Aku tidak menyangka dan mengira sama sekali dengan sifat asli suamiku. Pada awal mulanya suamiku dulu sebelum kami menikah, dia sangat menghargaiku. Penuh kasih sayang dan perhatian. Perhatian terhadapku dan perhatian terhadap anak-anakku.
Begitu aku selalu dimuliakan olehnya, tanpa aku minta dia selalu mengerti apa yang aku inginkan. Dia juga tidak pernah melarangku untuk menghadiri kumpulan pengajian. Dia selalu mendukung setiap kebaikan yang aku lakukan. Kami sering sholat bareng, melakukan amal baik bareng. Tapi semenjak kami menikah dia berubah. Dia selalu melarang diriku melakukan sedekah walaupun hanya seribu rupiah, sudah lupa bagaimana sholat. Suamiku telah lupa segalanya.
Bahkan dia melarangku untuk melakukan kegiatan yang biasa aku lakukan yaitu mengajar mengaji anak-anak di masjid. Aku tidak tau, entah apa yang merasuki suamiku sehingga dia sangat berubah total 360 derajat.
Aku tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha menyadarkan suamiku dan berdoa.
Mendoakan semoga Allah lekas memberikan hidayah pada suamiku, aku juga tidak tahu mengapa dia sering pulang malam. Entah dari mana, setiap aku tanya dia selalu marah karena aku dituduh istri yang tidak mengerti suami. Memang sudah hampir 6 bulan suamiku menganggur tidak bekerja.
***
"Lihat, aku menang lagi," sorak Deny menjatuhkan semua kartu yang ada di tangannya di atas meja.
Teman-temannya pun melongo.
Permainan malam ini dan malam-malam sebelumnya selalu dimenangkan oleh Deny, teman-temannya sudah kehabisan modal termasuk Hendra. Hendra merasa kesal merutuki dirinya sendiri yang tidak pernah menang sekalipun dari Deny.
Deny memberi kode kepada kedua anak buahnya yang berdiri dibelakangnya untuk mengemasi seluruh uang milik teman-temannya yang berada di atas meja, uang itu kini resmi menjadi milik Deny sepenuhnya.
Memang sebelumnya mereka sempat membangga-banggakan uang milik mereka itu, berharap uang itu agar beranak-pinak setelah mereka memenangkan permainan Leng tersebut atau yang biasa disebut remi. Akan tetapi nyatanya kali ini, Deny kembali menguras isi kantong dan dompet mereka.
Hendra merasa Deny bermain curang. "Tunggu dulu!" seru Hendra mencoba mempertahankan uang yang berada dihadapannya.
"Kamu pasti bermain dengan curang ya," tuduh Hendra. Deny tersenyum kecut.
"Bagaimana bisa kau mengatakan bahwa aku bermain curang, ini murni. Kamu jangan asal bicara, kalau kamu kalah ya terima saja. Dan satu lagi hutang kamu yang kemarin belum kamu bayarkan. Aku tidak mau tau, aku tunggu secepatnya di rumahku. Jika tidak, rumahmu akan ku sita dan dapat ku pastikan kamu dan juga istri serta anakmu akan hidup jadi gelandangan di jalanan," ucap Deny.
Hendra teringat dia masih memiliki hutang sebesar 20 juta, Hendra merasa tidak akan mampu membayarnya dalam waktu singkat. Dia bingung, uang sebanyak itu dari mana akan dia dapatkan karena hari ini Hendra kembali gigit jari sebab dia kalah dari Deny.
"Soal hutang kemarin, aku minta waktu," ucap Hendra dengan suara rendah.
Deny tersenyum sinis.
"Sekarang katakan padaku, berapa lama lagi aku harus memberimu waktu? Setahun? Dua tahun? Aku gak bisa, sudah 2 minggu lebih kamu tidak memiliki tanda-tanda akan membayarnya. Aku tidak mau tahu, kau harus bayar secepatnya," tegas Deny. Deny berdiri dan membetulkan jaketnya, dua anak buahnya itu telah selesai membereskan seluruh uang di atas meja, kemudian anak buah itu menyerahkannya pada Deny.
"Perlu kalian tau, aku tegaskan sekali lagi bahwa uang kalian ini sudah menjadi milikku, aku permisi," pamit Deny. Deny pun melenggang pergi meninggalkan Hendra dan temannya yang lain.
Hendra tiba-tiba teringat akan hoby Deny. Denny merupakan penggila perempuan, uangnya dihabiskan untuk menyewa perempuan di klub malam.
