Apartemen Casanova. Pukul 11.00 siang. Jakarta Utara.
"Ya Allah. Sesungguhnya hamba begitu merindukan suami hamba. Sesungguhnya hamba mencintainya karena Allah. Sesungguhnya hamba sangat mengkhawatirkannya."
"Ya Allah. Bila hamba adalah seorang istri yang tidak dicintainya, bukakan lah pintu hatinya untuk bisa menerima hamba dengan ikhlas."
"Hanya Allah yang bisa membuatnya mencintai hamba dengan ikhlas. Hanya Allah yang bisa menuntunnya kejalan yang benar. Hanya Allah yang bisa melindunginya dari hal-hal keburukan."
"Ya Allah, lindungilah Mas Fikri dari segala fitnah dan perzinahan. Sesungguhnya hamba tidak ingin dia tergelincir dari kemaksiatan dan perbuatan dosa."
"Ya Allah. Jadikanlah dia pasangan hidup yang bersatu dengan hamba sampai kesurga serta lindungilah kami dari siksa kubur dan siksa api neraka. Aamiin."
Hujan turun dengan deras diluar sana. Disaat sebagaian orang mengeluhkan saat hujan turun, tanpa mereka sadari, mereka sudah mengeluhkan bahwa Rahmat Allah sedang turun ke muka bumi. Karena itu, aku tidak ingin membuang kesempatan itu dengan berdoa dan berharap kepadaNya.
Hadits dari Sahl bin Sa'd, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ
"Dua do'a yang tidak akan ditolak: [1] do'a ketika adzan dan [2] do'a ketika ketika turunnya hujan."
Setelah mengucapkan kata Aamiin, air mata dipipiku sejak tadi tidak berhenti. Hatiku benar-benar terasa pilu.
Apakah cinta sesakit itu?
Jika ujian dari Allah akan membuatku bersabar dan memperoleh kebahagiaan tak terduga dariNya suatu saat, maka dengan ikhlas aku akan melaluinya sekalipun akan membuatku menangis.
Allah menyukai orang-orang yang bersabar.
Allah mencintai orang-orang yang bersabar.
Dan Allah tahu bahwa aku salah satu hamba Allah yang mampu dalam melalui ujian ini. Salah satu ujian cinta yang tidak pernah aku alami sebelumnya.
Agar aku merasa tenang, aku memilih duduk di sofa ruang tamu dengan menonton Lcd didepan mataku.
"Asalamualaikum."
Suara derap langkah kaki membuatku menoleh kearah pintu. Mas Fikri akhirnya tiba setelah....
Ntah kenapa hatiku sesak. Aku berusaha menahan air mataku agar tidak tumpah. Mas Fikri akhirnya tiba di apartemenku ini setelah bersama Fara.
"Wa'alaikumussalam Mas."
Aku pun berdiri dari dudukku. Dengan perhatian aku menyambut kedatangannya. Kucium punggung tangannya lalu aku menarik pergelangan tangan Mas Fikri untuk duduk di sofa.
"Diluar hujan Mas. Afrah buatkan teh hangat."
Aku tidak menunggu respon darinya. Aku pun langsung menuju dapur sampai akhirnya aku kalah. Air mataku tumpah dipipiku. Seorang pria yang menjadi kepala rumah tangga ini baru saja pulang dari bekerja. Bekerja seharian penuh dan melakukan lembur namun mendapati kenyataan pahit ada wanita lain disana.
Dia datang dan menungguku membuatkan minuman untuknya. Setelah apa yang aku lihat, apakah aku sanggup dengan semua ini?
Jika saja aku adalah seorang hamba yang tidak mengingat Allah dan ujianNya, maka aku akan hancur.
Sebuah pelukan dari belakang membuatkku mematung. Pelukan yang sangat erat sampai-sampai aku mengaduk secangkir teh ini dengan tangan yang gemetar.
"Mas.."
"Hm?"
"Em i-ini tehnya sudah Afrah buat." ucapku gugup.
"Aku tahu."
Kenapa aku merasa Mas Fikri seperti sedang menginginkan sesuatu dariku? Mas Fikri mencium pipiku. Bahkan dia menumpukan dagunya kepundakku.
Jangankan hal itu, tangannya pun mengusap perutku dengan pelan. Aku berusaha tenang meskipun jantungku berdebar-debar. Tumben sekali dia melakukan hal ini kepadaku. Biasanya dia cuek.
Tanpa ragu aku membalikkan badanku. "Ini Mas tehnya."
Dengan cepat namun masih bisa mengontrol jantung yang dag dig dug, aku membawa secangkir teh ini keruang tamu.
Aku memilih duduk lagi disofa ruang tamu. Seolah-olah semuanya baik-baik saja. Lalu Mas Fikri duduk disampingku. Dengan santainya dia merapatkan antara pahanya dengan pahaku.
Sambil mencoba tenang aku mengambil remote Lcd dan mengganti channel siaran sampai akhirnya aku berhenti di salah satu siaran televisi yang kini sedang menayangkan ceramah.
"Bisa ganti siarannya?"
