Chereads / Ana Uhibbuka Fillah / Chapter 45 - 45. Fikri : Lupakan Sejenak Masalah Yang Ada

Chapter 45 - 45. Fikri : Lupakan Sejenak Masalah Yang Ada

Bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto. Pukul 22.00 malam. Samarinda.

Setelah menempuh penerbangan dari Jakarta ke kota Samarinda yang memakan waktu kurang lebih 1 jam, akhirnya aku sampai tujuan dengan selamat.

Aku menuruni anak tangga pesawat pribadiku dengan hati-hati. Didepanku ada Reva yang sejak tadi banyak berdiam diri.

Aku hanya tersenyum sinis. Biarkan saja dia. Kalau aku tidak mengumpulkan puzzle itu mungkin aku tidak pernah tahu kalau wanita yang menjadi penyebab kecelakaan Devika dimasalalu itu ada didepan mataku.

Tiba-tiba Reva menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menatapku. Kami pun saling berhadapan.

"Kenapa?" tanyaku datar padanya.

Tanpa diduga Afrah mengeluarkan sebuah syal dari dalam tasnya. Lalu dengan perlahan dia melilitkannya ke leherku.

"Sepanjang perjalanan Allah menurunkan rahmat kebumi dengan datangnya hujan. Tapi Alhamdulillah hujannya sudah reda."

Reva memastikan lilitan syal dileherku terpasang dengan sempurna agar celah udara malam ini tidak mudah mengenai pori-pori kulitku.

"Karena sekarang hujannya sudah reda, hawa malam ini begitu dingin. Afrah tidak ingin Mas tambah parah sakit demamnya."

Reva menyentuh keningku. Aku berusaha memalingkan wajahku kesamping. Ntah kenapa aku tidak sanggup menatap pancaran kedua matanya yang selalu saja mengkhawatirkanku setiap saat.

"Ya Allah, Mas masih demam."

"Aku baik-baik saja Rev. Jalan duluan sana."

"Maaf Afrah tidak bisa berjalan sendiri tanpa adanya Mas Fikri bersamaku."

Aku terkejut karena saat ini Reva malah menggenggam tanganku dengan hangat. Dan aku tidak bisa menyangkal bahwa kulit telapak tangannya terasa hangat dalam genggaman kami.

Aku tak habis pikir. Aku terus menghindarnya. Aku terus saja berkata ketus padanya. Tapi bukannya menjauh dia malah semakin mendekatiku.

Jangan sampai aku kebaperan sama dia. Jangan sampai.

Mudahan saja tidak.

🥀🥀🥀🥀

Villa Cendana. Pukul 22.30 malam.

Kedatangan kami disambut baik oleh Ayah dan Bunda. Jangankan hal itu, bahkan akupun tidak menyangka kalau Ayah dan Bunda rela menunggu kami sampai menahan rasa ngantuk.

Saat ini, Aku melihat Bunda yang memeluk menantunya dan saling melepas rindu. Dalam hati aku berpikir. Jika Bunda tahu bahwa menantunya itu adalah seorang wanita yang pernah menjadi penyebab kematian calon istri yang hendak aku nikahi dimasalu bagaimana perasaanya?

Ah atau gini saja. Disebelah rumah Ayah Dan Bunda saja rumah orang tua kandung almarhum Devika. Bagaimana reaksi mereka bila mengetahui ada Reva disini.

"Lama tidak pulang ke Samarinda apakah bayi besar akan terus melamun menatap istrinya seperti itu?"

Aku menoleh kesamping. Ternyata Ayah menggodaku. Aku hanya menghela napas panjang.

"Fikri bukan bayi besar Yah. Fikri sudah menikah. Sudah dewasa."

"Ah gitu. Jadi bagaimana? Apakah ada kabar baru mengenai calon cucu lagi?"

Aku terdiam. Aku sudah bisa menebak kalau orang tuaku akan menyinggung hal ini.

Ayah berdeham. "Jadi bagaimana menjalani pernikahan dengan Afrah? Semuanya baik-baik saja?"

Aku terdiam. Benarkah pernikahanku dan Afrah baik? Tentu saja saat ini sedang tidak baik. Sejak dulu aku paling tidak bisa berbohong. Aku tidak mungkin berkata sedang tidak baik.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku bernapas lega. Setidaknya aku bisa terselamatkan dari situasi ini.

"Fikri kekamar dulu Yah. Ada panggilan telepon masuk."

"Iya. Lebih baik kamu langsung istrirahat malam ini. Sepertinya Bunda masih kangen-kangenan tuh sama Afrah."

Aku hanya mengangguk dan segera menuju lantai atas. Deringan ponsel masih terdengar. Akhirnya aku bernapas lega karena sudah menjauh dari Ayah. Seketika aku terdiam begitu menatap nama panggilan yang terpampang dilayar ponselku.

Kak Arvino.

Hatiku terasa nyeri. Dia adalah Kakak kandungku yang berusaha aku hindari. Alasannya adalah karena di kornea Kakak lelakiku itu ada kornea Devika disana.

