Chereads / Ratapan Istri / Chapter 7 - Telah Salah Sangka

Chapter 7 - Telah Salah Sangka

Dini (29) sedang terbaring di ruang UGD, membutuhkan darah dengan golongan darah AB. Dalam keadaan genting, Deny tidak mungkin untuk menghubungi Hendra (32) atas nama suami Dini untuk mencarikan pendonor untuk Dini. Apalagi darah yang dibutuhkan itu sama dengan darah yang dipunyai Deny (31). Masih tergambar dengan jelas penyebab semua itu terjadi dalam pelupuk mata Deny, Dini hanya mencoba untuk melindungi diri darinya. Namun harus berakhir dengan tragedi tragis seperti ini.

Mata Deny mengerjab saat sebuah jarum menembus kedalam venanya. Seorang suster tampak sibuk bersama rekannya. Suster itu sudah memiliki izin dari dokter untuk tetap melakukan pengambilan darah dari dalam tubuh Deny meskipun Deny masih dalam pengaruh alkohol yang dikonsumsinya semalam dengan berbagai pertimbangan.

Suster mengambil kurang lebih 450 ml darah, memang jumlah itu tergolong sangat besar. Ukuran segitu bisa menyelamatkan empat nyawa manusia sekaligus.

Tapi apakah mereka akan sudi mempertahankan nyawa mereka apabila mereka tau bahwa mereka bisa bertahan hidup karena atas bantuan transfusi darah yang dilakukan oleh dokter yang pendonornya adalah seorang pemabuk dan suka main perempuan serta penjudi?

Apakah ada manusia yang memiliki kebiasaan semacam itu mau menyumbangkan darahnya untuk nyawa manusia lainnya? Kita tidak tau bagaimana kehidupan mereka di luar sana, orang-orang yang telah sudi menjadi malaikat untuk menyelamatkan nyawa sesama manusia. Tapi yang jelas, petugas PMI hanya tau tentang seleksi sebelum pengambilan darah. Jika memang memenuhi syarat, tidak pandang bulu tentang sifat, tingkah, maupun kebiasaan orang yang bersangkutan, petugas akan melakukan tindakan pengambilan darah.

"Baiklah, Pak. Ini sudah selesai, kami akan proses guna melakukan transfusi darah pada pasien secepatnya karena keadaannya saat ini semakin sangat mengkhawatirkan. Bapak istirahat saja dulu disini untuk pemulihan, Bapak masih lemah. Kalau begitu saya permisi," kata Suster tersebut dengan tangan yang membawa wadah berisi kantong darah.

"Kamu segera bawakan minuman dan obat untuk pendonor," lanjutnya pada rekan sesama Suster. Setelah melihat dan memastikan bahwa rekannya hendak melakukan apa yang barusan dimintanya, suster itu lekas berlalu menuju ruang UGD.

"Saya tinggal dulu, Pak."

Tinggallah Deny seorang diri.

Deny bangkit dari pembaringannya. Deny ingin segera keluar dari ruangan kecil nan sumpek dengan segala hiasan peralatan medis yang merusak pandangan matanya itu.

"Aku bener-bener eneg dengan bau ruangan ini," gumam Deny sambil berdiri dan lekas mencari keberadaan sendalnya.

Deny bergidik cepat saat dirinya merasakan pening pada kepalanya.

"Ini kepala pakai acara pusing segala. Sial!" maki Deny, tangan Deny meraba sisi ranjang untuk penompang tubuhnya yang merasa dirinya seperti mau kehilangan keseimbangan.

Yes!

Kedua telapak kaki Deny sudah berhasil menggait sendal miliknya.

Kriet ...

Pintu terbuka, Deny menengok. Ternyata suster, dia membawakan sebotol air mineral untuk Deny.

"Pak, Bapak mau kemana? Bapak istirahat dulu," nasehat suster.

"Tidak, Sus." Deny menerobos ingin keluar ruangan dengan sempoyongan.

Suster itu berlarian ke arah meja kecil yang berada di dekat ranjang dan meletakkan barang-barang bawaannya tadi. Secepat kilat dia menyambar lengan Deny untuk memapahnya supaya Deny kembali lagi ke atas ranjangnya.

Sekonyong-konyong, Deny menepis. Dia tidak ingin kembali, dia ingin segera keluar dari ruangannya saat ini.

"Tidak, Sus. Saya harus pergi."

"Ta-tapi, Pak ..."

"Cukup! Saya mau keluar, mengerti!" bentak Deny membuat jantung Suster tersebut seperti hendak mau loncat dari tempatnya berada. Karena takut, suster itu pun membiarkan Deny pergi begitu saja.

"Emosional sekali orang itu. Ini memang sifat dia atau karena pengaruh dari alkohol?" batin Suster. Suster itu memandang kepergian Deny dengan berbagai perasaan, perasaan takut, khawatir, dan terserah.

Deny berjalan pelan menghampiri kursi di dekat ruang UGD. Dilihatnya Agus dan Udin masih berdiri ditempatnya semula.

"Boss ..." sapa mereka hampir serentak. Mereka menghambur ke arah Deny. Deny tampak acuh dengan sapaan kedua anak buahnya itu.

