Apartemen Casanova. Pukul 20.00 Malam. 5 hari kemudian.
Setelah semua yang terjadi, akhirnya aku dan Mas Fikri balik ke kota Jakarta. Tidak ada yang istimewa setelah itu, setelah malam pertama kami yang begitu romantis dan indah.
Seperti yang aku bilang waktu itu, semua akan berubah setelah berakhirnya malam pertama kami.
Mas Fikri memang menepati janjinya. Dia tidak menganggapku Reva lagi. Tapi percayalah, saat ini aku seperti piring yang sudah pecah dilantai.
Hancur berkeping-keping.
Hancur sehancur-hancurnya.
Aku menarik napasku sejenak. Kami tinggal dalam satu apartemen yang sama, tapi ntah kenapa kami bagaikan orang asing. Mas Fikri berbicara denganku hanya seperlunya saja. Begitupun denganku yang hanya bisa menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri sebagaimana mestinya tanpa banyak bicara seperti sebelumnya.
Aku memang hidup. Karena Allah aku masih bernyawa. Tapi ntah kenapa aku merasa sudah tidak hidup lagi. Aku terluka begitu dalam setelah dia akan menikah lagi.
Aku tidak tahu apakah aku salah atau benar dalam situasi sekarang. Mungkin sebagian orang ada yang bilang..
Tinggalkan saja dia.
Untuk apa kamu bertahan sama dia sementara dia menyakitimu?
Masih banyak pria yang lebih baik diluar sana.
Kamu berhak bahagia. Wanita sebaik dirimu pantas mendapatkan kebahagian.
Ya aku tahu. Aku sadar akan hal itu.
Seseorang bisa saja memberi saran kepadaku seperti itu, menandakan bahwa seseorang itu begitu perduli denganku.
Tapi aku berusaha menjalani semua ini karena Allah sedang mengujiku. Allah menguji diriku apakah aku mampu atau tidak. Allah menguji diriku agar aku senantiasa sebagai hamba Allah terus ingat dan mendekati diri kepada Allah Maha Kuasa.
Aku berusaha berprasangka baik pada Allah. Aku yakin Allah memiliki rencana dibalik ujian ini yang tentunya tidak aku ketahui. Ntah itu apa nantinya.
Aku menatap koper yang berada diatas tempat tidur. Besok pagi Mas Fikri akan berangkat ke Jepang untuk mengurus pekerjaannya dan masalah yang menimpa di D'Media Corp seminggu yang lalu.
Dia memang belum berangkat, tapi rasa rindu, ketakutan, cemas, dan rasa cemburu dengan wanita itu membuatku rasanya tersiksa.
Air mata mengalir di pipiku. Dengan cepat aku menghapusnya dan segera mempersiapkan segala kebutuhan Mas Fikri.
Pintu kamar terbuka lebar, Mas Fikri berdiri diambang pintu. Aku berusaha untuk tetap tenang. Jangan sampai dia melihatku menangis. Jangan sampai. Aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah meskipun dalam hati aku seperti sudah terkoyak dan tercabik.
"Sudah kamu siapkan semuanya?"
Aku mengangguk. "Sedikit lagi Mas."
Aku membuka lemari pakaian dan memilih beberapa pakaian yang akan dimasukkan kedalam koper.
"Aku, ingin berbicara denganmu-"
"Mas, ini ada kaos santai. Kain nya adem, tidak bikin gerah. Nanti dipakai ya." ucapku dengan cepat.
Aku berusaha membuat nada suaraku terdengar biasa-biasa saja. Saat ini aku memunggungi Mas Fikri. Aku sengaja terlihat sibuk seolah-olah semuanya baik-baik saja. Padahal sesungguhnya aku melemah.
Aku sedang tidak ingin membahas apapun apalagi mengarah kesuatu pembicaraan tentang wanita itu. Terlalu pedih. Aku sudah pecah bagaikan kaca yang berserakan dilantai dan tidak mungkin bisa kembali lagi.
Dulunya, aku juga bagaikan kulit tangan yang putih dan mulus, lalu seseorang menggoreskan pisau disana dan terluka, berdarah, dan nyeri.
