Chereads / Ana Uhibbuka Fillah / Chapter 46 - 46. Afrah : Situasi Menegangkan

Chapter 46 - 46. Afrah : Situasi Menegangkan

Vila Cendana. Pukul 09.00 pagi.

Setelah menyelesaikan semua urusan pekerjaan rumah, aku memilih kekamar Mas Fikri saat ini juga. Aku sedikit bernapas lega karena sudah membantu Bunda mertuaku memasak tadi pagi untuk sarapan sekeluarga.

Sisanya, Bunda malah menyuruhku beristirahat. Padahal aku ingin membantunya lagi, tapi Bunda melarangku. Katanya aku harus banyak istirahat dan tidak stress supaya cepat hamil.

Aku tersenyum tipis menanggapi hal itu. Tapi tidak dengan hatiku. Bagaimana kehamilan bisa terjadi kalau dia saja tidak pernah menyentuhku?

Padahal berhubungan badan dengan status pernikahan yang sah itu adalah kebaikan  dan mendapatkan pahala. Tidakkah Mas Fikri ingin memperoleh pahala itu?

Aku menarik napas sejenak dan menghembuskannya secara perlahan. Hatiku memang terluka. Tapi aku berusaha untuk beristighfar agar tetap tenang dan mengingat Allah.

Jika aku tidak seperti itu, Naudzubillah min dzalik jangan sampai aku seperti wanita-wanita yang pembangkang sama suaminya dengan amarah yang memberontak bila diperlakukan seperti itu.

Padahal aku bisa saja marah karena biar bagaimanapun aku hanyalah manusia biasa yang memiliki hati. Apalagi aku adalah seorang wanita yang menggunakan perasaan.

Mungkin ini hanyalah masalah waktu yang belum tepat terhadap situasi  yang tidak baik ini. Jika situasinya tepat, aku yakin Mas Fikri akan berubah secara perlahan dan segera bertaubat terhadap kesalahannya karena dia sudah mendzolimi perasaanku sebagai seorang istri.

Aku mengedarkan pandanganku keseluruh kamar Mas Fikri yang ditempati sejak usia kecil hingga sekarang meskipun setelah lulus kuliah kata Bunda Mas Fikri ke Jakarta.

Aku melangkah kakiku ke arah meja. Diatasnya ada beberapa benda koleksi milik Mas Fikri. Ada buku-buku tentang dunia bisnis, Komik, miniatur robot kecil, dan benda-benda lainnya.

Tanganku terulur arah laci meja. Ntah dorongan dari mana aku membukanya. Aku mengerutkan dahiku, didalam sana ada sebuah buku yang sedikit berdebu.

Aku meraihnya dan membukanya. Oh rupanya ini adalah buku Mas Fikri waktu kuliah. Aku tersenyum tipis. Mas Fikri itu tampan. Wajahnya blasteran. Iris matanya berwarna biru. Otaknya juga cerdas.  Tapi kenapa tulisannya seperti cakar ayam?

Halaman demi halaman aku membukanya. Aku begitu paham  semua isi tulisannya kali ini yang membahas tentang mata kuliah Ilmu Komunikasi.

Tiba-tiba aku terkejut. Tanpa diduga aku menemukan selembar foto di pertengahan buku. Lagi-lagi hatiku terluka. Sebuah foto wanita berhijab. Foto yang pernah aku lihat dan terpajang di atas meja kerja Mas Fikri di D'Media Corp sebulan yang lalu.

Foto ini terlihat usang meskipun dengan jelasnya wajah wanita ini memang cantik dan sedang tersenyum memakai seragam madrasah putih abu-abu.

Lalu aku terdiam begitu membalik bagian belakang foto ini. Tertulis disana. Namanya Devika. Aku merasa familiar dengan wajah ini. Seperti pernah melihatnya dimasalalu sebelum kata Mas Fikri dia meninggal. Tapi dimana?

Brak!

"Om Fikri! Om Fikri! Lihat, keponakan mu yang tampan ini-"

Aku terkejut dan menoleh kebelakang begitu pintu terbuka lebar. Seorang anak kecil berusia 5 tahun berdiri di ambang pintu. Wajahnya sangat tampan. Ras blasteran. Iris mata berwarna biru. Ah aku tahu siapa dia. Dia keponakan Mas Fikri yang pernah aku lihat saat acara resepsi pernikahanku di Jakarta. Namanya Raihan.

