Tidak sesuai dengan rencana semula, nyonya Andine yang merupakan Ibu dari Deny kini telah mendarat kembali di Jakarta. Padahal seharusnya seminggu lagi.
Mendadak memang, seperti kepergiannya yang mendadak dan kepulangannya pun juga mendadak. Sebagai single parents, nyonya Andine dikenal sebagai wanita karir sejak suaminya meninggal akibat kanker yang menggerogoti tubuhnya.
Kemandirian serta motivasi yang dimiliki oleh nyonya Andine, berhasil membawanya pada sebuah kesuksesan. Aset kekayaannya lebih dari puluhan triliun. Banyak pria dewasa dengan berbagai latar belakang berdatangan untuk melamar dengan maksud agar menjadi suaminya, menjadi ayah sambung Deny. Tetapi nyonya Andine tidak tertarik pada pernikahan, baginya menikah cukup hanya sekali dalam hidupnya.
Terlebih-lebih nyonya Andine ingin konsentrasi pada pertumbuhan Deny dan karirnya pada waktu itu.
"Astaga ..." Nyonya Andine membuka kaca matanya.
Dengan terpaksa Nyonya Andine harus turun dari mobil dan melihat ke sekeliling. Panggilan telepon yang nyonya Andine tujukan pada Agus, Udin, dan Deny sejak tadi pun tidak ada jawaban.
"Kemana mereka?" gerundelnya dengan kesal.
Tangan yang halus milik nyonya Andine harus rela mendorong gerbang untuk jalan masuknya mobil miliknya, dia paksakan meskipun dengan susah payah. Padahal cuaca di luar sangatlah panas, matahari sedang bersinar dengan terik-teriknya.
Setelah gerbang itu berhasil dibukanya, lalu nyonya Andien kembali ke dalam mobilnya sambil menggerutu kesal.
"Gimana sih Agus dan Udin, kerja di gaji gede tetapi pekerjaannya tidak beres. Kemana mereka pergi, Deny juga kemana. Huft ..."
Nyonya Andin membawa mobilnya masuk ke dalam halaman rumah yang amat besar itu dan dengan terpaksa juga, kembali Nyonya Andien harus menutup gerbangnya.
"Lho-lho ... ini kok mobil Deni nggak ada di parkiran? Apa mereka pergi ke luar? Ceroboh banget gerbang gak di kunci."
Nyonya Andine sudah nampak banyak bicara selayaknya emak-emak yang minta diskon sama tukang sayur keliling kompleks. Nyonya Andine mengeluarkan tas dan kopernya yang berada dibagasi kemudian menggeretnya hendak masuk ke dalam rumah.
"Ini juga ... kenapa pintunya terbuka? Gak seperti biasanya Deny pergi gak dikunci. Kaya ada yang tidak beres ini," sidik nyonya Andine.
"Apa jangan-jangan Deny ada di rumah," ucap nyonya Andine.
"Deny ... Den ... mama pulang, Nak," lanjutnya memanggil putra semata wayangnya. Nyonya Andine berjalan masuk rumah, dia tidak mendengar sahutan dari siapapun.
"Kemana sih, Deny? Dia pasti masih di kamarnya dan masih tidur. Dasar tu anak, umur sudah 31 tahun tapi kelakuan masih kaya bocah. Udah tau Bibi lagi cuti pulang kampung, bangun sendiri aja gak mau," ucap nyonya Andine sambil kakinya menapaki anakan tangga hendak menuju kamar Deny.
Kriet ...
Pintu kamar Deny terbuka. Deny tidak ada!
"Ohh my God ... kamar udah macam kapal pecah."
Pandangan mata nyonya Andine menyapu seluruh kamar Deny, nyaris tidak ada yang beres.
"Emmm ... bau apa lagi ini." Nyonya Andine menutup hidungnya, dia merasa tidak tahan dengan bau yang menyengat tersebut. Lantas nyonya Andien bergegas menuju jendela kamar Deny, tangannya membuka kancing dan mendorong daun jendela tersebut kuat.
Kini udara luar dapat dengan leluasa masuk ke dalam kamar Deny, hawa kamar lebih mendingan dibandingkan dengan sebelumnya.
Dengan sisa tenaganya, nyonya Andine yang baru saja pulang dari luar kota memutuskan untuk membereskan kamar Deny. Dalam benaknya dia tidak bisa membayangkan apabila dirinya pulang seminggu lagi seperti apa yang dikatakannya pada Deny sebelum pergi, pastilah rumah dan seisinya sudah awut-awutan tidak beraturan. Untunglah pekerjaan bisa lebih cepat selesai dalam waktu 3 hari saja.
