Perumahan Green City. Jakarta Utara. Pukul 17.00 sore.
Seminggu kemudian.
Seminggu telah berlalu. Cuaca diluar begitu panas meskipun jam sudah menunjukkan pukul 17.00 sore. Saat ini aku berada dirumah Bundaku karena semalam kami menginap.
Aku memilih duduk diatas tempat tidur sambil membaca novel islami yang sudah sangat lama. Aku menyukai cerita itu yang begitu romantis sampai-sampai aku membacanya tiga kali.
Rasa bosan melanda. Sebagai pengalihan aku meraih ponselku. Lalu aku teringat suatu hal, tentang Fara. Kali ini dilayar ponselku sudah terpampang nomor kontak milik Fara.
Perasaan gelisah semakin begitu menyiksa. Akhirnya aku turun dari tempat tidur dan berjalan mondar-mandir. Sebenarnya Fara dan Mas Fikri itu ada apa? Apakah terjadi sesuatu diantara mereka?
Aku kembali menatap layar ponselku yang sudah terkunci sandinya secara otomatis. Seketika aku terdiam melihat wallpaper ponselku saat ini. Ada foto wajah Mas Fikri yang lucu sambil memakan biskuit Teddy bear buatanku.
Aku mematikan ponselku lagi. Lalu aku duduk dipinggiran ranjang. Dalam diamku sekarang, aku memikirkan tentang Mas Fikri juga yang akhir-akhir ini membuatku heran. Ntah kenapa dia sering menempel kepadaku seperti perangko. Ya aku tahu, memang hal itu lah aku yang inginkan sejak dulu.
Aku cuma merasa heran kenapa tiba-tiba saja dia bersikap begitu? Sebelumnya dia sedikit cuek dan menghindariku. Jangankan menghindar, terkadang dia tidak bisa mengontrol emosinya sendiri. Terutama mengenai masalah pekerjaannya.
Aku sebagai istri hanya bisa memakluminya dan selalu menyuruhnya perbanyak istighfar agar hatinya tetap tenang dan tidak lupa berdoa pada Allah agar semua usahanya di permudah.
Kegelisahanku bukan hanya mengenai Mas Fikri. Tapi gelang wanita yang aku temukan seminggu yang lalu diruangan Mas Fikri. Gelang itu hilang setelah aku mengantonginya didalam saku gamisku.
Dalam hati aku selalu bertanya-tanya apakah Mas Fikri selama ini sadar kalau gelang couplenya itu hilang atau tidak?
Aku kembali berdiri sambil menggigit ujung kukuku dengan gelisah. Berbagai macam pertanyaan dan teka-teki memenuhi kepalaku semenjak Mas Fikri dan Fara yang tanpa sengaja aku melihat keduanya bersama.
"Asalamualaikum?"
Pintu terbuka sedikit. Aku menoleh kearah pintu. Ada Bunda berdiri disana dengan raut wajah senyuman ramahnya.
"Wa'alaikumussalam Bunda."
Bunda masuk ke kamarku. Lalu beliau duduk dipinggir ranjang sambil bersedekap.
"Ada apa Nak? Kamu terlihat gelisah. Semuanya baik-baik saja kan?"
Aku mengangguk. Berusaha menutupi hal yang sebenarnya. "Iya Bun. Em, Ayah mana?" tanyaku sebagai pengalihan.
"Ayah masih di restoran. Hari ini Ayah lembur karena di sana ada acara reunian keluarga besar gitu."
"Oh." Lalu aku memakai cadarku. Aku takut Bunda segera mengetahui mimik wajahku yang sedang gelisah. "Bun, Afrah mau kesebelah rumah ya."
"Tempat Fara?"
Aku mengangguk. "Iya Bun. Sebentar saja. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Dengan cepat aku keluar kamar meninggalkan Bunda yang mungkin saat ini bertanya-tanya tentang situasiku.
Aku sudah keluar rumah dan ntah kenapa saat ini situasi benar-benar kebetulan. Aku melihat Fara yang baru saja pulang dari suatu tempat.
"Fara!"
Fara menoleh lalu dia tersenyum kearahku.
"Afrah?"
Ya Allah. Kuatkan hamba. Sabarkan hati hamba. Fokus Afrah, fokus.
