrab.
Aslan tertawa menanggapi, ternyata Hara masih mengingat impian Aslan dulu, "Hahaha.. Gue sendiri juga gak nyangka."
Jen merangkul bahu Aslan dan ikut tersenyum samar, "Gue inget lo selalu masakin kita bekal dulu, harus gue akuin masakan lo lebih enak dari masakan pelayan dirumah gue", Mencoba mengingat kembali bekal-bekal yang rajin Aslan bawakan untuk mereka sebagai rasa terima kasih karena sudah mau berada di sisinya sebagai teman pertama yang Aslan miliki dalam hidupnya.
Hara jadi ikut bernostalgia saat Jen memgungkit masalah bekal, benar bahwa masakan buatan Aslan sangatlah nikmat dan tak kalah dari masakan ibunya dirumah, "Dessert buatan lo juga gak kalah hebat, gue inget banget Agni suka banget sama tiramisu buatan lo."
Mendengar satu nama dari mulut Hara, Jen mematung ditempat barang sesaat. Kalau diingat lagi memang bukan hanya Jen dan Hara yang ada di samping Aslan saat itu, Agni juga menjadi salah satu orang yang mau berteman dengan Aslan.
"Ah.. Bener Agni, kalau inget Agni rasanya jadi kangen haha.." cetelukan Aslan sebenarnya bukan bermaksut apa-apa, namun tetap saja Jen merasa tak nyaman ketika kata 'kangen' keluar dari mulutnya.
Hara yang menjadi pihak yang lebih dulu mengungkit masalah tiramisu dan Agni menjadi sedikit merasa bersalah pada Jen, padahal dia tau Jen sedang dalam fase muram karena Agni, dan ia justru membawa gadis itu masuk dalam obrolan. Tapi berani sumpah Hara tak pernah bermaksud untuk membawa-bawa nama Agni dalam perbincangan mereka, dia hanya spontan menyebutkan apa yang terlintas dalam ingatannya.
"Agni masih kayak dulu gak sih, bawel dan galak?" Aslan bertanya basi-basi kepada Hara dan Jen. Dalam ingatan Aslan, Agni selalu menjadi pencair suasana diantara mereka, Agni juga merakap sebagai suster dadakan kalau Jen dan Hara harus babak belur karena melindungi Aslan.
" masih, Agni selalu sama" Jen berujar pelan, "Lo mau ketemu Agni?" kali ini Jen melontarkan pertanyaan yang tak pernah Hara duga-duga sebelumnya.
"Agni di sini juga? Di Bandung?" Aslan bertanya balik, lebih antusias. Dan Jen, hanya bisa mengagguk pelan dan tersenyum samar.
"Gak heran sih, elo sama Agni kan emang gak pernah kepisah sejak dulu, gak heran kalo Agni juga sekolah di sini. Gue masih suka bingung kenapa sampe sekarang lo berdua belum jadian atau jangan-jangan emang lo berdua udah pacaran?" tunjuk Aslan pada Jen.
Jen hanya tertawa renyah menangapi pertanyaan Aslan barusan, kalau dipikir-pikir memang Jen dan Agni tidak pernah terpisah sejak dulu. Jen juga heran dengan dirinya sendiri yang bisa begitu bodoh–membiarkan Agni menjauh dari hidupnya.
"Gue gak pernah jadian sama Agni" Jen menjawab santai, "Kalo lo mau gue bisa bawa Agni kesini kapan-kapan?"
Aslan menggauk mantap, "sure, lo harus ajak Agni ke sini, nanti biar gue siapin tiramisu"
Jen tersenyum samar, "Agni pasti suka"
Ya Jen akan berusaha lagi untuk Agni, kali ini biarlah Aslan menjadi salah satu alasan untuknya bisa memiliki momen dengan gadis itu.
Hara yang menjadi pengamat sejak tadi hanya bisa mendesah pasrah karena tau dengan jelas maksud tersembunyi Jen yang bahkan tidak mencoba menjelaskan hubungan rumitnya dengan Agni saat ini pada Aslan. Sesaat, saat matanya dan mata Jen besitatap, Hara berani menjamin bahwa dia melihat Jen memberinya smirk yang mengerikan.