"Jasa ..." gumam mereka serentak.
"Iya, jasa cuci gosok," jelas Dini. Mereka nampak bingung.
"Bagaimana, Pak? Apa saya bisa masuk sekarang?" tanya Dini membuat kedua anak buah Deny terpaksa harus menuntaskan kebingungan mereka.
"Sebentar ya, saya telepon Boss saya dulu. Untuk menanyakan perihal ini," jawab salah satu dari mereka.
Tangannya merogoh saku celananya, ditemukannya keberadaan ponsel miliknya di sana. Meskipun ragu, tetapi anak buah Deny menekan icon telepon juga. Dia tidak yakin apakah Deny sudah bangun atau belum pagi ini. Jika harus menganggu tidurnya, itu lebih baik bagi mereka. Dari pada mereka membuat kesalahan dengan menolak atau mengizinkan orang asing untuk masuk ke dalam rumah guna menemuinya.
Tersambung!
Sambil menunggu panggilan teleponnya dijawab oleh sang Boss, anak buah Deny yang memegang ponsel itu sesekali tampak melirik ke arah Dini. Dia meneliti wanita dewasa yang berperawakan tinggi dengan berat badan ideal yang berdiri di hadapannya itu. Kulitnya tampak putih pucat, dapat dipastikan bahwa wanita yang ada di hadapannya itu tidak suka dandan seperti wanita pada umumnya. Bahkan memakai lotion pada permukaan kulitnya saja dia tidak mau. Ekh tidak mau atau tidak sempat? Mengingat pekerjaannya adalah seorang tukang cuci gosok.
Wanita yang terkesan sederhana dengan balutan pakaian warna kuning Langsat tampak memantulkan cahaya dan memperjelas cantiknya yang natural tanpa polesan apapun di wajahnya itu, kini mengerutkan keningnya.
"Bagaimana, Pak? Apa ..."
Terlihat oleh Dini, anak buah Deny mengangkat tangannya di samping wajanya, tanda agar Dini diam dan berbicara.
Klik ...
Deny: Apa kamu tidak tahu kebiasaanku jika jam segini? Apa ingatanmu sedang terganggu? Kau sengaja ya untuk mengusikku sepagi ini?
Anak buah: Maaf, Boss. Tapi di depan ada tamu, katanya dia ingin mencuci gosok pakaian Boss.
Deny: Tamu? Cuci gosok? Siapa juga yang pesen? Udah mendingan sekarang kamu suruh dia balik dan aku ingin kembali tidur.
Anak buah: Tapi, Boss ... dia bilang Boss yang pesan.
(Anak buah itu tampak kembali menatap Dini)
Deny: Aku bilang, aku nggak pesan. Ya udah, berhubung dia ada disitu mendingan kamu mengurusnya. Sekarang kamu ajak dia ke dalam, terus kamu tunjukin baju-baju yang kotor karena hari ini memang aku harus menelpon laundry untuk mengambil cucian. Pastikan dia kerja dengan bener.
Anak buah: Baik, Boss. Akan saya urus.
Deny: Ya sudah, aku tidak ingin ada gangguan lagi. Aku masih mau tidur.
Anak Buah: Baik, Boss.
Tuuut ...
"Kamu buka gerbangnya," perintah anak buah Deny kepada rekan kerjanya itu. Yang diperintahkan segera membuka.
"Boss minta agar aku mengantarnya dan mengawasinya bekerja. Kau tunggu disini," lanjutnya pelan.
"Oke ..." sahutnya.
Klotek ... Klotek ...
Suara rantai terdengar berhantaman karena gemboknya hendak di buka dengan anakan kunci.
"Ayo sekarang kamu masuk, akan saya tunjukkan kerjaan kamu di dalam.
"Iya, Pak," sahut Dini. Dini pun masuk dan mengikuti langkah orang yang hendak menunjukkan pekerjaannya itu.
"Aku tinggal dulu," katanya berpamitan pada temannya, temannya itu pun mengangguk.
Sepanjangan langkahnya, Dini tampak meneliti suasana di balik gerbang yang tinggi tadi.
Dini membatin.
"Pemilik rumah ini pasti orang yang memiliki banyak bisnis, yang sukses di bidangnya."
"Lewat sini."
Dini diarahkan memasuki rumah besar itu melalui pintu, dapat dipastikan bahwa pintu itu bukanlah pintu utama.
Kriet ...
"Ini semua, pakaian milik Boss. Kamu cuci yang bersih atau kamu tidak akan mendapatkan apa-apa," ucapnya.
"Insya Allah akan saya kerjakan semaksimal mungkin, Pak."
"Bagus," sahutnya lalu hendak meninggalkan tempatnya berdiri.
Tapi langkahnya berhenti.
"Ohh ya, nama kamu siapa? Kalau Boss tanya, saya bisa memberi jawaban," lanjutnya.
"Dini."
"Dini?" ulangnya.
"Iya betul, Pak."
"Apa dia adalah Dini istri Hendra? Tapi tidak mungkin, dia bilang dia tukang cuci gosok. Tetapi Boss bilang, dia tidak memesan tukang cuci. Aku harus beritahukan hal ini pada Boss," batin anak buah Deny.
"Ya udah, saya akan mengawasimu dari jauh."