Aku berdeham. "Asalamualaikum Fara."
"Wa'alaikumussalam Af. Oh iya kabar kamu gimana? Sehat?"
"Alhamdulillah sehat. Euh, Fara.."
"Ya?"
Tiba-tiba aku sedikit ragu untuk bertanya. Aku bingung harus memulainya dari mana.
"Afrah, kamu baik-baik saja kan?"
Tenggorokanku ntah kenapa terasa kering. Tanganku keringat dingin. Aku merasa gugup dan jantungku berdebar-debar.
"Alhamdulillah aku baik Fara. Kamu dari mana?"
Fara tersenyum tipis kearahku. "Tadi aku bertemu dengan seseorang. Ada hal penting."
"Siapa?" tanyaku penasaran.
"Em itu." Tiba-tiba Fara tertawa hambar seperti sedang di paksakan. Aku melihat gesture tubuhnya yang sedikit gugup.
"Em bukan siapa-siapa Afrah."
"Apakah kamu baru saja bertemu dengan Mas Fikri?" ucapku akhirnya.
Fara terdiam. Bibirnya terkatup rapat. Ntah kenapa hatiku merasa yakin. Seketika hatiku terasa panas. Dalam hati aku berharap kalau pertanyaanku tadi tidak menjadi kenyataan.
"Aku juga mau tanya sama kamu Fara." ucapku tanpa basa-basi lagi.
"Kenapa kamu bertemu dengan Mas Fikri seminggu yang lalu dirumah Faisal? Apakah kamu dan Mas Fikri sedang terlibat dalam sebuah pekerjaan?"
"Afrah, aku-"
"Kenapa kamu memanggil nama suamiku dengan sebutan kata Mas?"
"Afrah. Itu aku-"
"Apakah kamu suka sama-"
"Cukup AFRAH!"
Aku dan Fara pun terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara lantang begitu nyaring. Sontak akupun menoleh ke belakang.
"Mas Fikri?"
Tanpa diduga Mas Fikri menarik pergelangan tanganku memasuki rumah. Air mata menetes di pipiku. Kenapa dia marah? Kenapa dia kasar begini? Bunda sedikit terkejut melihat kami dan tak banyak berkata.
Mas Fikri membawaku masuk kedalam kamarku. Kemudian mengunci pintunya. Lalu dia berbalik menatapku. Aku hanya menundukkan wajahku karena takut.
Suara derap langkah kaki terdengar. Mas Fikri berdiri di hadapanku.
"Apa yang kamu lakukan sama Fara tadi?"
"Hanya bertanya." ucapku lirih.
"Kenapa pertanyaanmu seperti wanita yang cemburu?"
"Cemburu tanda cinta. Apakah aku salah?"
Akhirnya aku memberanikan diri menatap suamiku yang baru saja pulang bekerja. Aku tahu dia marah. Dengan hati yang nyeri aku berusaha menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri.
Aku menarik pergelangan tangan Mas Fikri duduk di pinggiran ranjang. Dengan perlahan aku membuka kedua kaus kakinya. Tak hanya itu, aku pun membawakan segelas air untuknya.
Mas Fikri meminum air itu sampai habis. Tatapannya dipenuhi kilatan amarah. Aku membuka lemari dan meraih handuk bersih.
"Mas mandi ya. Sudah sore."
Mas Fikri tidak banyak berkata-kata. Dengan kesal dia berlalu menuju kamar mandi dan mengabaikanku. Setelah kepergiannya, air mata menetes di pipiku.
"Ya Allah, kenapa dia bersikap seolah-olah membela Fara daripada hamba?"
🥀🥀🥀🥀
Jakarta Utara, Pukul 22.00 malam.
Aku menatap langit yang kini dipenuhi bintang dimalam hari melalui jendela kamarku. Bayangan kejadian tadi sore membuat hatiku nyeri dan sesak. Rasa cemburu yang aku rasakan ini membuatku rasanya ingin marah.
Pintu terbuka. Suara langkah kaki terdengar. Dengan cepat aku menghapus air mata dipipiku. Aku membalikan badanku dan terkejut kalau posisi Mas Fikri sudah begitu dekat denganku.
