Apartemen Casanova. 16.00 sore.
"Ya Allah. Berilah hamba kesabaran dalam ujian yang Allah berikan. Sesungguhnya hanya kepada Allah hamba bergantung atas semuanya."
"Ya Allah, jadikanlah hamba seorang istri yang baik agar bisa sabar menghadapi suami hamba saat ini."
"Ya Allah, bukakanlah pintu hati suami hamba agar bisa menerima hamba dengan ikhlas."
"Aamiin."
Sholat ashar baru saja selesai. Aku melepas mukenaku dan melipatnya dengan rapi. Pipiku masih basah oleh air mata. Tapi aku memaksakan diri untuk bergerak mendatangi suamiku.
Aku menuju ruang tamu. Aku melihat Mas Fikri tidur diatas sofa dengan menutup sebagian wajahnya menggunakan lengannya. Alhamdulillah, pakaiannya sudah berganti setelah aku mempersiapkan semuanya.
Bubur diatas meja sudah dia makan setelah aku membuatkannya karena dia sakit. Mas Fikri terkena alergi karena makan udang 3 minggu yang lalu. Tak hanya itu, tubuhnya juga terasa demam.
Aku tahu saat ini ada masalah diantara kami. Tapi aku mengesampingkan hal itu dengan lebih mengkhawatirkan suamiku yang sedang sakit.
Aku bisa saja marah. Aku bisa saja kecewa. Tapi ntah kenapa aku tidak bisa melakukan hal itu jika didepan Mas Fikri. Dengan perlahan aku menundukkan tubuhku hanya untuk memegang keningnya yang masih hangat.
Ya Allah. Aku sangat khawatir dengannya.
"Mas.."
Sayup-sayup Mas Fikri membuka kedua matanya. Lalu dia terlihat tidak suka dengan keberadaanku. Tanpa diduga dia bangun dan berdiri meninggalkanku.
"Mas-"
"Aku baik-baik saja Reva. Jangan mengkhawatirkanku." ucapnya dingin dan enggan menoleh kearahku. Aku mengejar langkahnya.
"Tapi Mas sakit. Kita harus ke dokter. Alergi Mas bisa parah."
"Aku sibuk. Malam ini mau berangkat ke Samarinda."
"Boleh Afrah-"
"Tidak."
Aku terdiam. Hatiku terasa perih. Belum saja aku selesai bicara dia sudah memotongnya duluan. Aku tidak bermasalah jika memang aku tidak boleh ikut. Tapi apakah aku bisa tenang bila Mas Fikri pergi dalam keadaan sakit?
Mas Fikri memasuki kamarnya. Dan lagi, aku mengejarnya. Tak hanya itu, dia mengabaikanku dengan memasuki sendiri pakaiannya kedalam koper.
"Sini biar Afrah saja yang siapin."
"Tidak usah."
"Mas sakit butuh istrirahat."
"Jangan perdulikan apapun padaku Reva."
"Tapi Afrah-"
"Aku sudah pusing tolong jangan mendebatku. Apakah kamu TULI?!"
Astaghfirullah. Aku terkejut. Dia membentakku dengan nada suaranya yang meninggi. Aku berusaha menahan diri agar tidak lemah dan menangis.
Alhasil aku hanya diam. Aku memundurkan langkahku. Aku keluar kamar dengan diam. Aku memilih duduk disofa. Aku abaikan air mata ini dengan meraih sebuah tasbih digital. Aku butuh berdzikir agar hatiku tenang.
🥀🥀🥀🥀
Jakarta Utara, Pukul 17.00 sore.
Masih ada satu jam sebelum menuju magrib. Meskipun Mas Fikri mengabaikanku, aku tetap bersikap sabar padanya. Ini ujian menyakitkan yang harus aku lalui.
Kalau tidak mengingat Allah dan surgaNya. Maka aku serasa tidak hidup lagi disaat seperti ini. Dimulai dari rasa cemburuku pada Fara. Mas Fikri yang sejak kemarin malam menganggapku Reva dan masih banyak lagi setelah semua situasi yang terjadi selama bulan ini.
Aku memasuki sebuah apotik. Aku berinisiatif membelikan obat untuk mengobati alergi Mas Fikri. Mas Fikri tidak mau ke Dokter meskipun aku sudah mengajaknya kesana. Didepan mataku ada seorang wanita berhijab biru bagian farmasi yang sudah terseyum ramah kearahku.
