"Baiklah, saya sangat sadar diri. Saat ini saya berada di rumah Anda. Maka biarkan saya pergi, saya mau pulang," sahut Dini yang merasa mendapatkan lampu hijau dari Deny.
"Apa katamu? Pulang?" ulang Deny seakan tak percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Iya, saya mau pulang. Bukankah pekerjaan saya sudah selesai?" ucap Dini menyampaikan tujuannya datang ke rumah Deny dan enggan menyinggung perbuatan Deny yang sudah kurang ajar terhadapnya tadi.
"Tidak, pekerjaan utama kamu adalah melayaniku di atas ranjang kamarku. Setelah itu kau boleh pulang dan besok kau harus kemari lagi dan melakukan hal yang sama," timpal Deny.
Dini menggeleng cepat.
"Anda jangan sembarang berbicara, kerjaan saya sudah selesai. Saya bekerja untuk cuci dan gosok, bukan wanita panggilan seperti yang Anda pikirkan," sahut Dini dengan lantang.
Deny berjongkok di depan Dini. Tangannya hendak meraih dagu Dini namun ditepis dengan cepat oleh Dini. Dini merasa begitu jijik dengan kelakuan Deny.
"Aku tau penderitaanmu, kau selama ini membesarkan anakmu sendirian. Suamimu yang sekarang amat bejat, tega sekali dia menjualmu kepadaku," desah Deny.
"Apa? Menjual saya sama Anda? Anda jangan memfitnah suami saya ya, dia tidak akan pernah melakukan hal terkutuk itu," bantah Dini, sulit baginya untuk mempercayai perkataan orang yang saat ini tepat berada di depannya.
Deny kembali tertawa.
"Apa untungnya buatku memfitnah suamimu yang tidak berguna itu. Asal kamu tau, suamimu itu punya hutang aku sebesar 20 juta," terang Deny sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah ke hadapan Dini. Membuat Dini terpaksa harus memundurkan wajahnya sedikit.
"Du-dua puluh juta?" ulang Dini. Deny mengangguk.
Mata Dini menyipit, Dini pun membatin.
"Untuk apa Mas Hendra punya hutang sebegitu banyaknya? Kenapa Mas Hendra tidak pernah cerita sama aku sekalipun, apa itu hutang dimasa lalu? Tapi benarkah Mas Hendra punya hutang itu?"
"Dan kamu tau, Dini? Dia menawarkan tubuhmu untuk melunasi hutang-hutangnya. Dan kau hari ini datang kemari bukanlah untuk mencuci pakaian, tetapi untuk melayaniku. Baiklah ... akan aku jelaskan, sesuai kesepakatan kau harus melayaniku 4 kali. Dan kau harus menurut, jika tidak maka rumah yang kalian tempati akan menjadi milikku. Mengerti!" tegas Deny.
"Apa? Tidak mungkin. Kau itu bukan hanya kasar dan tidak menghormati wanita, tapi ternyata juga tukang fitnah," cibir Dini dengan sengit.
"Tutup mulutmu, aku bisa buktikan perkataanku ini. Aku akan telepon Hendra, kau bisa mendengarkannya langsung dengan telingamu sendiri. Kau tunggu sini, aku akan cari ponselku," kata Deny akhirnya.
Deny berdiri dan berjalan menuju meja ruang tengah. Melihat kesempatan di depan mata, Dini bangkit dan berniat hendak kabur.
Deny yang mendengar suara gaduh sendal, langsung menengok.
"Ck ... beraninya dia kabur, dasar wanita sok jual mahal. Kalau saja dia tau aksiku di atas ranjang, dia pasti nyembah-nyembah minta ku tiduri lagi. Sial bener aku kali ini harus berhadapan dengan wanita sok suci."
Dengan langkah cepat Deny menyusul Dini yang pergi ke arah pintu utama.
Setelah dirinya tepat di depan pintu, Dini meraih handle pintu.
Dikunci dari luar!
"Kau mau kemana? Apa kau tak bisa bersabar sebentar, setidaknya sampai aku menelpon suamimu?" tanya Deny yang sudah memegang ponselnya pada tangan kanannya.
"Tidak ... saya tidak mau dengar apapun dari Anda." Dini kembali berlari ke arah lain. Ternyata ruang dapur
"Benar-benar merepotkan," gumam Deny sambil terus berjalan untuk mengikuti kemana saja perginya Dini.