"Mas.."
Tanpa diduga Mas Fikri memelukku dengan erat. Dia mencium pucak kepalaku. Lalu tangannya mengusap punggungku dengan lembut.
"Mas masih marah?"
"Maafkan aku." bisik Mas Fikri pelan. "Tidak seharusnya aku kasar padamu. Aku hanya terbawa emosi dari urusan kantor. Tidak seharusnya aku bawa begitu sampai dirumah."
Aku mendongakkan wajahku menatapnya. "Minta maaf sama Allah Mas. Afrah hanya amanah dari Allah buat Mas. Bila amanah dari Allah Mas Fikri menyakitinya, segera mohon ampun. Afrah hanya takut Allah tidak ridho sama Mas."
Dengan lembut Mas Fikri mencium keningku. Lalu dia menggendong tubuhku keatas tempat tidur. Ntah kenapa jantungku berdebar sangat kencang.
"Kamu masih datang bulan?" bisiknya tepat didepan wajahku.
Seketika aku merona merah. "Em, kebetulan Afrah lagi masa subur hari ini Mas." ucapku malu-malu.
Dia tersenyum. Masya Allah. Dia sangat tampan. Wajahnya sangat dekat denganku. Bahkan akupun bisa melihat iris biru laut yang membuatku terpana sejak pertama kali bertemu.
"Em Mas?"
"Hm?"
"A-afrah boleh ke.. dapur dulu?"
"Ngapain?"
"Tiba-tiba Afrah haus."
"Haus atau gugup." bisiknya pelan sambil tersenyum geli.
Ya Allah, hatiku semakin berdebar. Apalagi Mas Fikri barusan menggodaku. Kenapa pesona Mas Fikri semakin tampan berkali lipat malam ini?
"Em a-Afrah. Afrah... "
Lalu dia tertawa dan duduk di pinggiran ranjang.
"Yasudah minum dulu sana."
Aku tak banyak berkata-kata lagi karena akhirnya segera keluar kamar. Jantungku rasanya mau copot. Apakah Mas Fikri akan ikhlas melakukannya denganku malam ini?
Aku hanya bisa bersyukur. Setelah satu bulan menikah Alhamdullilah Mas Fikri sudah tidak ragu lagi denganku.
Tanpa menunda waktu lagi akupun segera meminum segelas air untuk meredakannya rasa gugup dan tenggorokanku yang kering.
Dengan grogi aku kembali menuju kamar. Hanya memegang kenop pintu saja rasanya sudah panas dingin.
"Bismillahirrahmanirrahim." ucapku dalam hati.
Pintu terbuka. Aku pun segera memasuki kamarku. Tidak lupa aku mengunci pintu kamarku. Lalu aku melihat Mas Fikri memunggungiku.
Dia berdiri didepan rak buku dan novelku.
"Mas?"
Mas Fikri menoleh kearahku. Ditangannya ada sebuah novel fantasi. Ntah kenapa raut wajahnya terlihat menegang.
"Mas?"
"Apakah novel ini milikmu?"
Aku mengangguk dan hatiku diliputi rasa cemas. "Em i-iya Mas. Kenapa?"
Lalu Mas Fikri membuka halaman pertama. Dia berjalan kearahku.
"Reva Sintia. Tertulis dinovel ini."
"Em Mas. I-itu aku-"
"Apakah novel ini punya kamu?"
Aku mengangguk dengan takut. "I-iya Mas."
Tanpa diduga dia melemparkan novelku begitu saja diatas tempat tidur. Aku melihatnya mengepalkan kedua tangannya. Dengan perlahan dia memundurkan langkahnya. Wajahnya terlihat pucat dan syok. Bahkan kini tatapannya terasa dingin dan menusuk kearahku.
"Mas. A-aku bisa jelasin-"
"Apakah kamu sudah puas sekarang Rev?"
🥀🥀🥀🥀
Ayo bernapas lah kalian. Aku tahu kalian deg-degan
😳
TAHAN GAK SAMPAI ENDING?
🤣
makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian ya. Ayo jangan lupa genggam tisu loh mulai next chapter 😆
With Love 💋
LiaRezaVahlefi
lia_rezaa_vahlefii