Dengan cepat aku memasukkan foto Devika ini kedalam buku lalu mengembalikannya kedalam laci meja.

"Maaf. Rai kira ada Om Fikri. Dimana dia Tante?"

Aku tersenyum. Lalu dengan sopannya dia mendatangiku dan mencium punggung tanganku.

"Om Fikri lagi disebelah. Tempat Pak Amran."

"Oh.." Raihan mengangguk. "Aku tahu Tante. Dia tempat Kakeknya temanku. Kakeknya Raisya."

"Raihan, ayo datangin Kakek dan Nenek-"

Tiba-tiba Mami Raihan datang. Dia adalah Aiza. Kakak iparku. Seorang wanita yang tentunya lebih muda dariku. Dia istri dari seorang pria yang pernah menjadi Dosen pagi dikampusku.

"Em maafkan aku." Tanpa diduga dia tersenyum canggung denganku dan menarik pergelangan tangan Raihan. "Ayo Raihan. Kita turun kelantai bawah."

Keduanya pun pergi. Lalu meninggalkanku dalam kesendirian. Aku terdiam menatap kepergian Aiza. Namun lagi-lagi aku teringat foto Devika.

Apakah aku harus meminta tolong pada Kakak iparku itu untuk bertanya tentang masalaluku? Kalau boleh jujur, kepalaku saat ini sedikit pusing bila mengingat masalalu.

Terlalu banyak hal yang bikin aku bingung dan penasaran termasuk dengan ucapan Mas Fikri yang menyebut diriku adalah Reva.

Benarkah aku Reva?

Tapi aku benar-benar tidak mengingatnya sama sekali.

🥀🥀🥀🥀

Siang harinya, Pukul 13.00 siang

Suasana keakraban diantara kami begitu terasa. Siang menjelang. Sholat Zuhur baru saja usai. Saat ini kami sedang makan siang bersama. Di atas meja yang berukuran panjang dan besar sudah terhidang menu masakan rumah yang begitu lezat.

Hari aku dan Bunda memang masak banyak karena ada Kakak iparku yang datang kerumah. Alasan mereka kemari karena Kakak iparku si Dosen yang bernama Arvino itu ingin melepas rindu dengan adiknya.

Tapi benarkah mereka akan saling melepas rindu? Sepertinya tidak. Aku melirik kearah Mas Fikri yang ada disebelahku. Dia terlihat sibuk menyantap makan siangnya.

Ntah perasaanku saja atau tidak, Dia terlihat enggan hanya untuk berbincang ringan dengan kakak kandungnya itu. Jangankan hal itu, saling menatap saja terlihat seperlunya saja.

Ada apa dengan keluarga ini?

Ayah dan Bunda terlihat harmonis. Tapi tidak dengan Kak Arvino dan Mas Fikri.

Tiba-tiba suara kursi bergeser terdengar. Aku menoleh kesamping. Mas Fikri sudah selesai makan siangnya.

"Loh Nak, kok kamu cepat banget makan siangnya?" tegur Bunda.

"Aku sibuk Bun. Maafkan aku tidak bisa ikut mengobrol."

"Tapi Fik-"

"Aku tinggal dulu. Asalamualaikum.."

"Wa'alaikumussalam." ucap kami semua.

Mas Fikri sudah melenggang pergi dan menuju lantai atas. Suasana yang tadinya akrab mendadak hening. Aku merasa tidak enak hati sebagai istrinya.

Alhasil aku hanya bisa terdiam dan fokus makan. Bahkan akupun merasa saat ini semua mata menatapku.

🥀🥀🥀🥀

"Kamu jangan bersedih Nak. Semua memang butuh waktu."

"Tapi sampai kapan Bun? Dia seperti pria bodoh yang tidak bisa melupakan masalalu."

"Sabar Vin, sabar. Nanti Bunda akan usahakan untuk bujuk dia agar bisa memaafkan masalalu."

"Untuk apa Bunda bujuk dia? Kenyataannya dia sudah menikah. Aku yakin Afrah itu istri yang baik dan penuh cinta. Seharusnya Fikri sudah bisa melupakan Devika."

"Akibat cara pemikirannya yang labil, imbasnya ke aku dan Aiza Bun. Sampai saat ini dia masih saja tidak menyukai keberadaan Aiza. Selain sosok Reva, Dia juga menganggap Aiza menjadi sebab musababnya kepergian Devika."