Akibat kecelakaan Devika dimasalalu, almarhum calon istriku itu mendonorkan korneanya pada Kak Arvino yang sempat mengalami kebutaan.

Dengan terpaksa aku merijek panggilan ini. Tak hanya itu, aku menonaktifkan ponselku. Terlalu sakit untuk dirasa sampai sekarang karena masalalu yang kelam ini.

Kalau saja bukan karena kepentinganku kemari untuk membicarakan urusan pekerjaan

pada Presdir D'Media Corp, mungkin aku tidak akan pulang ke Samarinda.

🥀🥀🥀🥀

Samarinda, Pukul 09.00 pagi

Aku terdiam sesaat begitu kedua kakiku melangkah memasuki halaman rumah besar bertingkat tiga. Hatiku sesak. Rumah ini adalah rumah Devika.

Terlalu banyak kenangan waktu kecil disini. Dulu aku sering bermain bersama Devika sampai-sampai aku jatuh cinta padanya saat remaja.

Aku berusaha mengesampingkan hal itu. Aku pun akhirnya memasuki rumah itu yang disambut oleh Devian. Seorang pria yang berprofesi sebagai Dokter umum dirumah sakit kota ini.

"Asalamualaikum Kak."

"Wa'alaikumussalam. Fikri?"

Aku tersenyum tipis. Tapi dalam hati rasanya hatiku terluka. Pria didepan mataku ini kembaran Devika. Mereka memang kembar. Seolah-olah aku menatap wajah Devika wujud nyata.

"Em apakah Pak Amran ada Kak?"

"Papa ada diruang kerjanya. Silahkan masuk."

Aku hanya mengangguk dan segera menuju ruang kerja Pak Amran. Selagi melangkah tanpa sengaja aku melihat istri Kak Devian sedang membuat kue bersama putrinya yang bernama Raisya didapur.

Ruang kerja Pak Amran berada dilantai 2. Aku menaiki anak tangga satu persatu dan begitu sudah berada diatas, aku segera memasuki ruangan kerja Pak Amran.

"Asalamualaikum Pak?"

"Wa'alaikumussalam. Silahkan masuk Fik."

Aku hanya mengangguk dan duduk di sofa empuk berhadapan dengan beliau.

"D'Media Corp mengalami penurunan omset. Pikiran saya jadi pusing. Padahal saya lagi sakit-sakitan dan saat ini sedang memikirkan jalan keluarnya agar perusahaan kita tidak mengalami kerugian yang besar."

Pak Amran memegang sebuah berkas dan menyerahkan padaku.

"Ini salah satu proposal kerjasama. Disana tertera keuntungan saham yang menjanjikan. Salah satu investor terkaya di Jepang berniat menanam saham diperusahaan kita."

Aku terdiam dan membaca berkas tersebut dengan seksama. Ini salah satu jalan keluar yang dipikirkan oleh Pak Amran.

"Karena kita yang perlu sama mereka maka saya memutuskan menyuruhmu untuk ke Jepang. Seminggu lagi."

Aku terdiam sesaat. Aku terkejut. Bukan karena ucapan Pak Amran. Melainkan karena kedua mataku kali ini menatap bingkai kecil yang terpajang di belakang Pak Amran.

Sebuah foto keluarga. Disana ada aku dan Devika waktu kecil saling bersebelahan.

Kedua mataku berkaca-kaca. Tak mau terlihat menyedihkan buru-buru aku segera pamit pergi dari hadapan Pak Amran.

🥀🥀🥀🥀

Malam harinya, Pukul 20.00 Malam.

"Hmm.. ini sih rasanya sangat enak. Kalau Bunda tahu kamu bisa bikin rainbow cake, mungkin sejak kemarin-kemarin, setelah kamu menikah dengan bayi besar Bunda itu, Bunda belajar membuat cake ini sama kamu Af."

"Afrah tidak hebat Bun. Lagian Afrah baru bisa belajar kok."

"Tapi seenak ini rasanya. Ya Allah. Bunda yakin Fikri itu bisa tambah seneng punya istri yang jago bikin cemilan kayak kamu."

Aku terdiam mendengar obrolan Bunda dan Afrah yang saat ini sedang membuat rainbow cake. Saat ini aku sibuk memakan cemilan buatan mereka sambil memegang ponselku.

"Tapi kamu harus banyak-banyak istrirahat loh. Jangan stress. Bawa santai dan refreshing ya."

"Insya Allah Bunda."

"Oh iya, kamu sudah hamil belum?"

Seketika suasana menjadi hening. Tidak ada ucapan Reva yang aku dengar. Ntah kenapa perasaanku jadi tidak enak. Akhirnya aku memilih pergi dari sana dengan perasaan tidak menentu.

🥀🥀🥀🥀

Pukul 00.00 dinihari.

Aku terbangun dengan tubuh yang rasanya begitu pusing. Aku memegang keningku. Demamku tidak kunjung turun. Tapi ada kain basah yang menempel didahiku.

Aku menoleh kesamping dan terkejut melihat Reva tidak tidur. Dia menatapku khawatir.

"Kapan Mas mau berubah pikiran?"