Dan yang paling penting nyonya Andine melakukan perjalanan pulang dan sampai di rumah dengan selamat. Meskipun sampai detik ini, dia belum dapat menemukan Deny, anaknya di dalam rumah.
Nyonya Andine buru-buru meraih sapu, pandangannya sudah terganggu oleh putung rokok yang berserakan dengan luar biasa di lantai.
Prak ...
Sapu yang nyonya Andine pegang, mengenai sesuatu.
"Astaga ... Deny tidak bisa ku biarkan begitu saja, baru aku tinggal sebentar dia malah sudah kumat lagi," kata Nyonya Andien meraih botol alkohol yang berada di bawah kolong ranjangnya lalu memperhatikannya.
Sepasang mata nyonya Andine menyipit tatkala dirinya menemukankan beberapa kondom bekas di dekat tergeletaknya botol tadi. Sudah pasti dengan sengaja Deny ingin menyembunyikan barang-barangnya itu.
"Bahkan dia sekarang memiliki peningkatan! Sejak kapan dia seperti ini? Kenapa aku sebagai ibunya tidak tahu? Aku harus bicara dengan Deny secepatnya!" lanjutnya.
Nyonya Andine merasa tidak terima jika Deny menjadi penganut seks bebas. Deny meminum alkohol saja, nyonya Andine sudah kalang kabut menghadapinya. Apalagi soal hubungan seks di luar pernikahan? Tidak, nyonya Andine tidak bisa membiarkan Deny terlalu lama melakukan perilaku hina itu. Dalam benak nyonya Andine saat ini, dia harus menemui Deny dan mengeluarkan ultimatum. Baru setelah itu dia harus segera memikirkan tentang mencarikan jodoh secepatnya untuk Deny agar kebiasaan buruknya hilang. Deny sudah dewasa, sudah seharusnya nyonya Andine melihat putranya itu menikah. Kemudian dirinya akan menimbang cucu seperti teman-temannya. Tetapi sebelum itu, nyonya Andine merasa juga harus tahu perempuan mana yang sering diajak Deny ke rumah dan tidur di kamarnya itu.
"Oke ... baiklah mungkin belakangan ini kamu telah menipu mama, Den. Tetapi untuk kali ini dan seterusnya, mama tidak akan tinggal diam. Kamu baru akan tahu dengan siapa kamu berhadapan," racaunya, nyonya Andine bergegas meninggalkan kamar Deny. Nyonya Andien dengan terburu-buru menuruni anak tangga. Dia berjalan menuju ruang tengah, keadaan masih rapi. Tidak ada barang yang bergeser satu inch sekalipun dari tempatnya seperti meja, kursi, guci, ataupun yang lainnya. Tidak ada yang berubah! Berarti hanya kamar Deny yang berantakan, begitu pikirnya.
"Deny ..." panggil nyonya Andine lagi. Dan seperti sebelumnya tidak ada jawaban dari siapapun. Ketika hendak beranjak, ekor mata nyonya Andine menangkap sesuatu yang tergeletak di atas lantai.
"Apa itu?" gumam nyonya Andine. Nyonya Andien pun segera mengambil tas kecil, tas kecil itu merupakan tas milik Dini yang di tinggalnya tadi sebelum Dini lari ke pintu utama hingga akhirnya lari ke arah dapur.
"Ini seperti tas milik perempuan, pasti perempuan yang punya tas ini sering datang ke rumah. Apa mereka masih ada di sini? Jangan-jangan mereka ..."
Nyonya Andine tidak melanjutkan kata-katanya. Tetapi dia justru segera berlari menuju kamarnya, dia ingin memastikan bahwa Deny dan perempuan itu tidak berada di dalam kamarnya untuk melakukan perbuatan yang tidak senonoh.
Nyonya Andine bernafas lega saat mendapati di dalam kamarnya kosong, tidak ada penghuni. Dijatuhkannya tubuhnya di tepi ranjang, nyonya Andine ingin duduk sebentar. Lantas tangannya mengobrak-abrik seluruh isi tas Dini, tidak ada apapun yang berharga selain dompet yang berisikan KTP.
"Nah, akhirnya aku tau siapa perempuan yang Deny bawa ke rumah ini."
Nyonya Andine pun mencoba membaca identitas KTP Dini.
Bola mata nyonya Andine membulat, telapak tangan kirinya dia digunakannya untuk menutup mulutnya yang menganga.
"Ja-jadi Deny ... Deny main serong dengan istri orang!" desah nyonya Andine.