"Gimana keadaan, Boss? Kenapa cepat sekali Boss keluar? Apa Boss tidak ..."

"Tidak perlu!" potong Deny cepat. Agus maupun Udin saling mencolek satu sama lain, menandakan mereka saling mengingatkan tentang kebiasaan Bossnya itu apabila sedang tidak enak hati dan tidak ingin diganggu.

Untuk beberapa saat mereka terdiam.

"Kenapa kalian berdiri disini, mengganggu pandanganku saja," sunggut Deny memprotes Agus maupun Udin yang berdiri tepat berada di hadapannya.

Karenanya, Agus dan Udin tertegun dibuatnya.

"Maaf, Boss," ucap mereka hampir serentak, lantas mereka menuju sisi tembok dan berdiri dengan tegap. Mereka tidak ingin mengomentari apapun lagi, terlebih tentang sang Boss.

Deny terdiam, tubuhnya dibiarkan bersandar pada kursi yang didudukinya itu. Matanya terpejam, yang terasa berat sejak tadi.

Ingin rasanya Deny beristirahat sejenak, untuk melepas kepenatan yang ada. Berharap setelah hal itu dilakukannya, tubuhnya akan kembali fit.

"Boss ..." ucap Agus dengan segala keberaniannya memanggil Deny.

"Hemmm ..." sahut Deny tanpa membuka kedua kelopak matanya.

"Ini, Boss. Uang ini ditemukan oleh wanita itu, istri Hendra. Dia memberikan uang ini pada kami tadi," lanjut Agus.

Deny buru-buru membuka mata, lantas dia pun duduk dengan posisi sempurna. Dipandanginya wajah Agus dan uang itu secara bergantian, lalu Deny mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Aku telah salah sangka padanya," batin Deny.

***

RUMAH HENDRA

Hendra terjaga, dia bangun tidur akibat matanya terganggu oleh sinar mentari pagi menjelang siang, yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah-celah jendela.

"Hoooaaammm ..." Hendra menguap panjang. Kedua tangannya mengusap sudut-sudut matanya dengan punggung telapak tangannya, agar Hendra dapat membuka lebar-lebar penglihatannya.

Dan seperti biasanya, Hendra tidak akan menemui siapapun di rumahnya. Istri maupun kedua anak tirinya.

"Jam berapa, nih? Wah, baru jam setengah 10." Hendra bangkit dan tangannya menyambar handuk yang menggantung di almari.

Perutnya tiba-tiba melilit, merasa begitu lapar.

"Nanti saja mandinya, aku cari makan dulu di dapur sekarang."

Hendra mengalungkan handuknya kemudian keluar kamar.

"Makanan apaan ini? Tempe lagi, tempe lagi. Giliran bikin lauk pasti tempe," gerutu Hendra yang merasa tidak cocok melihat menu sarapan hari ini saat Hendra membuka tudung saji yang ada di meja makan. Hendra menutupnya kembali.

Hendra tergagap.

"Ohh ya, pagi ini kan Dini pergi ke rumah Deny. Apa Deny sudah melakukannya dengan Dini? Kenapa aku merasa sedikit ..."

Hendra membayangkan pergulatan antara Deny dan istrinya di atas ranjang dengan peluh keringat yang bercucuran. Deny membuat Dini tak berdaya dan celakanya Dini menyukai serta menikmatinya. Sedangkan Hendra tau jika Deny adalah seorang pria dewasa dengan tampang cukup tampan, kaya pula. Tapi apa Dini akan terpesona?

"Enggak ... enggak ... Aku tidak perlu perduli dengan permainan mereka. Yang terpenting hutangku sah dan setelah itu aku bisa judi lagi. Kalau aku kaya, Dini juga yang akan merasa senang." Hendra mencoba menepis rasa cemburunya.

"Tapi ngomong-ngomong, Dini berangkat dari jam berapa? Kenapa dia belum juga balik?" Hendra bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju jendela. Tangannya menyikap korden. Dia melihat ke arah luar rumah, belum terlihat tanda-tanda kepulangan Dini.

"Akh ... bodo amat. Mendingan aku mandi terus ke warteg." Hendra berbalik badan dan pergi dari tempatnya berdiri.

***

Hendra memasuki warteg, di dalam ternyata sangat sepi. Mungkin karena sudah lewat waktu sarapan sehingga suasana warteg bak kuburan.

"Tumben, Mas datang," sapa pegawai warteg yang selalu berpenampilan aduhai, membuat para pelanggan tidak ingin berpindah warteg lain. Lilis namanya, berdiri di samping Hendra.

"Iya, di rumah gak masak," sahut Hendra, kedua bola matanya menatap Lilis yang menurutnya semakin cantik.

"Ya udah, Mas Hendra pesan makan dan minum apa? Biar Lilis siapin," ucapnya.

"Seperti biasa saja, Lis."

Lilis mengangguk paham.

"Oke, Mas Hendra tunggu sini. Biar Lilis ambilin buat Mas. Spesial dengan cinta."

"Akh ... kamu bisa aja, Lis," sahut Hendra sambil tangan kirinya menepuk pinggul Lilis yang padat dan berisi.