Aku menoleh kearah Mas Fikri. "Kenapa Mas?"
"Kamu ngapain nonton ceramah itu?"
"Memangnya salah?" tanyaku balik.
Bukannya menjawab, Mas Fikri malah melingkari pinggulku dengan erat. Lalu dia mengambil remote Lcd di tanganku dan mengganti siarannya.
"Itu ceramah Ustad Ahmad dari Arab. Masih banyak kan siaran ceramah lainnya?"
Aku mengerutkan dahiku. Kenapa Mas Fikri terlihat tidak suka dan marah?
"Tapi Mas-"
"Bukankah tadi pagi kamu sudah bertemu dengannya secara langsung?"
"Mas cemburu?"
Lalu dia terdiam. Tatapannya beralih kearahku dan sedikit terkejut. Tiba-tiba dia tersenyum angkuh.
"Jangan seudzon padaku Afrah. Itu tidak baik. Lagian mulai besok jangan mendatangiku lagi keperusahaan. Lebih baik kamu dirumah saja. Ini perintah. Kecuali ada keperluan mendadak yang sekiranya penting."
Aku hanya menghela napas panjang. "Bagaimana jika Mas lembur dan tidak sempat makan lalu aku berniat membuatkan makanan untuk Mas?"
"Itu bisa diatur. Kamu tidak perlu khawatir dan repot-repot."
Akhirnya aku merasa mulai kesal. Tapi aku berusaha menahannya agar bisa menjaga amarahku sendiri. Lalu aku pun meraih remote Lcd yang ada ditangannya.
"Oh gitu ya Mas? Maaf deh kalau begitu." Aku tersenyum masam. "Afrah lupa kalau sekarang Mas tidak perlu repot-repot lagi. Kan sudah ada seseorang yang membuatkan makanan. Apalagi dengan baiknya mengantarkannya ke perusahaan Mas Fikri."
Bukannya menjawab, dia malah merengkuh bahuku. Tanpa diduga dia mendekatkan bibirnya ke telingaku.
"Sekarang siapa yang cemburu disini?" bisiknya pelan.
Aku berusaha menyangkalnya. "Aku-"
"Makanan tadi pagi kiriman dari istri klienku. Dia pengusaha kateringan. Itu saja."
"Bukan dari Fara?"
"Bukan."
"Terus kenapa ponsel Mas bisa ditangan Fara?"
"Klienku itu temannya Fara Afrah. Mereka datang bersama lalu klienku itu pamit keluar sebentar. Waktunya lumayan lama sampai akhirnya Fara berusaha menghubunginya."
"Lalu?"
"Fara tidak memiliki pulsa dan layanan data internet di ponselnya. Jadi dia meminjam ponselku. Mungkin setelah memakainya dia lupa mengembalikannya padaku sehingga tanpa sadar mengantonginya. Kebetulan aku juga lupa meminta balik ponselku sampai akhirnya kamu melihat dia mengembalikan ponsel itu padaku."
"Mas tidak bohong kan?"
"Demi Allah aku tidak berbohong Afrah. Percayalah."
Ntah kenapa aku masih saja merasa kecewa dengan sikapnya selama ini. Aku berusaha untuk tenang dengan mengganti siaran lcd sampai akhirnya aku berhenti di salah satu sinetron yang membuatku ingin menontonnya.
🥀🥀🥀🥀
Bermenit-menit berlalu. Kami saling diam tanpa banyak bicara. Mas Fikri masih disampingku. Secangkir teh yang aku buatkan tadi sudah habis di minumnya. Hujan masih turun dan belum berhenti diluar sana.
"Afrah?"
"Hm."
"Masih marah?"
"Afrah tidak tahu Mas."
"Kok begitu? Tolong jangan diamin aku Afrah."
"Afrah lagi sibuk nonton Mas. Makanya dari tadi diam. Tidak enak ya rasanya diabaikan?"
"Biasa saja."
Kalau bisa rasanya aku ingin mengelus dadaku dengan sabar. Kenapa sih Mas Fikri tidak mau mengaku saja? Apakah dia gengsi?
"Memangnya kamu nonton sinetron apa sih?"
"Tuh Mas baca saja sendiri judulnya apa." ucapku cuek.
Akhirnya dia menoleh kearah lcd dan sedikit terkejut.
"Azab suami yang zalim dan mengabaikan istrinya. Matinya berdosa dan masuk neraka."
Aku menoleh kearah Mas Fikri yang melongo. Tanpa banyak bicara lagi aku berdiri dari dudukku dan meninggalkannya menuju kamar.
Ntahlah, aku merasa lelah dan mengantuk. Biarkan saja Mas Fikri diruang tamu. Film azab di televisi tadi sangat cocok buat Mas Fikri.
Kali aja Mas Fikri segera mendapatkan hidayah.
🥀🥀🥀🥀
🤣🤣🤣🤣🤣
Fikri gak jadi deh dapat haknya, pulang-pulang dia malah nonton sinetron azab.
Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian.
With Love 💋
LiaRezaVahlefi
lia_rezaa_vahlefii