Jadi jangan sampai luka itu semakin menganga lebar.
"Em Afrah, aku-"
Aku segera memasukan pakaian Mas Fikri kedalam koper. Lalu akupun menuju kamar mandi dan mengambil perlengkapan mandinya seperti sikat gigi, pasta gigi, sebotol sampo, dan sebotol sabun mandi cair beserta alat pencukur kumis miliknya.
"Afrah-"
"Mas ini perlengkapan mandinya. Afrah masukan kedalam tas kosmetik warna hitam milik Afrah ya. Ini ukurannya agak besar, jadi akan muat semua perlengkapan mandi Mas."
"Afrah-"
"Didalam koper sini juga ada handuk Mas."
"Afrah-"
"Oh iya Mas, em, didalam koper ini Afrah ada masukan beberapa sweater, kaos kaki dan kaos tangan. Siapa tahu disana lagi musim dingin."
Tiba-tiba Mas Fikri mendekatiku. Aku berusaha untuk menjauh. Ntah kenapa hatiku benar-benar sesak saat melakukan usaha ini.
"Afrah, dengarkan aku-"
"Ini juga ada obat demam, minyak kayu putih, obat alergi Mas dan vitamin buat kesehatan Mas. Afrah-"
"Apa kamu berusaha menghindariku?"
Aku terkejut saat tanpa diduga dia menarik pergelangan tanganku hingga kami saling berhadapan bertepatan saat air mata dipipiku mengalir.
Aku kalah. Akhirnya aku kalah karena tidak bisa menahan air mata ini. Saat aku menatapnya, bayangan wanita itu yang hadir diantara kami semakin mendekat.
Mas Fikri mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata dipipiku, tapi aku menghindar.
"Maaf Mas. A-afrah mau kekamar mandi dulu, Afrah mau cuci wajah dan pakai cream malam."
Aku tidak menunggu respon apapun darinya. Aku langsung memasuki kamar mandi dan mengunci pintunya. Kuputar keran air dikamar mandi ini dengan deras.
Dengan lemah aku meluruh dilantai. Suara kucuran air saat ini meredamkan suara tangis air mataku. Hanya tinggal menghitung waktu dan hari, wanita itu akan ada diantara kami.
Hanya memikirkan Mas Fikri bersanding dengan wanita lain, aku merasa hancur.
Hanya memikirkan Mas Fikri akan berpegangan tangan, tersenyum, tertawa, saling menatap penuh cinta dengan wanita lain, membuat hatiku tersayat.
Hanya memikirkan Mas Fikri akan mencium kening istri kedua apalagi tidur dalam satu ranjang yang sama dengannya membuatku melemah.
Ntah kenapa udara yang ada di paru-paruku serasa sedikit? Rasanya sesak. Aku melampiaskan dengan memukul dadaku yang begitu sakit. Ulu hatiku pedih dan terluka.
Cintaku terbagi. Cintaku akan terbagi..
Ya Allah, aku tidak sanggup.
🥀🥀🥀🥀
Jakarta Utara, Pukul 11.00 siang
Satu Minggu setelah pernikahanku dengannya..
"Mas, sibuk?"
"Iya. Ada apa?"
"Apakah masih lama?"
"Em, sekitar 30 menit lagi."
Dengan manja aku duduk disamping Mas Fikri. Dia sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Saat ini kami sedang berada diruang tamu.
Aku menumpukan daguku pada lengannya. "Mas."
"Iya sayang apa?"
"Beliin Afrah boneka.'
"Boneka? Ya Allah Afrah, untuk apa? Kamu sudah besar."
"Ya buat Afrah peluk Mas. Mas kan sibuk, kalau pagi sampai sore Mas kerja. Kadang bisa lembur."
"Lalu?"
"Afrah mudah kangen sama Mas. Makanya beliin boneka. Ukurannya yang besar. Pokoknya yang besar, yang bisa dipeluk. Terus semprotin parfum milik Mas deh."
"Untuk apa sih kamu begitu?"