"Percuma kau berlari kesana kemari. Tidak ada jalan untukmu keluar dari rumah ini. Lebih baik kau diam dan nurut, masalah hutang akan clear. Kau beserta suami dan anak-anakmu akan hidup tenang, Dini," teriak Deny dengan malas.
Dini berhenti berlari, ternyata benar. Tidak ada jalan untuk keluar atau pulang.
"Gimana? Apa kau sudah menyerahkan diri, hem?"
"Cuih ... menyerahkan diri, Anda bilang?"
Dini menggeleng. Sudut matanya menangkap rak, disana terdapat bermacam-macam pisau berjajar berada di tempatnya dengan rapi. Dini pun berlari dan menubruk rak.
Tangannya meraih sebilah pisau. Diacungkannya pisau itu kearah Deny dengan pandangan mata nanar.
"Stop! Anda jangan mendekat!" Kedua bola mata Dini mengiringi langkah kaki Deny yang masih terus berjalan hendak menuju ke arahnya.
"Saya bilang, stop!"
Deny kini benar-benar menuruti perintah Dini.
"Apa yang ingin kau lakukan? Rupanya kau ingin main-main denganku bersama pisau itu? Dan kau tetap tidak mempercayaiku, aku baru saja mau menghubungi suamimu tapi kau malah pergi," kata Deny santai sambil kedua tangannya direntangkannya lebar-lebar.
Dini tersenyum sinis.
"Terus saja Anda mengeluarkan sifat dan watak asli Anda. Sama sekali Anda tidak menyadari bahwa Anda terus memojokkan saya untuk percaya dengan kata-kata Anda. Dasar pembohong!"
"Sebenarnya wanita ini sadar gak sih. Dia telah lancang bertamu dan belum lama ini dia mencuri uangku tapi malah aku yang dituduhkan macam-macam. Dasar wanita sok suci, munafik!" batin Deny.
Deny meletakkan ponselnya di atas meja dapur. Deny terus memperhatikan Dini yang kini sudah memasang kuda-kuda hendak melakukan sesuatu apabila Deny bergerak maju 1 inch sekalipun.
Sungguh, bukan tipe Deny memaksa wanita dengan cara murahan seperti ini. Dalam pikiran Deny, pastilah Dini menganggap bahwa Deny hanya mengada-ada dan bermaksud hendak memperkosanya. Tapi penjelasan Deny sepertinya tidak mempan untuk Dini percaya sebab mata Dini sudah terlanjur mengecap Deny seorang pria kasar, tidak bisa menghargai wanita, tukang fitnah, dan pembohong.
Dalam hati kecil Deny, dia merasa sudah malas untuk meneruskan perjanjian semalam. Deny memposisikan dirinya sebagai penagih janji tetapi yang dia dapatkan hanyalah kata-kata Dini yang terus memakinya. Belum lagi kini Dini seperti sudah sangat rendah memandang Deny.
"Sebenarnya apa yang kamu ragukan? Aku bukan penjahat seperti apa yang kamu pikirkan. Coba kamu nalar dengan akal sehat kamu. Buat apa aku melakukan hal katrok seperti tadi? Aku bisa sewa wanita yang sepuluh kali lipat lebih cantik dari kamu dan yang pasti dia akan nurut sama aku, bukan seperti ini. Asal kamu tau, kalau bukan karena ini permintaan dari suami kamu, aku tidak mungkin berbuat lancang seperti tadi."
"Sudah, ngomongnya?" tanya Dini yang sepertinya tidak bergeming sedikitpun pada Deny.
Deny menaikkan kedua alisnya.
"Hah? A-apa kamu bilang?" Deny balik bertanya dengan nada tidak mengerti.
"Anda, jangan Anda menyiapkan nama suami saya untuk menutupi dan melancarkan aksi kejahatan Anda. Sedikitpun, saya tidak mempercayainya." Dini meradang, Dini memang merasa takut tetapi menurutnya Dini juga harus berani untuk membela diri sendiri. Tidak bisa dipungkiri, di atas pundak Dini memikul nama suami dan kedua anaknya. Apa jadinya jika Dini berhasil dijamah oleh pria asing yang baru ditemuinya itu.
"Lebih baik saya mati sekarang dari pada saya harus terancam berada disini bersama Anda," lanjut Dini. Telapak tangan Dini mengepal kuat, hingga pembuluh Vena terlihat timbul. Diarahkannya pisau itu pada posisi yang tertumpu pada pergelangan tangan Dini.
"Kamu sudah tidak waras ya!" seru Deny.