Anak buah Deny pun melenggang pergi.
***
Deny membuka matanya kembali, saat setelah mengalami kejadian anak buahnya mengganggunya beberapa menit yang lalu melalui panggilan telepon. Tapi kali ini bukanlah orang yang membuat dirinya membuka matanya.
Deny membungkam mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangannya. Ada sesuatu yang aneh, dia ingin memuntahkan isi perutnya. Deny melompat dari atas ranjang menuju kamar mandi.
Tanpa menunggu lagi, Deny pun memuntahkannya di dalam bak wastafel. Lalu menyiramnya hingga bersih, sepertinya badan Deny bereaksi gara-gara semalam mabuk berat. Deni mengoleskan sabun cream ke wajahnya dan menyapunya dengan air setelah sabun itu merata di wajahnya.
Dia tidak ingat, jam berapa dirinya pulang dari club. Yang dia ingat hanyalah ketika dirinya minum di bar dan ditemani oleh 3 wanita seksi di sampingnya.
Mungkin Udin dan Agus lah yang membawa dirinya pulang.
"Sial! Benar-benar kacau. Kenapa tumben sekali aku sampai muntah seperti ini," gerutu Deny sambil berjalan keluar kamar mandi. Bersamaan dengan itu, suara pintu kamarnya terdengar diketuk.
Tok ... Tok ...
"Ampun deh ... Itu siapa lagi, ini pasti Udin atau Agus! Kalau Mama nggak mungkin, soalnya Mama pulangnya kan masih sekitar seminggu lagi," gerundel Deny. Dengan malas Deny berjalan menuju pintu kamarnya, dia pun memutar anakan kunci.
Klak ...
Ditariknya handle pintu ke arahnya dan ternyata benar perkiraan Deny, orang yang berada di hadapannya sekarang bukanlah mamanya akan tetapi Udin, anak buahnya.
Udin berdiri dengan wajah yang menunduk. Sepertinya dia sangat menyesali, dirinya terpaksa harus menganggu Bossnya untuk yang kedua kali.
"Kamu ... ada apa kesini? Tadi bukannya aku sudah bilang, aku tidak ingin diganggu. Kau urus saja semuanya," ucap Deny, mengulangi perkataannya seperti yang ada di dalam telepon tadi.
"Maaf, Boss. Bukannya begitu, tetapi ada hal penting yang ingin saya sampaikan," sahut Udin dengan masih tetap menunduk.
"Hal penting? Hal penting apa?" tanya Deny menyidik.
"Boss, di belakang ada orang yang bernama Dini," lapor Udin.
"Iya. Terus maksud kamu, pentingnya gimana?"
"Tadi kan ada tukang cuci datang dan ternyata itu namanya Dini."
"Dini ... Dini ... Ya terus kenapa? Biarin saja namanya Dini, nama kamu Udin saja tidak ada yang protes. Sudahlah ... kamu itu terlalu membingungkan aku saja. Udah sana kalau nggak penting, lain kali kamu tidak usah cari aku sampai di kamar. Mendingan kamu balik, awasi tukang cuci itu sekarang. Kamu pastikan dia kerja secara benar," kata Deny sambil kembali memegang handle hendak menutup pintu kamarnya.
"Tunggu dulu, Boss. Dini itu nama istri Hendra. Bukankah Hendra mengatakan semalam kalau ..."
"Iya, iya." Deni jadi teringat percakapannya dengan Hendra semalam. Tawaran untuk membayar hutangnya melalui pelayanan istrinya di atas ranjang, apa itu mungkin dia? Tetapi kenapa Dini yang datang adalah Dini yang hendak mencuci pakaiannya?
"Kau sekarang kembali ke depan. Aku sendiri yang akan mengeceknya," ucap Deny sambil menepuk bahu Udin. Deny pergi begitu saja, Deny ingin memastikan apakah Dini itu istri Hendra apa bukan. Sebab Deny hanya pernah melihat wajahnya, tidak dengan namanya.
Udin sendiri langsung menutup pintu kamar Bossnya yang masih terbuka, lantas mengikuti perintah sang Boss untuk ke depan bergabung dengan rekannya, Agus.
Deny berjalan menuruni anakan tangga. Dia lantas pergi menuju tempat cucian yang bersebelahan dengan dapur.
Dilihatnya dari kejauhan tanpa sepengetahuan Dini. Dini tampak sibuk dengan pekerjaannya.
"Apa ini?" gumam Dini yang sangat terdengar jelas suaranya di telinga Deny.
"Jaket itu! Aku lupa, aku menaruk uang hasil judi semalam di sana. Kurang lebih ada 6 juta. Kenapa jaketku bisa ada dicucian?" batin Deny.
"Pasti pelakunya Udin atau Agus lagi," pikir Deny. Deny tidak dapat melihat wajah wanita yang bernama Dini tersebut karena Deny melihatnya hanya dari samping.
Dini merogoh uang dari saku jaket.
"Ya Allah, uang. Kenapa bisa ada dicucian?" Dini melihat ke sekeliling. Deny buru-buru menyembunyikan kepalanya yang sejak tadi melongo mengintip aktivitas pergerakan Dini.
"Apa dia akan mengambilnya?" batin Deny.