"Supaya kalau kangen bisa meluk bonekanya Mas. Apalagi kalau ada wangi parfum Mas. Seolah-olah Afrah lagi peluk Mas Fikri versi boneka. Lucu kan?"
"Ah begini saja, selagi bonekanya belum ada, bagaimana kalau kamu peluk aku dulu?"
"Aaaa Mas Fikri, sini Afrah peluk. Ah bentar, Afrah cium dulu pipi Mas biar makin cinta, Masya Allah... "
"Hahaha kamu ini ada-ada saja Afrah. Sini, Masya Allah, sini aku cium kamu juga di kening."
Saat itu, kami tertawa bersama. Sesederhana itu membuatku bahagia. Akhirnya, aku memilih pulang kerumah orang tuaku selama Mas Fikri ke Jepang.
Taksi online membawaku menuju rumah Ayah dan Bunda. Disebelahku ada boneka beruang besar yang pemberian Mas Fikri sebulan yang lalu. Aku sengaja membawanya agar aku bisa memeluknya seolah-olah disaat tidur aku memeluk Mas Fikri.
Butuh waktu 30 menit aku tiba di rumah Ayah dan Bunda. Akupun segera membayar ongkos taksinya sebelum keluar dari taksi ini.
Aku segera keluar dari taksi online tadi. Lalu aku terdiam melihat Ayah dan Ibu yang kini sedang duduk di teras rumah. Mereka saling berbincang dan tertawa bersama. Mataku mulai memanas.
"Ya Allah, apakah hamba dan Mas Fikri bisa menua bersama seperti Ayah dan Bunda hingga saatnya tiba?"
🥀🥀🥀🥀
Malam harinya pun tiba, Pukul 20.00 Malam.
Dengan gugup aku mendatangi rumah Fara saat ini juga. Terlalu banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya setelah kejadian akhir-akhir ini.
"Asalamualaikum, Ibu, Fara..?"
Aku mengetuk pintu rumah ini berulang kali. Tidak ada satupun yang mendengar panggilanku sejak tadi. Tak hanya itu, nomor ponsel Fara ataupun Mamanya tidak aktip.
Aku memang tidak bisa menundanya lagi. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya meskipun sebelumnya sempat tertunda karena Mas Fikri mencegahku.
"Asalamualaikum, Bu, Fara?"
Aku terus mengetuk-ngetuk pintunya. Dengan gelisah aku duduk di teras rumah, aku mencoba kembali menghubungi keduanya. Dan lagi, sayangnya tidak aktip.
"Mbak Afrah?"
Aku menoleh kearah pintu pagar. Salah satu ibu paruh baya berdiri disana. Aku segera berdiri dan mendatanginya. Aku pun keluar dari pintu pagar dan menatap tetanggaku di perumahan ini.
"Mbak cari Ibu Fara dan putrinya ya?"
"Iya Bu. Apakah ibu ada melihat mereka?"
"Oalah Mbak. Tadi pagi saya sempat ketemu sama mereka. Tepatnya disini nih, sebelum taksi online tiba."
"Sebelum taksi online tiba?" Aku mengerutkan dahiku. Ntah kenapa tiba-tiba wajahku terasa pucat. "Em, mereka kemana Bu?"
"Ibu Fara bilang, Alhamdulillah besok lusa putrinya akan menikah. Katanya sih diluar kota. Nikah secara surat menyurat dulu, resepsinya baru dikota ini."
DEG.
Ya Allah. Jantungku.
Astaghfirullah..
Astaghfirullah..
Astaghfirullah..
Ya Allah, hati ini. Rasanya aku mau pingsan.
Padahal aku tahu Mas Fikri mau menikahi Fara, tapi begitu mendapati kenyataan hal ini dari pihak Fara nya meskipun melalui ucapan tetanggaku saat ini kenapa rasanya lebih sakit?
"Mbak? Mbak? Kok diam? Mbak baik-baik saja kan?"
Aku mengangguk. "Em, iya Bu. Yasudah, terima kasih infonya. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Dengan gontai, aku berjalan meninggalkan tetanggaku itu. Rasanya aku tak berdaya menginjakan kaki di bumi.