"Sore Kak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Permisi Mbak. Maaf mau tanya apakah ada obat alergi?"
Dia tersenyum. "Ada Kak. Mau obat yang diminum atau obat luar?"
"Obat luar saja Mbak."
Dia pun memberikan dua pilihan obat alergi padaku. Berupa bedak dan lotion. Setelah membaca indikasinya aku memutuskan membeli yang lotionnya saja.
"Asalamualaikum."
Aku menoleh kebelakang. Tanpa diduga aku melihat seorang pria yang seumuran denganku. Dia memakai gamis berwarna biru tua. Wajahnya pun khas Arab. Aku merasa familiar dengannya meskipun cara bicaranya sedikit kaku menggunakan bahasa Indonesia.
"Wa'alaikumussalam." ucapku pelan.
"Maaf ukhti menganggu. Alhamdulillah saya bisa bertemu denganmu. Ini.."
Tanpa diduga dia menyerahkan sesuatu padaku. Seketika aku ingat. Ya Allah, bukankah dia seorang ustadz yang pernah aku lihat dan bertemu di lift perusahaan Mas Fikri?
Tanpa ragu aku menerima benda itu. Sebuah gelang couple milik Mas Fikri yang tanpa sadar aku jatuhkan saat aku menemukannya di kamarnya. Bagaimana bisa terjatuh? Padahal aku sudah mengantonginya dengan baik. Ya Allah Afrah.. kamu benar-benar teledor.
"Ukhti?"
Aku tersentak. "Em terima kasih."
"Sama-sama." Dia tersenyum kearahku. "Aku melihatmu tanpa sengaja menjatuhkannya dilantai lobby. Aku ingin memanggilmu tapi kamu tidak mendengar. Setiap hari aku membawanya bila pergi syuting dan berharap bertemu denganmu. Alhamdulillah sore ini bertemu meskipun ditempat ini."
Aku hanya mengangguk. "Sekali lagi terimakasih. Maaf sudah merepotkan. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Dengan cepat aku pergi. Aku menyimpan gelang ini kedalam tasku dan segera pulang kerumah. Lalu aku terkejut. Aku tidak menyangka Mas Fikri berdiri diparkiran mobil dan menatapku tajam.
Aku merasa cemas. Sejak kapan Mas Fikri disana? Bahkan aku tidak menyangka bila Mas Fikri tiba-tiba datang menjemputku. Dia pun akhirnya mendatangiku.
Ngapain kamu bicara sama dia?!"
"A-afrah. Tadi.. Afrah.."
"Aku tidak suka lihat kamu mengobrol sama dia. Masuk kedalam mobil. Pulang sekarang!"
Mas Fikri membuka pintu mobil dan menyuruhku masuk. Dia terlihat sangat marah. Lalu dia memasuki mobil kami dan memakai safety beltnya.
"Maafin Afrah Mas. Tadi Afrah-"
"Malam ini kamu harus ikut denganku ke Samarinda."
"Bukankah sebelumnya Afrah tidak boleh ikut? Afrah-"
"Ini perintah Reva Sintia! Jangan menolak.
Dan akhirnya akupun terdiam. Kenapa dia berubah pikiran? Katanya aku tidak boleh ikut ke Samarinda. Sekarang boleh. Lalu apakah pantas nada suaranya terdengar meninggi didepanku?
Mobil sudah berjalan menuju apartment kami. Dalam hati aku berusaha untuk sabar kesekian kalinya. Aku melirik kearah Mas Fikri yang terlihat datar dengan raut wajahnya yang marah.
Aku menghela napas. "Kenapa Mas memanggilku Reva? Aku Afrah Mas. Bukan Reva."
"Tidak usah berpura-pura lupa Rev. Aku tahu sejak dulu kamu itu sahabat yang keras kepala dan pemberani."
"Tapi-"
"Kamu juga jago akting."
Rasanya kepalaku begitu pusing. "Percayalah Afrah tidak mengerti apa yang Mas bicarakan."
"Tapi kamu pernah kecelakaan dan mengalami koma kan?"
"Iya Mas. Tapi sungguh. Afrah tidak ingat apapun. Demi Allah, saat ini Afrah bingung. Afrah.. " Aku terdiam. Tanpa diduga Mas Fikri mengemudikan mobilnya melewati lokasi apartment kami.
"Kita mau kemana Mas? Bukankah apartmentnya-"
"Kita akan kerumah Ayah dan Bundamu." ucap Mas Fikri dengan ketus.