Aku mengerutkan dahiku. "Maksudmu?"

"Sejak tadi Afrah tidak tidur. Afrah khawatir sama Mas. Mas tidak mau ke Dokter. Padahal Mas itu lagi alergi dan demam."

Aku berusaha untuk bangun. Tapi Reva mencegahku. Dia tidak banyak berkata dan malah mengompres dahiku lagi.

Aku menatap wajahnya yang cantik. Dengan penuh perhatiannya dia malah memijit tanganku.

"Afrah tahu, Mas kepala rumah tangga. Mas itu bekerja mengumpulkan rezeki. Tapi jangan sampai Mas sakit. Kalau Mas sakit dan tidak sembuh-sembuh. Afrah-"

Aku terdiam. Dia menghentikan ucapannya. Lalu dia berdiri..

"Tiba-tiba tenggorokan Afrah kering. Afrah kedapur dulu ya Mas. A-afrah mau minum dulu."

Lalu Reva pergi. Kenapa aku merasa dia akan menangis? Aku memilih memejamkan mataku. Tapi tidak bisa. Bayangan wajah Reva yang menangis ntah kenapa membuatku gusar.

Ntah dorongan darimana akupun segera berdiri. Aku mendatangi didapur. Tapi langkahku terhenti. Aku melihatnya diruang mushola.

Dia duduk menghadap kiblat memakai mukena. Ditangannya ada tasbih. Katanya dia mau minum, kenapa dia ada disini?

"Ya Allah. Hamba mohon sembuhkanlah rasa sakit yang ada ditubuhnya."

"Ya Allah, bila suami hamba sedang diuji oleh penyakit didalam tubuhnya, hamba akan berperasangka baik atas semuanya. Bisa jadi saat ini Allah sedang menghapus dosa-dosa suami hamba."

Aku terdiam mendengar semua doanya sambil menangis. Dia memang begitu mencintaiku sejak dulu. Dari jaman kami kuliah sampai sekarang. Aku tahu itu.

Ntah dorongan darimana aku melangkah mendekat padanya. Dia sudah selesai dalam doanya. Lalu dia terkejut melihat kehadiranku.

"Mas? Ya Allah kenapa Mas kesini? Mas lagi sakit. Sebaiknya Mas tunggu saja dikamar."

Aku terdiam menatapnya. Ada lingkaran hitam dibawah matanya. Aku sadar selama beberapa malam ini dia terjaga dari tidurnya hanya untuk merawatku.

Aku tak banyak berkata. Aku langsung menggenggam tangannya dan mengajaknya kekamar. Ntah kenapa malam ini hatiku tidak tega melihatnya seperti ini.

"Besok temani aku ke Dokter Rev."

Dia tidak menjawab. Kami sudah memasuki kamar. Kami pun menaiki tempat tidur. Tanpa diduga Afrah memelukku. Tak hanya itu, dia mengusap-usap kepalaku seolah-olah aku ini anak kecil.

"Sayangku tidur ya." Ucapnya pelan.

Afrah mencium keningku. "Semoga suamiku ini cepat sembuh setelah kita ikhtiar ke Dokter."

Aku hanya diam. Setelah beberapa menit kemudian akhirnya dia tertidur dengan pulas. Ntah dorongan dari mana aku malah memeluknya sangat erat. Tiba-tiba dia membuka kedua matanya lagi.

"Mas?"

"Reva tolong tidur." ucapku tanpa basa-basi.

"Cium Afrah. Dikening." bisiknya

Aku terdiam. Tapi aku hanya menurut. Tak hanya itu, aku juga mencium pipinya. Dia tersenyum dan kembali memejamkan kedua matanya untuk tidur.

Sesaat, aku menumpahkan rasa rinduku yang sempat tertunda padanya setelah kejadian yang ada akhir-akhir ini pada Reva Sintia.

🥀🥀🥀🥀

Emosional naik turun ya. Kadang kesal. Kadang baper 😄

Ada yg tanya ; Kak Sudah part sampai sini kok stuck di situ-situ aja?

( Sabar. Sesuai sinopsisnya. Fikri kan menerkan-nerka Afrah itu Reva atau bukan. Jadi wajar, susunan alurnya gak bisa cepat. Apalagi cerita ini dibikin berdiri sendiri tanpa harus baca Mencintai Dalam Diam terlebih dahulu. Karena author gak tahu, bisa jadi ada pembaca diluar sana yg langsung baca kisah ini tanpa baca Mencintaimu Dalam Diam terlebih dahulu.)

Intinya sabar.

Harus tahan nyesek.

Kalau gak tahan sama alurnya, dengan ikhlas author akan bilang, kalian boleh out dari skrg daripada membully kisah ini

Intinya gak perlu khawatir. Author itu suka happy ending. Ini hanya masalah waktu yang membuat kalian harus sabar mengikutinya sampai tamat dan kita bahagia bersama sama tokohnya nanti.

Dan terima kasih sudah baca.

Kusayang kalian yg sabar nyesek dari jaman Stay With Me 😘😘

With Love 💋

LiaRezaVahlefi

Instagram

lia_rezaa_vahlefii