Bila memang pernikahannya itu bisa dicegah, tadinya aku berencana membicarakan dari hati ke hati dulu ke Fara malam ini. Tapi nyatanya, dia sudah pergi.
Pernikahan itu besok lusa. Ya Allah..
"Afrah? Ya Allah nak, kamu baik-baik saja? Kenapa kamu terlihat lemas?"
Suara Ibu yang khawatir terdengar. Beliau mendatangiku. Tak hanya itu, Ayah pun juga mendatangiku. Keduanya mendatangiku yang saat ini masih diteras rumah.
"Afrah, kamu kenapa?" tanya Ayah tiba-tiba.
Dengan lemah aku meluruh dilantai. Aku menangis. Suara tangisanku begitu kencang. Tidak perduli lagi dengan situasi yang ada disekitarku.
Ayah membantuku berdiri dan memasuki ruang tamu.
"Bunda tanya sama kamu. Kenapa semenjak kedatangannu tadi pagi kerumah ini wajah kamu dipenuhi kesedihan?"
Aku tetap diam. Aku tidak berani berbicara. Jika Bunda tahu, Bunda akan marah.
"Afrah, bicara yang jujur pada kami." bujuk Ayah juga setelah dia menutup pintu rumah ini.
"Iya nak, ada apa? Apakah kamu lagi ada masalah pribadi? Atau, dengan Fikri?" tanya Bunda pelan.
"Allah dan orang tua kandung adalah tempat terbaik untuk diajak curhat. Jangan dipendam Nak, tidak baik dengan kondisi psikis kamu nantinya." bujuk Ayah lagi. Beliau duduk disampingku.
Bunda memelukku. Aku malah menangis. Bunda mengusap-usap punggungku.
"Jangan sampai stress Afrah. Tidak baik."
"Bun.."
"Ya?"
"Afrah sudah hancur. Afrah sudah terluka." isakku pelan.
"Apa maksudmu Afrah? Kamu kenapa? Semuanya baik-baik saja kan?"
"Tidak. Semua tidak baik." lirihku pelan.
Bunda melepaskan pelukanku, lalu beliau memegang kedua pundakku setelah melepaskan ikatan cadarku.
"Apakah suamimu dzolim padamu? Katakan sama Bunda. Kamu harus jujur, atau kamu akan berdosa bila berbohong."
Ketika mengingat kata dosa, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mengangguk. Akhirnya aku menceritakan semuanya dengan air mata yang berderai.
BUG!
Detik berikutnya aku terkejut. Aku mendapati Ayah marah besar. Raut wajahnya memerah. Akibat emosinya, Ayah sampai tidak sadar berdiri dan berkacak pinggang. Raut wajahnya memerah padam. Ayah melampiaskan amarahnya sambil memukul dinding hingga tangannya terluka.
"JANGAN BIARKAN FIKRI AZKA MENGINJAK RUMAH INI LAGI!"
🥀🥀🥀🥀
Nah kan, Ayah sama Bunda Afrah sudah tahu dan marah 😖
Tetap stay dicerita ini ya. Insya Allah gak sampai chapter 60 kok tamatnya.
Tadi malam mau update, tapi maaf ketiduran :(
Oh iya kabar baik buat kalian, Alhamdulillah, keponakan si Fikri yang namanya Raihan itu Insya Allah terbit tahun depan. 🖤

Salah satu penebit imprint dari Gramedia meminang si Bucin dan si tampan Raihan.. 🖤
Alhamdulillah, terima kasih juga buat kalian yg antusias dengan fiksi remaja tersebut di akun ku yg satunya Lia_Reza_Vahlefi
Thanks buat kalian yg sudah nangis bersama disini🖤
Semoga gak kapok meskipun sudah menangis dan nyesek ya🖤
Tenang, sabar, biarkan Fikri merajalela dulu. Biarkan dia biarkan!
Setelah itu,
BOOM
😏😏
With Love 💋
LiaRezaVahlefi
lia_rezaa_vahlefii