"Aku begitu sedih kehilangan Fikri yang dulu. Dia memang pendiam. Aku tahu itu wataknya dia. Tapi sekarang semuanya berbeda. Diamnya sekarang padaku karena menyimpan rasa amarah padaku dan Aiza. Bahkan dia pun begitu enggan menatapku."

"Sabar Vino. Sabar, istighfar Nak. Istighfar."

"Dimataku ada kornea Devika. Tentu saja dia akan terus membenciku sampai kapanpun."

Aku syok. Aku cukup terkejut ketika tanpa diduga aku mendengar semua ucapan itu di ruang tamu. Sebenarnya tadi aku berniat ingin mendatangi Bunda.

Tapi langkahku terhenti begitu mendengar semuanya. Ya Allah.. aku tidak bisa membiarkan masalah ini terus saja terjadi dikeluarga ini.

🥀🥀🥀🥀

Keesokan harinya. Pukul 10.00 pagi.

Alhamdulillah Mas Fikri sudah sembuh. Demamnya sudah hilang. Seiring berjalannya waktu alergi yang ada di kulit tangannya berangsur menghilang.

Saat ini aku melihatnya tengah sibuk diruang tamu yang sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya. Ditanganku ada secangkir teh hangat untuknya. Sekalian, aku juga berniat meminta izin padanya untuk pergi ke minimarket membeli sesuatu. Aku sudah rapi dengan memakai cadarku.

"Mas."

Dia menoleh kearahku dan menatapku datar. Aku mencoba sabar.

"Em, ini tehnya."

"Hm."

Aku meletakkan secangkir teh ini diatas meja ruang tamu. Aku teringat kejadian kemarin setelah mendengar obrolan Bunda dan Kak Arvino.

Saat ini aku berpikir bagaimana cara berbicara pada Mas Fikri? Harus dimulai darimana agar dia tidak marah?

"Mas?"

"Hm."

"Afrah-"

"Jangan mengangguku Rev. Kamu tidak lihat aku sedang sibuk?"

Seketika aku terdiam. Nada bicaranya begitu ketus. Aku sadar akan hal itu.

"Tapi Mas-"

"Pergi dari sini Rev! Aku sibuk-"

"Kenapa Mas begitu tidak menyukai keberadaan Kak Arvino dan Kak Aiza?" ucapku akhirnya.

"Ya Allah, maafkan hamba kalau hamba ini sudah salah. Tapi hamba tidak bisa diam saja. Semoga Allah mengampuninya hamba. Aamiin."

Dia menghentikan aktivitasnya. Detik berikutnya dia malah menatapku tajam. Tanpa diduga dia berdiri dan bersedekap.

"Untuk apa kamu mencari tahu Rev? Bukankan saat dimasalalu kamu sudah tahu penyebabnya apa?"

"Afrah tidak tahu Mas. Afrah-"

"Bagaimana dengan ini? Kamu mengenalnya?"

Tanpa diduga Mas Fikri memperlihatkan ponselnya kearahku. Layarnya menampilkan foto seorang wanita. Foto Devika.

Aku mengangguk pelan. "Dia.. dia Devika kan Mas?"

"Ck, Reva... Reva.."

Mas Fikri menggelengkan kepalanya dan tersenyum sinis kearahku.

"Sebelumnya kamu bilang kalau kamu tidak ingat masalalu. Tapi kamu mengenali foto ini. Siapa wanita ini dan namanya. Masih berbohong juga?"

Aku berusaha sabar. "Mas Demi Allah Afrah memang tidak ingat. Kenapa Mas tetap bersikeras tidak mempercayai Afrah sih?"

"Tapi kenapa kamu bisa tahu dia ini Devika? Berarti kamu tahu semua masalalu yang terjadi diantara kita kan? Kenapa kamu masih saja tidak mengakuinya kalau kamu ada Reva?! Seorang Reva yang menjadi penyebab kecelakaan Devika!"

"Padahal beberapa hari yang lalu aku baru sekedar menceritakan kronologisnya saja didepan kamu dan orang tuamu. Aku tidak pernah menyebut namanya. Darimana kamu tahu? Ck."

Aku mengepalkan kedua tanganku dengan kuat. Tentu saja aku tahu foto diponselnya adalah Devika ketika kemarin aku baru mengetahuinya. Itupun karena menemukan didalam buku kuliah Mas Fikri. Aku benarkan?