"Kamu akan tahu semuanya. Ah sekalian saja aku akan menceritakan semuanya nanti pada kalian."
Lalu tiba-tiba aku merasa cemas karena Mas Fikri tersenyum sinis kearahku.
"Ya Allah.. hamba takut.."
"Ya Allah, lindungilah rumah tangga kami."
🥀🥀🥀🥀
Jakarta Utara, pukul 20.00 Malam.
Aku menangis dalam diam saat ini. Astaghfirullah. Ya Allah. Aku tidak menyangka. Aku begitu terkejut setelah mendengar semuanya yang pernah terjadi dimasalalu.
Setelah sholat isya tadi Ayah, Bunda, Mas Fikri serta diriku berkumpul diruang tamu. Mas Fikri bilang kalau aku adalah Reva. Sahabatnya dimasalalu yang satu jurusan di universitas negeri Samarinda.
10 tahun yang lalu kecelakaan menimpaku. Lalu Mas Fikri menjelaskan padaku bahwa kecelakaan itu disebabkan oleh diriku yang mengemudikan mobil calon istrinya.
Mas Fikri mencintai wanita itu. Mereka akan menikah lalu sebelum pernikahan itu terjadi, dia meninggal akibat kecelakaan saat aku mengemudikan mobil calon istrinya itu.
Kata Ayah kejadian itu tanggal 11 Oktober 2010. Yang artinya sudah 10 tahun berlalu. Kecelakaan mobil beruntun pada pukul 17.00 sore. Memang saat itu aku bekerja disalah satu perusahaan. Aku lupa nama perusahaannya apa.
Kecelakaan itu terjadi bertepatan saat aku didalam mobil. Aku juga lupa kenapa saat itu aku bisa didalam mobil? Kata Ayah aku ditemukan duduk dibalik kemudi dan disebelahku adalah seorang wanita.
Mas Fikri menganggapku sebagai pembunuh calon istrinya. Mas Fikri terus saja mendesakku mengapa aku bisa mengendarai mobil calon istrinya sehingga menyebabkan kecelakaan?
Ya Allah. Aku tidak sanggup berpikir. Kepalaku rasanya sangat pening.
Dengan lemas aku terduduk di pinggiran ranjang. Aku menunggu Mas Fikri yang masih berbicara dengan Ayah dan Bunda diruang tamu.
Lalu pintu terbuka lebar. Aku segera berdiri. "Mas.."
"Aku tidak bisa tidur."
"Afrah tadi belikan Mas obat alergi. Mas harus-"
"Aku tidak ada waktu. Satu jam lagi keberangkatan menuju Samarinda."
Aku berusaha mencegahnya. Lagi-lagi dia menghindariku. Aku memegang pergelangan tangannya, tapi dia menepisku. Kepalaku rasanya pusing gara-gara memikrkan hal tadi ditambah sikap Mas Fikri yang seperti ini.
"Mas-"
"Jangan berharap apapun padaku Rev apalagi hatiku."
"Afrah istri Mas. Afrah tidak berharap banyak. Tetap bersama Afrah dan menerima Afrah, Afrah sudah bersyukur."
"Bagaimana aku bisa menerimamu Rev? Kamu lupa kalau kita hanya sebatas sahabat sejak dulu."
"Mas-"
"Kamu memang tidak mengingatnya karena kecelakaan dimasalalu itu. Tapi percayalah.. "
Tanpa diduga Mas Fikri mendekatiku. Hatiku tiba-tiba merasa was-was.
"Tapi percayalah bahwa kepingan puzzle atas nama dirimu sudah tersusun dengan sempurna."
"A-apa maksud dari ucapan Mas?" tanyaku dengan kedua mata yang mulai memanas.
Dia terlihat menghedikan bahu. Wajahnya sangat angkuh. Tatapannya begitu sinis kearahku.
"Em, ntahlah. Aku masih menimbang-nimbang apakah puzzle itu aku simpan atau aku buang saja."
🥀🥀🥀🥀
Dengan santainya dia bilang gitu ya 😭😭
Kenapa cara bicaranya yg suka motong pembicaraan seseorang persis seperti Arvino dimasalalu.. 😔😫
Kakak dan adek rupanya 11 12 😂🙃
Oh iya, kalian masih sanggup kan ya? 😕🙁
Makasih sudah bertahan bareng Afrah disini. Sehat selalu buat kalian.
With Love 💋
LiaRezaVahlefi
lia_rezaa_vahlefii