Samarinda, Pukul 07.00 Pagi.
Mobil yang di kemudian Rafa sekarang menyusuri jalanan kota Samarinda setelah keluar dari bandara Aji Tumenggung Pranoto. Disebelah Rafa, ada Rezki yang juga terlihat lelah.
Cuaca cukup cerah. Rasa tubuhku begitu lelah setelah melakukan penerbangan selama berjam-jam dari negara Jepang. Aku melirik kesamping, ada beberapa goddybag yang berisi oleh-oleh dari Jepang buat keluargaku. Termasuk salah satunya untuk Afrah.
Aku teringat ponselku. Sudah 4 hari Afrah tidak bisa dihubungi begitupun dengan mertuaku. Apakah semuanya baik-baik saja?
Aku mencobanya lagi, berharap nomor ponsel Afrah aktip. Lalu aku aku tersenyum miris, hasilnya tetap sama. Tidak aktip.
Aku memejamkan kedua mataku sejenak. Ntah kenapa pikiranku dipenuhi bayangan Afrah. Wajahnya. Cara dia menatapku termasuk malam pertama kami.
Ya ampun, rasanya aku hampir gila sebagai seorang suami yang tidak meminta hakku lagi pada Afrah apalagi sudah 4 hari lamanya.
Aku berusaha mengalihkan pikiran yang tidak-tidak dengan menatap jendela kaca mobil yang ada disampingku. Jalanan kota Samarinda memang tidak semacet kota Jakarta.
Sebenarnya aku bisa saja langsung ke Jakarta, tapi aku ada urusan dengan Fara.
Waktu terus berjalan. Butuh waktu 30 menit akhirnya mobil yang dikemudikan supir pribadiku itu memasuki kawasan Vila Cendana. Aku tahu keluarga besarku saat ini begitu marah padaku. Aku bahkan tidak perduli meskipun saat ini Kak Arvino menentangku menginjak rumah Ayah dan Bunda.
"Kita sudah sampai Tuan."
Aku terkejut dan membeku. Aku tidak menggubris ucapan Rafa barusan. Mobil baru saja sampai, tapi aku melihat Fara dan kedua orang tuanya diteras rumah Ayah dan Bunda.
Ya ampun, ngapain Fara kesana? Apakah dia berusaha memasuki kandang singa dan mencari masalah?
Padahal aku sudah bilang sama dia untuk tidak kerumah Ayah dan Bunda untuk sementara waktu.
Aku mengabaikan Rafa dan Rezki begitu saja. Aku pun keluar dari mobil dengan langkah cepat.
"Kamu ngapain disini Fara?!"
Aku melihat Bunda emosi didepan mataku.
"Bunda sabar Bunda, malu sama tetangga."
"Biarin Ayah, Biarin! Dia itu sudah berusaha merusak rumah tangga Fikri dan Afrah."
"Tapi Bunda-"
"Eh Fara! Denger ya, Jangan coba-coba menjadi pelakor-"
"Dia bukan pelakor. Tapi Fikri yang menginginkannya." ucapku akhirnya.
Semuanya menoleh kearahku. Aku tak perduli dengan hal itu. Apalagi aku sudah menghentikan perdebatan mereka. Disana ada Ayah, Bunda, kedua orang tua Fara dan pria paruh baya yang sepertinya Paman Fara.
"Ini akan menjadi urusanku sama Fara Bun. Harus berapa kali Fikri bilang kalau Afrah itu Reva. Fikri tidak menginginkan Reva. Bukankah sejak awal Bunda juga menginginkan Fikri menikah dengan Fara?"
"Tapi waktu kamu masih bujang. Masih bayi besar! Sekarang situasi sudah berubah Fik!"
"Fara.. ikut denganku." ucapku tanpa basa-basi. Dengan cepat aku membalikkan badanku.
"Fikri, Bunda belum selesai bicara!"
"Bunda tenang Bunda istighfar. Tolong kendalikan emosi Bunda."
"Bunda kesal Yah. Kesal!"
"Iya Bunda iya, Ayah paham."
"Biarkan saja. Biarkan saja putra kita begitu. Biar Allah nanti yang akan membalasnya."
Aku mendengar semuanya. Aku sudah mencapai mobilku. Aku yakin didalam sana Rezki dan Rafa pasti sedang terheran-heran melihat situasiku saat ini.
Kedua orang tua Fara dan pamannya tak banyak berkata. Aku pikir kepulanganku kerumah aku bisa segera berisitirahat. Nyatanya malah tidak. Fara datang disaat yang tidak tepat.
Aku berusaha menahan sabar. Aku menoleh kebelakang. Rupanya Fara malah diam tak berkutik disana. Dia tidak bergerak sama sekali. Alhasil aku kembali mendekatinya.
"Kita batalkan saja niat kita yang ingin menikah Mas."
Aku menghentikan langkahku. Aku terdiam. Tiba-tiba air mata mengalir di pipinya.