"Ekh ... Aku duluan," pamit Hendra pada teman-temannya yang masih duduk di tempatnya.
"Den ... Deny ..." panggilnya. Deny yang merasa dipanggil pun berhenti dan menengok. Hendra menghampiri untuk menyusul Deny.
"Ada apa?" tanya Deni meneliti Hendra yang ngos-ngosan.
"Deny, tunggu aku mau bicara," ucap Hendra.
"Ya udah. Buruan bicara, ada apa?" tanya Deny.
"Gimana kalau hutangku diganti dengan pelayanan dari istriku, terserah kamu. Satu kali main akan kamu hargai berapa?" tantang Hendra.
"Kepala kamu panas atau gimana? Kamu sakit jiwa ya, kau suruh aku melakukannya dengan istrimu?" protes Deny.
"Aku benar-benar serius," sahut Hendra. Dilihatnya Hendra tampak mengucapkannya dengan sungguh-sungguh.
Deny kini berfikir sebentar.
"Meskipun istri Hendra sudah memiliki 2 anak, tapi istri Hendra masih begitu menarik, umurnya pun juga masih sangat muda. Boleh juga," batin Hendra.
"Baiklah, kau mau bandrol berapa istrimu untuk satu kali main?" tanya Deny akhirnya.
"Soal itu terserah kamu, aku tidak tahu harga begituan," sahut Hendra. Deny menyerngitkan ke dua alisnya untuk beberapa saat.
"Baiklah, aku sesuaikan saja dengan umumnya 5 juta. Berarti istrimu harus melayaniku 4 kali untuk melunasi hutangmu," terang Deny. Hendra merasa senang.
"Mahal juga. Kalau begitu, setelah lunas aku akan tawarkan lagi. Aku bisa dapat uang untuk modal judi," batin Hendra.
"Ohh ya, kau suruh istrimu datang ke rumahku besok," kata Deny.
"Besok? Malam?" tanya Hendra.
"No, no ... Malam aku ada acara, terserah pagi atau siang atau sore. Yang penting jangan malam," pesan Deny.
"Oke ..."
Hendra masih berdiri di tempatnya, tatkala melihat kepergian Deny dan anak buahnya masuk mobil.
***
Brak!
Pintu suara terdengar begitu keras. Tidak seperti biasanya, tapi malam ini Dini mendengar hingga jantungnya berdetak dengan cepat. Dini segera mencopot mukenahnya dan bergegas keluar hendak melihat apa yang sedang terjadi di pintu depan.
"Ya Allah, Mas. Ada apa, Mas? Kenapa malam-malam seperti ini Mas membanting pintu? Kasihan anak-anak, nanti kaget," ingat Dini.
"Bodo amat, aku tidak peduli. Aku capek," kata Hendra. Hendra berjalan ke arah kursi. Dini buru-buru menutup pintu rumahnya lalu menyusul suaminya.
"Sabar, Mas. Mas pasti lagi kesal ya gara-gara hari ini belum juga dapat pekerjaan?" tebak Dini.
Hendra merasa dirinya harus berdrama terlebih dahulu di depan Dini, tidak mungkin Hendra akan berbicara langsung bahwa kini Dini telah dijualnya pada Deny.
Hendra pura-pura memejamkan mata dan memijit-mijit keningnya pelan, seolah merasa pusing akibat memikirkan mencari pekerjaan yang tidak juga Hendra dapatkan.
Bagaimana ceritanya Hendra akan mendapatkan pekerjaan? Sedangkan selama ini Hendra keluar bukan untuk mencari pekerjaan, akan tetapi dia pergi nongkrong dan keluyuran bersama teman-temannya. Hendra merasa hidupnya sudah ada yang mencukupi yaitu Dini.
Dini bekerja cuci gosok di rumah tetangga dan karena pekerjaannya itu Hendra tidak perlu memikirkan bagaimana Hendra akan mendapatkan uang guna membeli kebutuhan makan keluarganya karena sudah ada Dini. Sesekali kadang Hendra meminta uang pada Dini dengan dalih untuk modal mencari pekerjaan.
Akan tetapi nyatanya? Hendra gunakan uang itu untuk yang lain. Melihat suaminya, Dini pun merasa iba melihat suaminya begitu terpuruk karena hampir setengah tahun menganggur tidak berkerja. Bahkan rokok pun, Dini yang tanggung.