Aku ingin menjelaskan hal itu, tapi dia terus saja memotong pembicaraanku. Bahkan stok kesabaranku rasanya mau menipis. Ya Allah.. kuatkan hamba ini.

"Mas-"

"Apa susahnya sih kamu mengaku saja Rev?"

"Apakah semua itu benar?"

Suara seorang wanita membuatku menoleh ke sumber suara. Aku terkejut begitupun Mas Fikri. Dari arah pintu ada Pak Amran dan istrinya. Tak hanya itu. Ada Ayah, Bunda, Aiza dan Kak Arvino.

Aku panik. Hatiku was-was. Apalagi wanita paruh baya itu mendekatiku dan berdiri dihadapanku.

"Apa benar kamu adalah Reva?"

Aku terdiam. Aku bingung harus bilang apa sementara akupun tidak ingat apapun. Tanpa diduga dia memegang kedua lenganku dan membawa posisiku untuk memunggungi arah pintu.

"Saya tanya sekali lagi. Apakah kamu yang namanya Reva? Yang sudah membuat putri saya kecelakaan dimasalalu?"

"Sa.. saya.."

"Katakan. Katakan sejujurnya!" Desaknya tidak sabaran. Bahkan mencengkram lenganku dengan kuat.

Aku menatap kedua mata ibu paruh baya ini yang memancarkan tatapan kesedihan dan terpukul. Aku merasa ketakutan. Aku terkejut. Tanpa diduga dia melepas cadarku dan menatapku serius.

"Fikri. Apa benar dia Reva? Kenapa wajahnya terlihat berbeda?"

"Dia operasi plastik setelah kecelakaan itu. Tentu saja wajahnya berbeda."

Aku pun panik. Aku berusaha berbicara baik-baik. "Maafkan saya Bu. Saya bisa jelaskan kalau saya-"

PLAK!

"JADI KAMU ORANGNYA!"

"Bu Henny hentikan!" panik Kak Arvino.

Pak Amran pun mendatangi kami.

"Mamah hentikan!"

Aku syok. Tanpa diduga dia menamparkanku. Tak hanya itu, dia malah mendorongku kebelakang hingga pinggulku mengenai pinggiran meja yang terletak di pinggiran dinding. Bahkan dia berusaha memukulku dengan Vas bunga.

"Dasar PEMBUNUH! PEMBUNUH!"

"KAMU BENAR-BENAR KETERLALUAN!"

"KENAPA TIDAK MENGAKUINYA SEJAK DULU HAH!"

Tiba-tiba Mas Fikri melindungiku. Aku ketakutan. Aku memeluk tubuhnya. Bahkan Mas Fikri pun menghalau pukulan bertubi-tubi dari kepalan tangan istri Pak Amran dengan punggung lebarnya. Suasana menjadi tegang. Aku menangis.

"Fikri bawa Afrah kekamar."

Mas Fikri hanya menurut begitu Ayah menyuruhnya. Aku syok. Tubuhku gemetar ketakutan. Dengan tertatih Mas Fikri merengkuh pundakku.

"Dasar pembunuh! Apakah dia sengaja menutupi jejaknya selama 10 tahun agar polisi tidak bisa menemukan semua bukti-buktinya lagi?!"

"Mah. Tenang Mah tenang. Istighfar. Ayo kita pulang. Papah khawatir sama tekanan darah Mamah. Ayo.. ayo kita pulang."

"DASAR PEMBUNUH! PEMBUNUH!"

🥀🥀🥀🥀

Tegang ya? Iya tahu kok. Sabar ya.

Penulis nyadar sudah part 46.

Kebiasaan author itu kalau bikin novel genre Romance dewasa di Wattpad mentok insya Allah 60-65 chapter.

Fiksi remaja 50-55. Macam Raihan dan Raisya.

Tapi coba utk memakluminya ya. Genre memang Romance. Tapi masalah si tokoh utama dari BLURB kan susah move on ya?

Jadi konflik dan alurnya memang gini.

Kalau orang sulit move on emang sedikit ribet. Harus ada tokoh pendukung macam Afrah yang punya tujuan menghilang move on itu.

Mungkin sudut pandang move on bagi author pribadi harus gini alurnya. Gak sama kayak penulis lain.

Maaf kalau sudah bikin kalian nyesek dari dulu.

Semoga gak kapok ❤️

With Love 💋

LiaRezaVahlefi

Instagram

lia_rezaa_vahlefii.