"Apa? Batal? Apakah kamu sedang bercanda Fara?"
Dia menggeleng. Dia menghapus air matanya. "Aku sadar semua ini salah."
"Apakah kamu berubah pikiran saat ini? Bukankah kamu menyutujinya ketika aku berkata ingin menikahimu dirumah anak angkatku waktu itu?"
Suasana tiba-tiba hening. Semuanya tidak ada yang berbicara. Aku mengabaikan tatapan keluargaku dan keluarga Fara yang kini melihat interaksi kami.
"Ya, aku berubah pikiran."
Dengan kesal aku memajukan langkahku lagi padanya hingga kamipun berdiri saling berhadapan.
"Kenapa?"
"Karena kamu mengungkapnya disaat yang tidak tepat. Disaat kamu sudah bersama wanita lain."
"Fara-"
"Apakah aku harus menunggu 10 tahun lamanya agar aku bisa mendengar secara langsung ketika kamu melamarku?"
Aku terdiam. Aku bingung. Aku menatap kedua matanya yang begitu sedih dan terpukul.
"A-apa maksudmu?" ucapku mulai curiga.
"Kenapa kamu tidak mengungkapkannya sejak dulu Fik, kenapa?"
"Fara, aku, sungguh aku tidak mengerti-"
"Aku lah sahabatmu Fik. Akulah yang kamu cari-cari selama ini."
DEG
Jantungku berdegup sangat kencang. Kenapa tiba-tiba hatiku seolah-olah tersayat? Aku berusaha berdiri tegak. Ntah kenapa tiba-tiba rasanya kedua kakiku tak sanggup berpijak diatas tanah.
Aku menggeleng lemah. Tidak, tidak mungkin. Dia.. dia.. dia tidak mungkin sahabatku. Sahabatku sejak dulu itu Reva. Hanya Reva. tidak ada siapapun.
Dia.. dia.. wanita ini.. wanita didepan mataku ini Fara. Bukan sahabatku. Fara hanya orang lain yang dipertemukan denganku melalui Bunda beberapa bulan yang lalu.
"Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang Fik?" lirihnya pelan.
Fara menangis dengan deras. Tubuhnya terlihat melemah. Sama sepertiku.
"Kenapa kamu baru melamarku disaat sekarang Fik? Kenapa tidak sejak dulu? Kamu tahu betapa.. betapa aku menyukaimu dalam diam?"
Fara menundukan wajahnya. Tubuhnya gemetar. Tangisnya sudah pecah.
"Demi persahabatan kita, aku rela menahan cemburu dengan wanita yang kamu cintai. Demi keadaanmu, tidak sedikitpun aku ingin kamu celaka disaat orang-orang ingin membullymu dikampus."
Fara mendongakkan wajahnya. Tatapan kami bertemu. Aku menyelami kedua matanya. Aku menatap wajahnya yang sembab. Aku menatap kehancuran dirinya yang benar-benar terlihat sudah rapuh oleh hatinya.
Ntah perasaanku saja atau bukan. Dia terlihat rapuh seperti sekian lamanya.
"Bahkan demi kamu, aku rela menahan rasa egoku sejak dulu agar kamu bisa bahagia."
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Bibirku kelu. Wajahku memucat. Kedua telapak tanganku dingin. Tanpa diduga, dia mengeluarkan sesuatu didalam saku gamisnya.
Sebuah gelang. Gelang couple yang warnanya sudah memudar. Aku memiliki gelang itu dan menyimpannya hingga sekarang setelah lulus kuliah 10 tahun yang lalu meskipun saat ini gelang itu hilang ntah kemana.
Aku lupa. Aku benar-benar lupa dimana gelang itu. Aku memang membawanya saat pindah ke Jakarta. Aku juga sempat menyimpannya di ruang kerjaku diperusahaannya.
Aku pernah berjanji dalam diriku sendiri agar selalu membawanya meskipun aku membenci sahabatku.
Gelang itu, gelang couple persahabatan.. Hanya ada satu orang yang memiliki pasangan dari gelang itu.
"Aku Reva.."
"Akulah Reva Fik. Reva Sintia, sahabat Fikri Azka yang kamu benci selama ini."
🥀🥀🥀🥀
BOOM!!
BOOM!!
SUDAH MELEDAK!
Makasih yang sudah menerka-nerka dari Part 1 sampai sekarang.
Ayo bernapas lah, sengaja, malam ini part-nya dikit dulu.
Biar gak tegang.
😆😆
Tarrriik napassss buang napassss jangan lupa elus dada. Gigit bantal kalau gemaaassssss bahwa Selama ini Fara itu REVA SINTIA!
Acung disini yang
Syok
Kaget
Gak nyangka
Sulit gak bisa nebak
Teriak gak jelas
PENGEN HUJAT FIKRI!

😅😅😅
With Love 💋
LiaRezaVahlefi
lia_rezaa_vahlefii